2

1248 Words
"Lo lagi main game?" Tanyaku penasaran kepada Dastan yang kini tengah fokus mengemudikan mobil disampingku. Ya, setelah dia memaksaku untuk menjadi pacarnya, dia juga memaksaku pulang bersamanya. Dan aku cukup yakin ini akan menjadi berita heboh besok, mengingat tadi masih banyak murid yang melihat ku saat Dastan mengandengku menuju tempat parkir. "Apaan?" Dia bertanya balik. Mungkin tidak paham dengan maksud pertanyaanku atau pura-pura tidak tahu. "Lo lagi main ToD atau game apa gitu?" "Enggak lah, emang kenapa kok elo mikir gitu?" "Ya, aneh aja." "Apanya yang aneh?" "Elo nya lah, masa gue." Kataku kesal karena dia terus berpura-pura bodoh, padahal aku yakin Dastan tahu yang aku maksud. "Aneh gimana?" "Ya aneh lah. Elo murid pindahan dari Aussie, anak dari pemilik sekolah yang tajir tujuh turunan tiba-tiba nembak gue. Elo ada semacam taruhan gitu kan?" Dastan tertawa renyah, membuatku tambah kesal. "Apa yang lucu?" "Elo lah." Dastan mengacak rambutku lembut dengan tangan kirinya. "Ternyata pacar gue yang galak ini juga ngikutin gosip tentang gue." "Karena gue punya kuping. Dan gue bukan pacar lo!" Aku memutar mataku jengah. Cittt! Tubuhku sedikit terdorong kedepan karena Dastan tiba-tiba menghentikan mobilnya. "Apa-apaan sih lo berhenti mendadak kayak gini? bahaya tau!" Kataku kesal menatap Dastan yang kini juga tengah menatapku tajam. Untung dia sedang mengemudikan mobil di jalanan komplek yang sepi, coba kalau dijalan raya, tentu banyak nyawa orang lain yang akan menjadi korban tindakannya yang semena-mena ini. "Elo pacar gue!" "Enggak lucu ya, Dastan!" Bentakku tidak mau kalah. "Kalo gitu gue bakal paksa elo sampe bilang iya." "M-mau apa lo?!" Aku menatap Dastan yang kini tengah melepaskan sabuk pengamannya, dan aku bergerak was-was di kursi ku. Aku melihat kesekeliling, tidak ada seorangpun di sekitarku karena aku memang tinggal di perumahan tua yang cukup sepi walaupun di siang hari. Dan saat ku coba membuka pintu mobil, tentu saja sudah dikunci oleh Dastan. "Iya, iya! Gue mau!" Aku menyerah saat Dastan sudah bergerak mendekat kearahku dengan gelagat yang sangat aneh. Aku yakin ini akan berakhir seperti saat di toilet, bahkan lebih parah. "Nah gitu dong." Dia tersenyum lalu kembali duduk di tempatnya. Dia benar-benar tidak waras, entah dosa apa yang pernah aku lakukan hingga Tuhan begitu marah dan menghukumku seperti ini. * "Thanks udah anterin gue pulang." Ucapku saat kita sudah sampai di depan rumahku. Setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk mengikuti permainannya, terserah apa maksud dari Dastan mendekatiku. Tapi aku tahu ini akan berakibat fatal jika aku terus bersikap terlalu keras atau menolak keinginannya. Jadi, untuk saat ini aku memilih mencari aman saja, dan akan memikirkan apa yang harus aku lakukan nanti. "No prob. Udah jadi kewajiban gue sebagai pacar yang baik buat nganter elo pulang" Jawab Dastan membuatku memutar mataku jengah. "Ngapain lo turun?" Tanyaku saat melihatnya mengikutiku turun. "Elo lupa sesuatu." "Apaan?" "Mana ciuman selamat tinggal gue?" "Dastan! Udah ya, jangan aneh-aneh!" "Enggak aneh. Lo nggak pernah pacaran ya?" Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan emosiku yang kini sudah mencapai ubun-ubun. Menatap cowok yang terlalu meremehkan seorang Nabilla Veranda Puteri yang tidak terlalu jelek ini. "Jangan-jangan lo belum pernah ciuman juga?" "Pernah!" "Biasanya yang ngotot gini tuh buat nutupin kebohongan tau." Katanya lagi dengan nada mengejek. Aku merasa sangat diremehkan, menatap Dastan sengit yang kini juga tengah menatapku dengan senyum sialan miliknya. Dan sepertinya aku sudah gila, atau lebih tepatnya tertular kegilaan Dastan, aku melakukan hal yang pasti ditolak mentah-mentah oleh akal sehatku. Aku menjinjitkan kakiku, merangkul lehernya hingga aku bisa menyatukan bibirku dengan bibirnya. Aku bisa melihat matanya terbelalak kaget karena gerakanku yang tiba-tiba menciumnya. Aku memejamkan mataku, berusaha melupakan kegilaanku, juga rasa maluku dan mulai menyesap bibir Dastan yang lembut. Aku merasakan tangan Dastan merangkul pinggangku, setengah mengangat tubuh kecilku agar merapat ke tubuhnya, dan mulai membalas ciumanku dengan panggutan panas di bibirku. Entah berapa lama kami berciuman, dan Dastan melepaskan bibirku saat aku hampir kehabisan udara. Napas kami bersahutan, Dastan melepaskan pinggangku perlahan, dan kakiku langsung menapak ke tanah. Aku membuka mataku, tapi tidak berani untuk menatap wajah Dastan. Jemari Dastan bergerak lembut di daguku, menarik keatas hingga aku bisa menatap wajahnya. Wajahnya yang pucat kini bersemu merah, dan aku yakin warna wajahku lebih parah sekarang, bahkan aku masih bisa merasakan panas di wajahku, terutama bagian bibirku, aku rasa juga bibirku sedikit bengkak karena Dastan menciumku begitu membabi buta. "Elo bener-bener susah ditebak." Desis Dastan lalu kembali melumat bibirku, kali ini dengan lembut, seolah ingin mengenal bibirku lebih jauh. Tanganku mengalung ke lehernya, mengimbangi ciuman Dastan yang begitu b*******h. Mataku kembali terpejam, menikmati rasa nikmat yang diberikan oleh Dastan. * Tok! Tok! Tok! "Sayang.." suara pintu kamarku diketuk, terdengar suara mama memanggilku. "Iya, ma. Ada apa?" Jawabku menoleh kearah pintu. Sekarang jm 9 malam, dan aku sedang mengerjakan tugas fisika ku. Pintu kamarku terbuka, disusul munculnya mama memasuki kamar. "Ada apa, ma?" Tanyaku keheranan. Karena tidak biasanya mama masuk ke kamarku jam segini. "Ada Dastan dibawah." Terang mama dan jantungku langsung berdegup kencang. Apa tujuan si b******k itu datang malam-malam? Tanyaku dalam hati. "Pacar kamu?" Tanya mama dengan nada menyelidik. "Temen, ma." Jawabku malas tanpa menatap mamaku. "Suruh langsung ke kamar aja, deh." "Kok gitu, kamu kebawah dulu dong, sayang.." Aku menghela napas panjang. Hatiku rasanya sangat dongkol, dengan malas aku bangkit dari dudukku, melangkah keluar dari kamar diikuti oleh mamaku. "Tumben kamu ngajak temen kerumah." Kata mama saat kami berjalan menuruni tangga. "Nggak ada yang ngajakin, mah. Dia kan datang sendiri." "Iya, maksudnya. Tumben kamu ngijinin temen kamu kerumah." "Dia nggak minta ijin." Mamaku tidak bersuara lagi, mungkin sudah menyerah untuk berbicara denganku. Saat sudah sampai lantai dasar mataku menemukan Dastan tengah duduk manis di sofa ruang tamu, dan langsung berdiri saat melihat aku dan mamaku datang. Dia sangat tampan mengenakan jaket demin dengan dalaman tshirt putih. Namun segera kutepis jauh-jauh pikiran itu dari otakku. "Ngapain lo kesini?" Tanyaku tanpa pemanis sedikitpun. "Nabila.." kata mama jelas merasa tidak enak dengan sikapku terhadap Dastan. Dia tidak tahu, kelakuan asli cowok yang kini terlihat seperti anak baik-baik ini. "Mau kerjain tugas fisika. Kan kita ada tugas kelompok bareng." Aku hampir menangis saat mendengar alasannya. Gila! Dia benar-benar gila! Berkunjung jam 9 malam untuk mengerjakan tugas kelompok? Sangat tidak bermoral. "Nak Dastan udah makan?" Kali ini mama yang bertanya. "Udah, tante." "Ya udah. Langsung naik aja ke kamar. Nanti kerjain tugasnya kemalam lagi selesainya." Kata mama ku lagi. "Nabila.." mama memanggil namaku, membuyarkan lamunanku. "Iya, ma. Yuk ke kamar." Aku melangkah menuju tangga. "Yaudah, tante. Dastan naik ya." Kata Dastan lagi dengan manis kepada mama. "Silahkan, silahkan." Aku kalah, tidak ada alasan yang tepat untuk mengusir makhluk titisan setan ini dari rumahku. Jadi mau tidak mau aku mengajaknya masuk ke kamar ku. "Cantik." Kata Dastan saat sudah masuk ke kamarku, matanya menatap kesepenjuru ruangan. Aku tidak mengubrisnya, dan memilih untuk kembali ke meja belajarku, duduk disana. Seketika kepalaku terasa sangat pusing saat menatap barisan rumus di buku catatanku. Aku tidak menyukai fisika, dan sekarang aku semakin membencinya. "Butuh bantuan?" Aku tersentak kaget saat tangan Dastan berada di kedua bahuku, meremasnya lembut. Kepalanya terulur kedepan, menatap soal-soal fisika di hadapanku. Aku bisa mencium aroma segar yang menguar dari tubuhnya, aroma cologne yang belum pernah aku cium sebelumnya. Jantungku berpacu dengan cepat, dan aku merasakan panas tubuhku mulai menjalar di wajahku. Apa yang terjadi? Aku bahkan tidak merasakan apapun jika duduk disamping Budi ataupun Kevin. Kenapa perasaan aneh ini selalu muncul saat Dastan berada didekatku? Dia memiringkan kepalanya untuk menatapku. Lalu menegakan tubuhnya, berdiri tepat di belakangku. Entah kenapa aku tidak menolak saat kedua tangannya terulur untuk merangkul tubuhku dari belakang. "Sorry ya, gue dateng malem-malem gini. Tapi gak tau kenapa, gue selalu pengen sama elo."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD