Part 9

1010 Words
Setelah menunggu, akhirnya Liyana sadarkan diri dan membuat orang tua nya bahagia, dan tentunya Izzam juga ikut bahagia karena akhirnya Liyana bisa selamat. Orang tua Liyana tidak menanyakan apapun karena ingin anaknya tenang dan menanyakannya saat dia sudah siap dan sanggup. Saat Izzam dan Ayesha duduk diluar ruangan untuk menunggu kabar keadaan Liyana, tiba-tiba orang tua Liyana keluar dari ruangan dan meminta Izzam dan Ayesha masuk kedalam ruangan, karena Liyana yang ingin berbicara dengan nya. "Bagaimana keadaanmu? Apa sudah membaik?" Tanya Izzam kepada Liyana. "Aku sudah lebih baik walaupun mentalku belum sepenuhnya baik, kejadian itu benar-benar membuatku trauma berat dan menghantuiku setiap malam. Aku ketakutan seakan dia akan datang, aku menggila setiap mendengar suara yang keras, seakan dia datang kapan saja." Ucap Liyana yang kemudian menangis histeris karena ketakutan. Orang tua Liyana awalnya terlihat sangat khawatir, namun dia membiarkan Liyana berbicara, karena itu kali pertama bicara banyak setelah dia tidak sadarkan diri. Orang tuanya membiarkan putrinya itu mengeluarkan semua yang ada dihatinya dan yang mengganjal, agar dia menjadi lebih tenang. "Tenanglah, kami akan menjagamu, kamu akan baik-baik saja, aku akan menangkapnya bagaimana pun juga." Ucap Izzam mencoba menenangkan Liyana. Namun, Liyana hanya menangis terisak-isak dan Ayesha langsung memeluknya untuk menenangkan nya. Karena ingin memperjelas semuanya agar tidak ada kesalah pahaman, Liyana mengatakan yang sebenarnya kepada orang tuanya, bagaimana Izzam, Ayesha dan Fadhlan ingin membantunya dan bagaimana dia disakiti. Liyana bahkan mengatakan kepada orang tuanya mengenai gelang yang ada ditangan Izzam, yang membuatnya bisa mengetahui kejadian itu. Memang sulit untuk dipercaya, namun orang tua Liyana mencoba mengiyakan ucapan Liyana agar membuat putrinya itu tenang dan tidak terbebani akan kejadian itu. "Terima kasih untuk bantuan kalian dan maaf untuk kekasaran kami, kami benar-benar khawatir dan kehilangan akal saat tau Putri kesayangan kami terluka." Ucap Ibu Liyana. "Tidak apa-apa Tante, kami memaklumi semua itu, tolong jaga Liyana baik-baik dan segera hubungi kami jika terjadi sesuatu yang aneh." Jawab Izzam kemudian pergi bersama Ayesha meninggalkan rumah sakit. *** Setelah bergelut dengan maut seharian, Izzam terbaring diatas kasurnya sambil menatap langit-langit kamar dengan hampa. Dia kehabisan cara bagaimana bisa mendapatkan pelakunya. Tiba-tiba sebuah dering Hp membuyarkan lamunan Izzam. "Hallo." Ucap Izzam. "Pulanglah selagi aku masih berkata baik, aku akan memukulmu jika tidak pulang sekarang." Jawab Ayah Izzam dari balik telepon kemudian menutup telepon nya. Izzam menarik nafas panjang dan mulai menggaruk kepalanya, dia tidak tahu apa yang membuat Ayahnya tiba-tiba mengamuk. Izzam hanya perlu pulang dan mendengarkan makian mereka, karena begitulah Izzam menjalani hidupnya selama ini. Setibanya dirumah, seperti biasa Izzam hanya diam dan menemui orang tuanya yang sudah menunggunya di ruang keluarga bersama dengan Abrar, Abangnya Izzam. "Duduklah." Ucap Ibu sambil menepuk sofa yang ada disampingnya. Izzam langsung duduk disamping Ibunya dan berhadapan dengan Ayahnya. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak mengatakan apapun? Ayah mendapat telepon dari tetanggamu dan mengatakan kamu terlibat kasus percobaan pembunuhan anak SMA." Ucap Ayah. "Aku tidak terlibat, aku hanya membantu gadis itu. Kebetulan aku berada disana, jadi aku membantu nya karena menyaksikan hal itu." Jawab Izzam. "Apa kamu sudah gila?! Bagaimana jika penyerangnya membunuhmu, apa yang akan kamu lakukan hah?! " Teriak Ayah Izzam. "Ayah, aku bukan anak kecil yang harus menonton apapun yang dilakukan orang lain dihadapan ku. Bagaimana mungkin aku tetap diam disaat nyawa seseorang terancam, terlebih lagi dia seorang wanita dan dibawah umur." Jawab Izzam. "Ayah tenanglah, biarkan Izzam menjelaskan pendapatnya." Ucap Abrar mencoba menenangkan Ayahnya yang sudah berdiri cagak pinggang menghadap Izzam. "Benar, biarkan dia bicara, jangan menghakimi dia tanpa menjelaskan pendapatnya." Sahut Ibu. Ayah kemudian mencoba menenangkan dirinya dan memilih duduk untuk mendengarkan penjelasan Izzam. "Bicaralah, katakan yang sebenarnya." Ucap Ayah kepada Izzam. "Aku kebetulan berada disana dengan temanku, aku menyaksikan bagaimana pelakunya ingin membunuh gadis itu. Karena itulah aku membantunya, aku sempat memukulnya dengan batu, tapi dia berhasil lolos dan aku tidak bisa menangkapnya. Aku tidak memberitahu kalian karena aku pikir bisa mengatasi ini sendiri." Jelas Izzam. "Mengatasinya sendiri? Sekali pun kamu sudah dewasa, kamu tetaplah anak kami! Apapun yang terjadi padamu adalah tanggung jawab kami. Dengarkan aku, pindahlah kerumah segera, aku akan meminta sopir untuk mengangkat barangmu." Jawab Ayah. "Ayah, jangan lakukan ini. Aku punya privasi ku sendiri dan keputusan ku sendiri. Saat waktunya tiba aku akan kembali kerumah ini tanpa Ayah minta, tapi biarkan aku sendiri untuk saat ini, biarkan aku menyelesaikan urusanku." Ucap Izzam. "Kamu tidak pernah mendengarkanku? Apa aku harus memukulmu baru kamu akan patuh?!" Teriak Ayah sambil mengangkat tangannya, bersiap untuk memukul Izzam. "Tenangkan dirimu, kamu tidak perlu memukulnya. Dia sudah menjelaskan nya dan meminta waktu untuk menyiapkan dirinya agar bisa kembali kerumah ini, kenapa tidak membiarkannya tinggal ditempatnya, tapi kita meminta seseorang untuk menjaganya." Sahut Ibu. "Ibu aku bukan anak kecil yang harus diawasi." Ucap Izzam. "Dia hanya akan mengawasi mu daei jauh, jika terjadi sesuatu dia bisa membantu mu. Kamu tidak perlu merasa tidak nyaman, karena dia tidak akan mengganggu privasimu." Ucap Ibu. Izzam terlihat kesal dan menunduk agar tidak terlihat emosi. Melihat itu Abrar sadar bagaimana kesalnya Adiknya, tapi tidak bisa melawan. "Aku akan meminta temanku untuk mengawasi, kamu tidak perlu merasa tertekan. Dia teman kuliahku dan aku jamin dia tidak terlalu ketat dan tidak mengganggumu, dia bisa bekerja sama." Ucap Abrar sambil menepuk bahu Izzam. Izzam langsung menolak tangan Abrar untuk menjauh dan berdiri dari duduknya. "Aku akan pergi jika tidak ada lagi." Ucap Izzam. "Makanlah dulu, Ibu sudah memasak untukmu." Ucap Ibu. Izzam tidak bisa menolak permintaan Ibunya dan berjalan menuju meja makan untuk makan bersama Ibunya. Setelah selesai, Izzam pamit pulang dan diantar oleh Abrar. Diperjalanan, dua saudara itu hanya diam tanpa mengatakan apapun. "Nama temanku Naqi, dia orang yang santai. Dia tidak akan mengekangmu, aku jamin dia bisa dibawa kerja sama, jadi tenanglah kita bisa bekerja sama, asalkan kamu tetap aman." Ucap Abrar sambil sesekali melirik Izzam. "Lakukan semamumu, kalian juga tidak akan mendengarkan pendapat ku." Jawab Izzam. Abrar menarik nafas berat mendengar jawaban Izzam, dia tahu bagaimana keras kepalanya Adiknya itu. Tepat didepan kos Izzam, Abrar menghentikan mobilnya dan membiarkan Izzam keluar. "Ingat, hubungi aku jika terjadi sesuatu." Ucap Abrar dari mobilnya. "Jijik ah." Gumam Izzam sambil berjalan menuju kosnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD