Bab 4. Perbedaan Status

1342 Words
Astrid menata makanan seraya mengulum senyum, dia tengah menanti anak dan menantunya turun ke bawah. Wanita itu melihat jam yang melingkar di tangannya, tak biasanya Damar belum turun. Terkekeh geli, Astrid membayangkan sesuatu yang tidak-tidak. Tak berbohong, Astrid memang sudah sangat ingin memiliki cucu. Melihat banyak teman-teman sosialitanya yang sudah mengendong cucu dan memiliki menantu tentu saja membuat Astrid juga menginginkan hal serupa, dia terkadang menaruh rasa sedih saat arisan banyak dari temannya yang membawa cucunya ikut serta. "Pasti lagi ada adegan drama Korea," kekeh wanita seraya menutup mulut. "Nggak sabarnya gendong cucu ...!" teriak Astrid dengan wajah berbinar bahagia. Wanita itu terdiam sejenak, dia sempat berpikir. "Request bayi kembar bisa nggak ya?" gumam Astrid. Sementara di tempat yang Astrid maksudkan, Thalia tengah merengut kesal seraya memandang Damar yang tengah bersiap. Perempuan itu berulang kali berdecak cukup keras, kesabaran Thalia benar-benar diuji oleh Damar sejak tadi. "Ya Bapak mikir juga, dong! Masa gitu doang nggak bisa mikir?!" Hidung Thalia kembang kempis, dia meringis pelan. "Ini sakit tau, saya mana bisa jalan?!" "Kamu aja yang ceroboh!" sahut Damar dengan lirikan sinis. "Kan karena Bapak juga saya nggak bisa jalan! Di mana-mana mah dibantuin ke kamar mandi, Bapak malah bodoamat." Thalia terus mendumel dengan wajah kesalnya. Thalia kembali mencebik kesal, wanita itu memukul sofa. Thalia melipat tangannya di depan d**a, wanita itu memandang sang suami dengan tatapan sinis. Insiden yang baru saja terjadi membuat Thalia semakin kesulitan berjalan. Niat awal Thalia adalah ke kamar mandi karena dirinya kesulitan berjalan jadilah dia terjatuh di kamar mandi, beruntungnya Damar dengan cekatan menghampiri Thalia dan mengendong Thalia meskipun sembari mengomel. Sialnya, kaki Thalia sepertinya terkilir. Wanita itu bahkan kesulitan untuk berjalan, dia berulang kali mencoba menggerakkan kaki, tetapi berulang kali juga Thalia menjerit. Tingkat Thalia berhasil membuat Damar mendengus, istrinya itu terlihat seperti orang bodoh di matanya. "Kamu mau kaki kamu ujungnya harus diamputasi?! Diem aja bisa?!" Damar memandang tajam sang istri, dia berucap dengan nada tinggi membuat Thalia ketakutan dan menurut. Damar menarik turun dasi yang dia kenakan. "Kamu tuh ngejar apa sampe jatuh? Ceroboh!" "Ngomel aja terus bukannya dibantu!" kesal Thalia. Menarik napas panjang, dia berjongkok di hadapan Thalia. Pria itu membawa kaki Thalia ke atas pahanya, Damar memijat dan memutar pergelangan kaki sang istri secara perlahan. Meskipun sudah hati-hati, Thalia tetap berteriak cukup kuat membuat Damar memejamkan mata karena terkejut. Thalia memiliki suara yang cukup melengking dan suara Thalia selalu berhasil membuat telinganya sakit jika wanita itu berteriak. Sorot tajam Damar memandang sang istri dengan lekat, dari bawah dia dapat melihat wajah imut dan lembut Thalia, wajah yang akan dia lihat setiap harinya selama satu tahun ke depan. Damar akui Thalia bukanlah wanita jelek dan tidak terurus seperti wanita miskin di luaran sana, Thalia justru begitu terawat dari ujung rambut sampai kaki. "Akh ... sakit!" jerit Thalia sembari memegang kakinya. "Pelan-pelan, kenapa, sih?!" "Hm." Damar berdiri, dia memandang Thalia dengan tatapan tajam. "Gerakin." "Ha?" Thalia mendongak dengan mata membulat dan mulut terbuka lebar, dia tak paham maksud sang suami. Pria itu berdecak kesal sebelum menjawab, "Gerakin kaki kamu!" Mulut Thalia membentuk huruf O, setelahnya dia berdecak. Damar ini terlalu irit kata dan bicara seperlunya, saking iritnya terkadang Thalia ingin sekali mengajari pria itu cara berbicara yang jelas dan panjang. Thalia yang banyak bicara harus berhadapan dengan Damar setiap hari dan itu berhasil memancing kekesalan setiap saat. Ah, rasanya Thalia sudah lelah walaupun baru sehari menyandang gelar nyonya muda Prasetya. "Ngomong itu yang lengkap, dong!" Thalia menuruti perintah Damar, dia menggerakkan kakinya lantas bersorak senang. "Wah ...! Keren banget! Makasih, Pak!" "Hm. Ayo ke bawah!" ajak Damar. Thalia mengangguk, dia berdiri perlahan. Saat akan melangkah Thalia harus menghentikan langkahnya karena Damar berjalan mundur, wanita itu menaikkan alisnya tinggi-tinggi. "Di depan Mama jangan panggil saya Bapak, kamu paham?" cetus Damar dengan nada suara tajam. Thalia mengangguk malas. "Hm, paham." Thalia dan Damar berjalan beriringan, mereka menarik kursi dan duduk berhadapan. Astrid tersenyum senang melihat kehadiran dua orang yang dinantikan, dia membalikkan piringnya. "Ini manten baru lama banget turun, habis buat adegan telenovela ya?" celetuk Astrid yang membuat Thalia tersedak karena sedang minum. "Pelan-pelan, Sayang," tutur Damar. Thalia mengusap bibirnya dengan punggung tangan, dia memandang Astrid dengan tatapan canggung. Sementara itu, Astrid menahan senyumnya mendengar penuturan manis dan lembut sang putra. Wanita itu tersenyum paksa, tak ada adefan yang Astrid katakan yang ada hanya perdebatan. "Dapet Mama tebak sebentar lagi Mama akan punya cucu," celetuk Astrid, kali ini keduanya tersedak. Thalia menundukkan kepala dalam, dia sungguh merasa canggung dengan pembahasan kali ini. Wanita itu tertawa karir sebelum akhirnya menjawab, "Liat nanti aja, Ma." "Ma, makan aja! Jangan sambil bicara," tegur Damar yang dibalas tawa dan anggukan oleh Astrid. "Okelah." Thalia menghela napas lega, dia sempat melirik Damar yang kembali fokus menghabiskan makanannya. Wanita itu memilih melanjutkan makannya tanpa dia tahu Damar sempat meliriknya sekilas. *** "Kamu harus belajar cara menghabisi uang suami, Sayang." Thalia tersenyum canggung mendengar ucapan sang mertua. Meskipun terdengar menggiurkan, tetapi Thalia cukup waras untuk tidak menghamburkan uang. 500 juta yang Damar berikan rasanya akan sia-sia jika hanya dihabiskan untuk hal tidak berguna, Thalia berencana menyimpan uang itu untuk modal usahanya jika kontrak pernikahannya telah berakhir. Langkah kaki Thalia terhenti saat Astrid juga berhenti. Wanita itu memandang Astrid yang mengambil dress berwarna merah yang cukup elegan, dia mengerutkan kening saat Astrid berbalik ke arahnya. "Ini cocok di kamu, Sayang. Kamu jadi keliatan seksi dan anggun," ucap Astrid seraya menempelkan dress itu di tubuh Thalia. "Ini mahal banget lho, Ma ...." Thalia meringis melihat harga dress tersebut mencapai angka sepuluh juta, dia menggaruk tengkuknya. Rasanya gaya hidupnya dan Astrid benar-benar berbanding terbalik, berulang kali Thalia harus menelan kasar air liurnya sembari mengusap d**a naik turun. "Ini murah, Sayang. Kamu harus beli! Damar pasti suka kamu pakai ini, dia bakalan tergoda!" Astrid cekikikan membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Thalia mengusap wajahnya ke bawah, dress yang Astrid pilihkan begitu terbuka di bagian punggung dengan sebuah tali melingkar di leher. Thalia beralih mengusap d**a naik turun, jiwa miskinnya benar-benar meronta saat ini. Perbandingan status benar-benar begitu ketara di sini. Melihat Astrid yang kembali berjalan ke tempat lain membuat Thalia buru-buru mengejar sang mertua. Dia menoleh ke belakang lantas menggaruk pipi, Thalia meringis sendiri melihat tiga bodyguard membawa banyak paperbag yang sudah dipastikan isinya barang-barang mewah dan mahal. "Mereka terlalu kaya untuk gue yang terlalu miskin ini." *** Damar memperhatikan berkas di tangannya, kepala pria itu berulang kali mengangguk pelan. Sementara, pria di hadapan Damar memperhatikan Damar sembari menanti apa yang ingin disampaikan oleh pria itu. Damar menutup berkasnya, dia memandang serius pria di hadapannya. "Katanya ada mandor yang sempet ngalamin kecelakaan?" "Bener." Pria itu mengangguk pelan. "Mau dikasih—" "Kasih 20 juta ke keluarganya," potong Damar dengan cepat. Pria di hadapan Damar mengangguk, dia segera menghubungi seseorang untuk mengurusnya. Sementara itu, Damar mengisap rokoknya, pria itu memandang ke atas, ada banyak hal yang rasanya melelahkan. Namun, pria itu tak punya waktu untuk sekadar mengeluh. "Pembangunan hotel kita di tempat yang cukup strategis, belum lagi di sana pariwisatanya jor-joran." Damar mengangguk. "Bagus, kita nggak salah pilih tempat. Ada kendala?" Dilan mengangguk sebelum akhirnya menjawab, "Niat awal kita bikin hotel lantai 20 harus dibatalin karena di Bali tinggi bangunannya nggak boleh melebihi pura di sana." Damar menyandarkan tubuhnya. "Lalu?" tanya pria itu. Dilan menunjukkan sketsa yang ada di laptopnya, pria itu menjelaskan dengan perlahan perubahan yang akan terjadi pada pembangunan kali ini. "Kita buat versi memanjang dan per bangunan, selain itu nanti kita akan mengikuti aturan pembangunan di sana supaya tidak salah. Kita juga nambahin beberapa tempat ibadah kayak padmasana sama penungungkarang," jelas Dilan. "Tujuan?" "Untuk menghormati budaya di sana, biasanya setiap bangunan memang ada itu." Damar mengangguk mengerti, dia bangkit dari duduknya dan meraih jas yang dia sampirkan di kursinya. Pria itu memandang Dilan dengan wajah datar. "Kita selesain pembahasan kali ini. Udah jam makan siang," cetus pria itu. Dilan mengangguk antusias. Pria itu buru-buru menutup laptopnya. Jujur saja, sedari tadi Dilan sudah menahan lapar, tetapi dia tak berani mengatakan itu di saat pembahasan penting dengan Damar. "Kita makan nasi goreng seafood pinggir jalan ya, Pak Bos!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD