Bab 6. Roti Sobek

1327 Words
Thalia berjalan menaiki tangga dengan perlahan, dia baru saja kembali dari dapur. Karena mengomel tadi, Thalia jadi merasa haus. Thalia bersenandung pelan, dia sesekali melirik ke kanan dan kiri. Suasana kediaman Prasetya memang selalu sepi, wajar karena diisi orang-orang dewasa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Thalia berdiri di depan pintu kamar, wanita itu terlihat santai dan bahkan terlihat tenang. Tak ada satu pun yang dia pikirkan, tetapi saat Thalia membuka pintu wajah wanita itu berubah terkejut, tangan Thalia mengantung di udara. Mata wanita itu membelalak. Tanpa sadar Thalia menahan napas, di depan pintu kamar mandi Damar berdiri dengan handuk melingkari pinggang dan satu handuk mengelap rambutnya yang basah. Buru-buru Thalia memutar tubuh membelakangi sang suami, dia menutup matanya erat-erat. Apa yang baru saja dia lihat berputar di kepalanya bak kaset rusak, Thalia menggelengkan kepalanya keras. "Ah, maaf, maaf. Saya nggak tau Bapak lagi nganu," jelas perempuan itu gugup. Damar berdeham, dia menarik napas panjang. "Sampai kapan kamu mau berdiri di ambang pintu? Mau buat orang lain ngeliat tubuh suami kamu?" Thalia menggeleng cepat, dia panik mendengar ucapan Damar. Wanita itu berjalan mundur dengan mata tertutup, dia lantas menutup pintu. Tingkah Thalia membuat Damar menaikkan satu alisnya, pria itu melipat bibir bawahnya ke dalam menahan sebuah senyuman. "Buka mata kamu! Saya sudah pakai baju." Damar menyuruh Thalia dengan sebal, menurutnya wanita itu sedikit berlebihan. Thalia menggeleng keras. "Bohong?" tanya perempuan itu. Damar berdecak sebal. Dia berjalan mendekati sang istri, saat sudah ada di hadapan Thalia, pria itu meraih tangan sang istri dan menuruninya. Dia menatap lekat Thalia seraya menaikkan satu alisnya. Mata tajam Damar menelusuri wajah Thalia, mata wanita itu masih terpejam membuat Damar mendengus kesal, pandangan Damar tertuju pada bibir ranum sang istri. Cantik, satu kata yang terbesit saat Damar melihat bibir kecil itu. "Sudah bisa kamu lihat saya mengenakan pakaian?" tanya Damar dengan nada cemooh, dia menarik kelopak mata Thalia ke atas hingga mata wanita itu sedikit terbuka dengan paksaan. Thalia menunduk memperhatikan sang suami yang sudah mengenakan pakaian lengkap. Sadar dengan apa yang dia lakukan, wanita itu segera membuang muka. Melihat itu Damar justru terkekeh pelan, dia meraih dagu Thalia dan mengarahkan pandangan Thalia ke matanya. Damar tersenyum miring saat bola mata sang istri bergerak liar, rasanya sungguh menyenangkan melihat raut wajah khawatir perempuan itu. "Seharusnya kamu bersikap santai saja melihat suamimu sendiri, 'kan?" tanya Damar dengan nada suara mengejek. "Dikira gue pernah liat roti sobek secara exclusive apa ya?" omel Thalia yang masih didengar oleh Damar. "Bukannya memang pernah? Kalau kamu lupa, kita bahkan sudah berbagi peluh." Damar menjawab dengan wajah menyebalkan yang membuat Thalia mendelik sinis. Senyum miring Damar semakin melebar, pria itu mendekatkan kepalanya ke telinga Thalia. Apa yang Damar bisikkan mampu membuat Thalia mematung dengan tangan terkepal. "Sekarang seorang Thalia Amelia bisa melihatnya sepuasnya." Thalia mendorong tubuh Damar, dia berkacak pinggang. Mata wanita itu melotot, dia memandang sang suami dengan tatapan kesal. Sementara itu, Damar justru tak peduli, pria itu memandang Thalia dengan wajah mencemooh. "Masih juga cakepan badan Chanyeol," ketus Thalia. Damar terdiam sejenak. "Dia siapa?" Pertanyaan bernada dingin itu membuat Thalia menelan air liur. Thalia menggeleng cepat, kakinya secara spontan mundur ke belakang. Damar tak tinggal diam, dia memegang pergelangan tangan Thalia menahan gerakan wanita itu. Pria itu dengan cepat membuka bajunya membuat Thalia membelalakkan mata dan langsung memejamkan mata. "Pa—pak, lepas!" pinta Thalia tergagap. Damar menggeleng, pria itu tersenyum miring. "Kenapa kamu merem, hm? Seindah itu tubuh pria yang kamu sebutkan sampai kamu tidak mau melihat tubuh saya?" Damar mendesis, sorot tajam pria itu mampu membuat Thalia tak berkutik. Thalia menggelengkan kepala takut, dia tak mengerti mengapa Damar bisa marah hanya karena ini. Seharusnya pria itu bersikap biasa saja mengingat mereka hanya menikah kontrak. "Kenapa Bapak harus marah?" Thalia memberanikan diri untuk bertanya. Damar terdiam, dia langsung melepas tangan Thalia dan kembali mengenakan baju. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu berjalan keluar kamar. Sementara itu, Thalia mengelus d**a, tindakan Damar hari ini benar-benar tak sehat untuk jantung. "Huh! Dia kenapa, sih? Kayak lagi cemburu." Raut wajah Thalia begitu penasaran, wanita itu benar-benar dibuat heran sendiri. "Tapi nggak mungkin dia cemburu." Thalia menjeda sejenak ucapannya, kening perempuan itu berkerut. "Tapi tingkahnya kayak orang cemburu ...." *** Thalia melenguh pelan, dia membuka mata perlahan. Wanita itu mengerjap, dia berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya. Namun, perempuan itu langsung terkesiap saat melihat wajah Damar yang begitu dekat dengannya. Belum lagi tangan wanita itu melingkar di perut Damar dengan sempurna. Thalia cepat-cepat melepaskan tangannya dan mengubah posisi menjadi duduk. Wanita itu memegang dadanya yang berdegup kencang, gugup bercampur malu. "Sialan! Kok bisa meluk ini om-om, sih?!" tanya Thalia pada diri sendiri, dia menatap Damar yang masih tertidur dengan pulas. Thalia menghela napas lega, dia mengusap dadanya naik turun. Dengan hati-hati wanita itu menuruni kasur, dia kembali melirik Damar yang masih tertidur lantas menghela napas lega. Takut-takut Damar terbangun, Thalia sungguh enggan menghadapi suami arogannya itu. "Keknya gue harus mandi kembang tujuh rupa biar lepas dari kutukan," bisik wanita itu seraya berlari pelan menuju kamar mandi. Thalia berjalan memasuki dapur, di sana sudah ada Astrid dan juga Asih yang tengah menyiapkan sarapan. Wanita itu sempat berhenti di antara pembatas dapur dan ruang makan, dia menarik napas panjang sebelum akhirnya kembali melangkah mendekati kedua wanita berbeda usia itu. "Pagi, Ma, Bi!" sapa Thalia dengan senyuman manis. "Pagi, Non." "Pagi, Sayang. Kamu duduk aja di meja! Sarapan biar Mama yang siapin ya." Suara lembut Astrid berhasil membuat perasaan Thalia menghangat. Wanita itu menggeleng pelan. "Biar aku bantu juga, Ma. Mama masak apa buat sarapan?" balas Thalia. Astrid tersenyum tulus, dia mengusap kepala Thalia dengan lembut. Wanita itu lantas berjalan ke arah kulkas, dia membuka kulkas dan mengambilkan Thalia s**u. Astrid kembali berjalan mendekati Thalia dengan segelas s**u full cream di tangannya. "Minum dulu, Sayang!" Astrid memberikan gelas itu pada Thalia. "Masak sayur asem, ayam goreng, sama tempe aja, biar nggak terlalu berat." "Makasih, Ma." Thalia tersenyum manis. "Biar ayamnya aku yang cuci ya, Ma." Astrid mengangguk memperbolehkan Thalia ikut membantu dirinya. Wanita itu memperhatikan Thalia yang cekatan membantu dirinya, keinginan Astrid dulu seolah terkabul saat ini. Rasanya dulu dia begitu menginginkan anak perempuan, tetapi dua tahun setelah Damar lahir rahim wanita itu harus diangkat. Astrid mengusap sudut matanya, dia menarik napas panjang sebelum akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. "Damar masih tidur ya, Tha?" "Iya, Ma." Thalia menoleh lantas mengangguk. "Mungkin Mas Damar kecapean karena habis lembur semalem." "Mama nggak sabar banget rasanya dapet cucu dari kalian." Astrid mengucapkannya dengan kebahagiaan, mata wanita itu bahkan berbinar, dia tengah membayangkan seramai apa hidupnya saat memiliki cucu nanti. Mendengar dan melihat itu membuat Thalia terdiam, ada perasaan bersalah yang muncul karena dirinya telah membohongi Astrid. Thalia bahkan bisa merasakan cinta yang besar dari sosok mertuanya saat ini, mungkin penyesalan Thalia nantinya adalah kehilangan dan melepas mertua seperti Astrid. Damar melahap sarapannya dengan tenang hanya saja kali ini jauh lebih lahap. Melihat itu membuat Astrid tersenyum, sedangkan Thalia tampak fokus menghabiskan makanan yang dia punya, perempuan itu membuat salad buah karena dia sedang tidak bernafsu dengan makanan berat. "Enak ya, Dam?" tanya Astrid seraya mengulum senyum. Damar mengangguk tanpa ragu. "Iya, Ma. Rasanya beda, skill masak Mama nambah ya?" Astrid tertawa mendengar itu. "Gimana sih kamu?! Itu masakan istri kamu, lho. Kalian pacaran lama masa kamu nggak tau rasa masakan Thalia?" Damar yang sedang menelan makanan tersedak, buru-buru Thalia memberikannya minum. Sementara Astrid menaikkan alisnya tinggi-tinggi melihat itu, dia sempat melirik Thalia yang dengan sigap berpindah tempat duduk dan mengusap-usap punggung Damar. "Makannya pelan-pelan, dong!" suruh Thalia dengan suara kesal. "Kenapa kamu keselek? Mama salah bicara?" Astrid menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung. Damar menggeleng pelan. "Bukan gitu, Ma. Emang selama pacaran Thalia belum pernah masakin aku karena bagi aku Thalia pasangan aku bukan pembantu aku," jelas Damar. Astrid tersenyum mendengar itu, dia merasa tak gagal mendidik putra semata wayangnya. Sementara itu, Thalia memberengut sendiri mendengar ucapan Damar. Dia tahu betul jika itu bualan, tetapi patut Thalia akui jika Damar sangat ahli dalam urusan berbohong. "Mama harap kalian langgeng sampe menua."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD