C's by Rahardja

1071 Words
Saat itu pukul empat sore. AC menyala dengan suhu delapan belas derajat, tirai kamar tertutup, dan gemuruh perut yang belum terisi apapun. Sayup-sayup terdengar suara tangis yang terputar dari video ponsel. Farisma tidur di bawah selimut sambil menonton klip-klip itu dengan perasaan kosong. Seharian ini dia tak membiarkan kamarnya diterobos siapapun. Ventilasi terkunci rapat, begitupun dengannya yang mengisolasi diri pasca pengguguran janin. Calon bayi sialan itu membawa petaka bagi dirinya—tak cuma rasa jijik, namun juga perasaan bersalah. Farisma menggelung ke arah kanan. Jarinya menggeser video itu dengan klip ilustrasi kelahiran—berulang kali. Seorang pria di luar masih setia mengetuk pintunya sejak pagi. Terhitung lebih dari selusin kali Risma mengabaikan ketukan itu. Tak seharusnya ia cemas. Namun perasaan gelisah itu terus menggerogoti. Seolah ada tangisan bayi di depan rumah yang meminta diselamatkan. Menyedihkannya lagi, Risma tahu persis ia mengandung anak siapa. Makhluk kecil yang pernah hidup di perutnya itu hadir di waktu yang sangat salah. Mungkin kalau hasil positif itu keluar sebulan atau tiga minggu sebelumnya, ia bisa selamat. Namun, janin itu seolah muncul hanya untuk mati. Farisma sendiri tak pernah mengharapkan kejutan ini. Ia sadar bentuk tubuhnya berubah dalam waktu singkat. Lalu perasaan abnormal-abnormal muncul tak seperti dirinya. Lalu ia mulai khawatir saat mulai mengidamkan makanan yang bahkan jarang ia jamah. Seingatnya lemon cheescake adalah favorit seseorang. Tak pernah Risma memiliki fantasi makanan tentang dessert atau apapun. Entah mengapa, frekuensi makan makanan itu bertambah sering. Bertambah, hingga tak terbendung. Sesering rasa rindunya terhadap ayah jabang bayi itu. Rahardja. *** “Pleasure to meet you, Mr. Rahardja.” Dengan tangan beruratnya, Chris menyambut jabatan tangan itu. “Shall we start a little tour, sir?” Of course, angguknya. Chris mengekori wanita berambut brunette di depannya. Menciptakan getaran kecil dari sepatu dan lantai marmer. Tempat itu akan menjadi franchise pertama dari bisnis kulinernya yang berlokasi di Singapura. Dalam beberapa bulan lagi, Chris akan meresmikan tempat itu dengan nama C’S by Rahardja di ukirannya. Rahardja adalah marga keluarga keturunan Tionghoa di kota ini. Mereka berpredikat sebagai keluarga terkaya kedua dan hanya mempunyai satu pewaris; yaitu Christian Aksa Rahardja—yang bisa kalian fantasikan seperti pria pada umumnya, berusia dua puluh delapan, lajang, berpendidikan, dan tak tertarik dengan wanita. Atau belum. Dia hanya terlampau sibuk dengan bisnisnya. Ia sibuk dengan Bandung, dengan kafenya di Jogja, resto di Surabaya, belum lagi cabang-cabangnya.Pria yang berusia lebih dari seprempat abad itu bekerja seolah robot yang aktivitasnya telah diotomatisasi. Tak mendapat cukup hari libur membuat dirinya absen dari istirahat, apalagi membangun komitmen yang nantinya berujung sia-sia. Terakhir kali ia berpacaran, mungkin sekitar tujuh tahun lalu sebelum wisuda S1. Ia putus dengan kekasih kampusnya untuk fokus di bisnis start-up sambil meneruskan studi S2. Meski telah mengelola bisnis pribadi, Chris masih rutin berkunjung ke garmen milik sang ayah yang beroperasi sejak tahun '95—Putra Abadi Garment. Pabrik berpagar hijau telur bebek itu adalah saksi perjuangan beliau semenjak ia kecil hingga bertransformasi menjadi perusahaan besar yang menghidupinya hingga tamat S1. Namun, Chris pribadi sebenarnya tak tertarik dengan bisnis ini—tak bervariatif. Cara kerjanya selalu sama tiap hari; datang, mengecek jumlah order masuk, memastikan hasil pekerjaan telah sempurna, menghadapi satu-dua komplain, menyelesaikannya dengan cara tercepat, itu saja. Ia lebih suka mengeksplorasi makanan yang cantik dan nikmat. Eksistensinya di garmen ini seperti turis yang berjalan-jalan sambil berceloteh tak penting, dirinya tak terlalu menganggap bahwa ribuan karyawan di sana merupakan tanggung jawabnya. Pria itu tak tahu bahwa di sisi lain, kerjaannya yang cuma mondar-mandir itu adalah alasan seseorang untuk bekerja tiap hari. Datang dengan hati yang berdebar, sesekali mencuri pandang, menunggunya bahkan memandanginya di area parkir karyawan dan eksekutif; persis seperti siswi SMA yang mengidamkan kakak seniornya. Adalah Farisma, gadis berparas pribumi inilah pelakunya. Dua belas bulan lalu, Farisma pertama kali bertemu Chris di kantornya. Gadis itu melamar beserta CV yang menyertakan pengalaman bekerja di toko roti; ditulis menggunakan template CV warna-warni di website gratisan. Saat itu ada dua orang yang akan diwawancarai dalam perekrutan karyawan baru. Semuanya fresh graduate, dan salah satunya adalah Farisma. Kebetulan HRD sedang cuti kala itu, maka Christian yang baru datang dari ruang produksi—lalu tak sengaja melewati calon rekrutan baru, langsung menawarkan diri untuk meng-interview mereka. Sebuah pujian ia berikan usai mendengar jawaban Risma atas beberapa pertanyaan. Dirinya berucap setelah menarik senyuman di sudut bibir, "Perusahaan suka dengan pribadi pekerja keras. Saya mengharapkan kamu untuk bisa bekerja dengan semangat yang sama." sambil menjabat tangan Risma erat. Tangan beliau dingin, namun terasa hangat di tangan kecilnya. Kedua mata Chris yang sipit tampak seperti bulan sabit kala tersenyum. Pandangannya tulus. “Just in case, kalau kamu penasaran. Perusahaan lagi butuh dua orang, cepet. Maka dari itu, dua pelamar yang diinterview hari ini langsung diterima." Risma tak bisa menahan senyum. “Setelah semua praktik kerja dan kontribusi kamu dalam kegiatan produksi baju di sekolah, saya yakin skill kamu sudah terasah,” Chris kembali tersenyum. “Nggak usah khawatir, kamu pasti bisa menyamai effort pekerja yang lain. Kami semua juga start dari nol. Bahkan ada kok, karyawan dulu yang basic-nya malah di kuliner.” Tak pernah Risma temui seorang petinggi perusahaan yang seperti ini. Momen beberapa detik dari Chris saat itu berhasil membuat logikanya tak berfungsi. Ia jatuh dalam netranya yang hangat, dan kalimat tulus yang meluncur dari kedua belah bibir tipis itu. Pria ini selain terdidik, juga sangat merespek bawahannya seperti rekan satu tim. Tak ada sifat bossy maupun tatapan remeh meskipun ia calon karyawan baru. Mungkin karena well-educated, ia bisa memandang semua manusia tanpa melihat posisinya. Entahlah, Risma tak yakin dengan kesimpulannya namun satu hal yang ia tahu; dirinya telah jatuh hati. Chris berbeda, dan itu poin plus nya. Putra CEO ini selain tampan dengan wajah oriental, attitude dan tutur katanya mampu membuat seorang Risma yang 19 tahun hidup tanpa asmara luluh begitu saja. Sebenarnya Risma bukan jual mahal, ia hanya sedikit picky terhadap para lelaki. Ia tak pernah tertarik dengan bocah laki-laki di sekolahnya. Sama sekali. Entah keajaiban dari mana, hati yang terpaku es itu mencair usai sekian lama. Akhirnya Risma menaruh hati pada sosok cerdas bernama Chris yang notabene adalah putra bosnya, caln pewaris perusahaan ini—dan terpaut sembilan tahun darinya. Memiliki kasta yang berbeda, dan mustahil untuk memandangnya sebagai wanita. Risma tahu, hidupnya tidaklah sama dengan karakter novel yang beruntung dijodohkan dengan putra CEO atau mafia tampan. Ini kehidupan nyata. Ini bukan Disney. Ingatkan dirinya untuk tidak halu menjadi female lead di sinetron TV atau film sinema.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD