2. Setelah Bertahun-tahun

1630 Words
“Ta, ikut aku!” Fadi menarik tangan Yuta sedikit, padahal pesta malam itu belum berakhir. “Mau ke mana?” tanya Yuta curiga. Sikap Fadi terlihat agak berbeda dan pemuda itu tidak berani menatap matanya. “Istirahat.” Sesuai janjinya kepada Lauritz, Fadi akan membawa Yuta ke kamar kakak sepupunya itu. “Kenapa kita malah naik, Di?" Kecurigaan Yuta makin bertambah saat Fadi membawanya keluar dari lift di lantai 20, bukannya menuju basemen. “Kita memang bukan mau ke mobil,” sahut Fadi acuh tak acuh. Seketika itu juga Yuta langsung menghentikan langkahnya. “Kamu mau bawa aku ke mana?” Fadi menarik tangan Yuta lebih kuat. Ketika gadis itu berkeras bertahan, dia menyeretnya dengan kasar. “Kamu bilang kamu capek dan mau istirahat, ‘kan?” “Kamu mau apa, Di?” protes Yuta marah. Dia berusaha meronta dari cengkeraman kekasihnya. “Lepas!” Namun, tenaga Fadi jauh lebih besar. Tubuh ramping Yuta bukan tandingan Fadi yang tegap dan kekar. “Bisa enggak kamu diam aja?" bentak Fadi jengkel. "Jangan banyak protes!” Tentu saja Yuta tidak langsung menurut dengan mudah. Dia terus meronta, tetapi Fadi malah mengangkat Yuta dan memanggulnya menyusuri koridor. Tiba di depan sebuah pintu, Fadi membukanya dengan kartu akses yang dia pegang, lalu menurunkan Yuta. “Masuk!” Fadi mendorong gadis itu ke dalam, seraya menjejalkan kartu akses tersebut ke tangan kekasihnya. “Kamu?” Cepat-cepat Yuta menahan tangan Fadi. Namun, Fadi menepisnya dengan kasar. “Aku enggak ikut.” “Ada siapa di dalam?” tanya Yuta takut. “Kamu kenalan sendiri aja nanti,” balas Fadi dingin. "Kenapa aku harus masuk?" Melihat ketakutan di mata Yuta, sebenarnya Fadi iba juga. Namun, mengingat iming-iming tumpukan utangnya yang akan dianggap lunas, Fadi mengeraskan hati. "Ada seseorang yang harus kamu temani malam ini." “Di, jangan gila kamu!" hardik Yuta geram. "Kamu jual aku?” "Cuma malam ini aja, Ta." “Fadi!” jerit Yuta histeris ketika melihat kekasihnya mundur. Cepat-cepat Fadi menutup pintu dan membiarkan Yuta sendirian dalam ketakutan. Gadis itu masih termangu kebingungan memandangi pintu yang sudah tertutup. Dia masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba saja sebuah suara yang terdengar berat menyapa dari belakang, “Rupanya kamu sudah datang. Mana Fadi?” “Kamu siapa?” tanya Yuta tanpa berani membalikkan tubuh untuk melihat orang di belakangnya. Suara itu mendengkus geli. “Rupanya dia langsung meninggalkan kamu." Perlahan Yuta memberanikan diri untuk menoleh dan seketika itu juga dia terkejut. "Tunggu! Bukannya kamu Ritz?" "Ternyata kamu langsung tahu siapa aku," ujar Lauritz dengan senyum samar. "Apa dia udah menjelaskan sesuatu?” “Apa yang kamu dan Fadi rencanakan?” tanya Yuta tidak mengerti. “Dasar payah." Lauritz menggeleng geli. "Ternyata dia pergi begitu aja tanpa menjelaskan apa-apa.” "Jelaskan sama aku, ada apa ini?" ujar Yuta dengan nada menuntut. "Enggak ada rencana apa-apa," sahut Lauritz santai. "Aku cuma pinjam kamu dari dia buat semalam." "Pinjam?" Yuta mendelik marah. Dia tidak peduli kalau yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang aktor papan atas. "Kamu pikir aku barang!" "Kalau bukan milik sendiri, namanya pinjam, 'kan?" "Pinjam untuk apa?" desis Yuta geram. "Nanti juga kamu tau." Lauritz mengarahkan tangannya ke sofa. "Duduklah!" "Enggak usah!" tolak Yuta cepat. "Kamu memangnya enggak capek berdiri terus?" "Mending capek daripada celaka," sahut Yuta sinis. Perempuan lain mungkin akan silau melihat Lauritz. Mereka mungkin bahagia bukan main ketika bisa berduaan dengannya seperti ini. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Yuta. "Memangnya celaka seperti apa yang kamu pikirkan?" tanya Lauritz geli. Yuta tidak menjawab. Dia malah melengos dengan sorot mata sinis. "Terserah aja kalau kamu mau berdiri sepanjang malam di situ." Lauritz mengangkat bahu perlahan, kemudian berlalu meninggalkan Yuta. Dia terlihat duduk santai di sofa sembari berusaha menghubungi seseorang. "Dan, lo di mana?" tanya Lauritz tanpa basa basi saat asistennya menjawab panggilan. "Lagi jalan pulang," sahut Dani dengan nada manja. "Kenapa, Mas Lau?" "Udah jauh dari hotel?" "Lumayan. Kenapa?" tanya Dani waswas. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak mengenakkan akan segera terjadi. "Gue punya tugas buat lo." Benar saja dugaan Dani. Suaranya langsung terdengar ingin menangis ketika mengajukan protes, "Kan tadi Mas Lau sendiri yang kasih izin buat gue pulang. Katanya semua kerjaan udah beres." "Baru kepikiran," ujar Lauritz tanpa dosa. "Emang ya, Mas Lau itu enggak bisa hidup tanpa Anjani," desis Dani dongkol. Namun, lelaki kemayu itu pun sebenarnya merasa bangga karena Lauritz begitu percaya kepadanya. "Mau minta gue ngerjain apa sih, Mas?" "Lo tau baju tidur yang selalu ada di ranjang gue?" "Taulah! Tau banget!" Tujuh tahun bekerja sebagai asisten Lauritz, Dani tahu semua tentang bosnya itu. "Yang enggak boleh disentuh dan dicuci itu, 'kan?" "Betul." "Mau diapain baju itu?" tanya Dani heran. "Bawain ke sini." "Hah?" Pekikan Dani terdengar cukup kencang. "Cepetan, Dan!" titah Lauritz tidak sabar. "Aduh, Mas Lau!" keluh Dani malas. "Gue tau lo bukan lagi mau pulang, tapi mau lanjut pesta sendiri, 'kan?" ujar Lauritz yakin. "Yah, ketauan!" Nyatanya Dani memang sedang menuju kelab malam yang biasa dia datangi bersama rekan-rekan sesama pekerja pendamping para artis. "Cepetan! Gue cuma minta tolong itu aja. Habis itu terserah lo mau ngapain." "Oke, oke, gue ambilin!" Dani menyerah pasrah. Meski Lauritz suka seenaknya, tetapi dia baik. Jika bukan karena Lauritz, mungkin sekarang Dani hidup menggelandang. Dani yang berasal dari keluarga kurang mampu, memutuskan untuk langsung bekerja selepas SMA. Beruntung sekali Dani bertemu dengan Lauritz dan dia bekerja sebagai asisten pemuda itu sampai sekarang. Yuta tetap berdiri diam mengawasi gerak-gerik Lauritz. Dia sudah melepas sepatu yang membuat kakinya sakit. Punggungnya juga sudah bersandar ke pintu karena tubuhnya mulai terasa lemas. Satu jam berlalu dan Yuta masih terus keras kepala mempertahankan posisinya. Namun, bel tiba-tiba berbunyi. "Tolong buka pintunya," ujar Lauritz dari sofa. Alih-alih bergerak, Yuta hanya berdiri diam dengan tatapan waswas. "Jangan bengong, cepat buka!" titah Lauritz tidak sabar. "Aku enggak bisa buka karena kamu berdiri menghalangi di situ." Akhirnya, Yuta terpaksa menuruti perintah Lauritz. Begitu pintu terbuka, teriakan heboh langsung terdengar. "Mas Lau! Bawa cewek dari mana lagi ini?" Dani memandangi Yuta dari ujung kepala hingga kaki. Berhenti pada kaki gadis itu yang sudah tanpa alas. "Berisik, Dan!" gerutu Lauritz sebal. Dia segera menunjuk meja telepon yang terletak dekat sofa. "Taruh situ barangnya." "Terus gue langsung pergi lagi?" tanya Dani dengan nada jail. "Lo mau di sini?" sahut Lauritz santai. "Enggak dong!" tolak Dani cepat. Dia segera mengerling ke arah Yuta sambil tersenyum menyebalkan. "Masa jadi penonton? Mending juga jadi pelaku." "Sana pergi!" Lauritz segera mengusir asistennya yang lucu-lucu menjengkelkan. Setelah Dani pergi, Lauritz segera berdiri. Dia mengambil paper bag yang Dani bawakan, lalu segera menghampiri Yuta. Lauritz menarik pinggang Yuta mendekat. "Ke sini sebentar." "Kamu mau apa?" Yuta terkesiap ketika Lauritz mendekatkan hidungnya ke arah rambut, lalu turun ke pipi, kemudian menuju leher. "Aromanya benar-benar mirip," ujar Lauritz sambil menarik napas dalam-dalam dengan mata terpejam. Yuta sudah bersiap mendorong Lauritz kuat-kuat, tetapi pemuda itu telah menjauhkan diri terlebih dahulu. "Ganti baju kamu dengan ini." Lauritz menjejalkan paper bag ke tangan Yuta. "Ini apa?" bisik Yuta waspada. "Baju tidur." Hati-hati Yuta mengeluarkan pakaian tidur yang terlipat rapi dalam paper bag. Dia terpana ketika melihat pakaian di tangannya. Gaun tidur berlengan panjang, berpotongan sampai mata kaki, berwarna putih dengan renda-renda cantik di sekitar leher dan pergelangan tangan. "Kenapa ini kayak baju tidur noni Belanda zaman dulu yang suka ada di film-film gitu?" gumam Yuta kaget. Lauritz mendengkus geli. "Memangnya kamu pikir mau disuruh ganti pakai baju model apa?" Yuta tertunduk malu. Tadinya dia kira akan menemukan pakaian tidak pantas di dalamnya. "Cepat ganti, tapi hati-hati!" ujar Lauritz serius. "Jangan sampai ada yang rusak." Awalnya, Yuta masih sempat ragu. Namun, setelah mempertimbangkan beberapa saat, dia merasa tidak ada ruginya. Lebih baik memakai gaun tidur yang tampak nyaman dan tertutup rapat itu, ketimbang gaun serba terbuka yang sekarang dipakainya. Yuta berganti pakaian di kamar mandi, memandangi tampilan dirinya di cermin, lalu keluar dengan ragu-ragu. "Sekarang naik ke ranjang," titah Lauritz sembari menepuk tempat tidur. Dia sendiri sudah berbaring terlebih dahulu. "Kalau aku enggak mau?" tanya Yuta ragu-ragu. "Aku kasih obat bius biar kamu tidur," sahut Lauritz santai. Cepat-cepat Yuta berjalan menuju tempat tidur. Lebih baik berbaring dalam keadaan sadar daripada dibius. "Berbaringlah," ujar Lauritz saat melihat Yuta hanya duduk dengan kaku di ujung tempat tidur. Lembutnya tempat tidur yang tampak nyaman dan menggoda itu membuat Yuta terlena. Punggung lelahnya dan kaki yang sudah terasa mau copot menuntut segera diistirahatkan. Akhirnya, Yuta kalah. Dia beringsut, lalu berbaring hati-hati. "Jangan jauh begitu, sini lebih dekat!" Lauritz menyusupkan lengan di bawah pinggang Yuta, lalu menariknya merapat. Yuta gemetaran ketika tubuhnya berbaring sangat rapat dengan Lauritz. Dia sudah membayangkan hal-hal menakutkan yang akan segera terjadi. Namun, Lauritz tidak melakukan apa-apa. Dia hanya berbisik seraya memejamkan mata, "Sekarang tutup mata dan tidurlah." Seiring matanya terpejam, tubuh Lauritz perlahan terasa sangat rileks. Hal yang sudah sangat lama tidak dirasakannya. Beberapa saat kemudian, kantuk menjemput. Dalam kondisi kesadaran yang makin menurun, Lauritz bisa mendengar suara samar dalam benaknya. Selamat malam, Sayang. Tidurlah yang nyenyak dan mimpikan hal-hal indah saat kita bersama. Untuk pertama kalinya Lauritz benar-benar jatuh tertidur. Begitu dalam dan tenang. Mimpi yang sudah sekian lama tidak singgah karena dia terus terbangun sepanjang malam, kini menghampiri. Dalam tidurnya, Lauritz kembali melihat kenangan indah itu. Masa-masa ketika dia berlarian di taman sambil bertautan dengan sebuah tangan lembut yang hangat. Lauritz terus terlelap sampai matahari membangunkannya. Begitu membuka mata, Lauritz melihat Yuta tengah berbaring memandanginya. "Akhirnya, setelah bertahun-tahun … aku berhasil menemukan kamu," bisik Lauritz lega. Perkataan Lauritz membuat Yuta terkejut. "Apa kamu udah kenal aku sebelumnya?" Senyum samar tampak di wajah Lauritz. "Aku kenal aroma kamu." Kening Yuta mengernyit tidak paham. Apa maksud perkataan Lauritz sebenarnya? "Terima kasih udah bikin aku bisa tidur nyenyak semalam," ujar Lauritz sungguh-sungguh. Yuta tampak makin tidak mengerti. "Mulai hari ini, aku akan bawa kamu pulang," putus Lauritz tiba-tiba. "Kita akan tinggal bersama."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD