Astrid memandang perempuan lugu yang berdiri di samping Damar. Satu alis wanita itu terangkat, dia beralih memandang Damar yang justru dengan tenangnya berdiri di samping pria itu. Kepala Astrid berdenyut, entah ulah apa lagi yang dilakukan sang putra, tetapi kepala Astrid sudah pusing lebih dulu.
Astrid berdiri, wanita itu melipat tangannya di depan d**a. Dia memandang Thalia dari atas sampai bawah, penampilan sederhana Thalia membuat kening Astrid berkerut. Sepertinya Damar membawa seorang pembantu baru, itu adalah dugaan wanita itu. Penampilan perempuan di hadapannya ini begitu sederhana, dia bahkan mengenakan tas yang cukup lusuh dan seperti tidak layak digunakan lagi.
"Kamu bawa siapa? Dia mau jadi art di rumah kita?" tanya Astrid.
Mata Thalia membulat, dia masih menunduk. "Sebabu itukah muka gue?" ucap Thalia di dalam hati.
Perempuan itu meneliti penampilannya, Thalia lantas meringis pelan. Pantas dirinya dikira calon asisten rumah tangga, penampilan Thalia benar-benar menggambarkan itu semua. Thalia meringis pelan, dia menggaruk pipinya yang sama sekali tidak gatal.
"Malu-maluin banget sih lu, Tha!" batin perempuan itu.
Bola mata Thalia bergerak liar, dia merasa gugup sekaligus canggung. Ornamen mewah yang menghiasi rumah ini tak mampu membuat Thalia terpikat meskipun dia tinggal di gubuk, tetapi rasa takut dan kekhawatiran dirinya lebih kuat daripada rasa tertariknya pada apa yang dia lihat.
Damar sempat melirik Thalia, tangan perempuan itu menyatu di depan tubuhnya. "Bukan, Ma. Dia calon istri aku," balas Damar seraya mengambil tangan Thalia dan menggenggamnya.
Astrid terkejut mendengar itu, dia langsung memandang Thalia dengan intens. Wanita itu memperhatikan pakaian sederhana yang Thalia kenakan, belum lagi sepatu yang di depannya menganga lebar. Astrid meringis pelan, dia tak tahu di mana Damar menemukan perempuan ini. Namun, satu hal yang berhasil menarik perhatian Astrid, anaknya itu tidak mengurus pasangannya dengan baik.
"Kamu dapet perempuan dari mana, Damar?" Astrid memandang sang putra dengan tatapan tajam. "Minta dia angkat kepala!" titah wanita itu.
Damar tak bicara, dia meremas kuat tangan Thalia membuat perempuan itu menahan ringisan. Dengan sedikit kekerasan dari Damar, Thalia mengangkat wajahnya perlahan. Tatapan polos dan wajah lugu perempuan itu dapat dilihat oleh Astrid dengan jelas, Thalia tersenyum canggung.
"Ha—hallo, Nyonya. Saya Thalia," salam perempuan itu dengan gugup.
Astrid memandang Thalia dengan intens sebelum wanita itu beralih memandang Damar yang sedari tadi terdiam, wanita itu mendudukkan diri di sofa. Satu kaki Astrid terangkat dan bertumpu di kaki kanannya.
"Mama penasaran, kenapa calon kamu penampilannya nggak layak gini? Kamu nggak ngurus dia dengan baik?" tanya Astrid dengan serius.
Damar menggeleng cepat. "Bukan gitu, Ma. Aku cuman mau Thalia ketemu Mama dalam keadaan apa adanya supaya Mama tau gimana kondisi calon mantu Mama sebenarnya," kilah pria itu.
Thalia yang mendengar itu mendengus, mulut pria di sampingnya itu rasanya begitu lancar jika urusan berbohong. Thalia menoleh, dia memandang Damar dengan tatapan yang sulit diartikan. Meskipun begitu tampan dan gagah, tetapi Damar begitu Arogan membuat Thalia enggan untuk menaruh hati.
"Minta calon kamu duduk dan jawab pertanyaan Mama!"
Damar duduk terlebih dahulu, setelah itu dia menarik tangan Thalia sedikit kasar. Tindakan Damar itu membuat Thalia melotot, dia menoleh menatap sinis Damar. Akan tetapi, tatapan tajam Damar membuat Thalia langsung membuang muka.
Menghela napas panjang, Damar merangkul bahu Thalia. Pria itu menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman manis yang sarat akan paksaan. Damar sempat menatap Thalia sebelum akhirnya kembali memandang Astrid.
"Thalia udah jadi pacar aku dua tahunan ini, Ma. Dan Damar memutuskan untuk segera meminang Thalia," jelas Damar.
Thalia melirik Damar, dia berdecak kagum di dalam hati. "Jago bohong banget," gumam perempuan itu begitu pelan.
"Kamu nggak bermaksud membatalkan perjodohan dengan membawa orang asing dan kamu kenalin ke Mama sebagai calon kamu, 'kan?" Mata Astrid memicing, wanita itu merasa aneh sendiri dengan interaksi kedua pasangan di hadapannya.
Thalia menelan air liurnya dengan kasar, dia lantas membuang muka. Siapa yang menduga Astrid akan berpikir ke arah sana meskipun memang itu kenyataannya, tetapi untuk ketahuan terlalu cepat rasanya hanya akan menambah masalah, Thalia yakin dengan itu.
Damar tertawa, dia menggeleng pelan. "Mama ini dapet pemikiran kolot dari mana coba? Thalia beneran pacar aku kok. Iya 'kan, Sayang?"
Thalia gelagapan, dia mengangguk kaku. Sungguh, Damar ini tak terduga, pria itu bahkan masih bisa tersenyum manis setelah membuat jantung Thalia ingin jatuh dari tempatnya. Dia meringis setelahnya, jika bukan karena uang dirinya tak akan pernah mau ada di posisi ini, Thalia tidak akan pernah mau berbohong.
"Jadi ini alasan aku nolak perjodohan itu karena aku ada pacar," lanjut Damar.
Astrid menghela napas panjang. "Lalu kenapa kamu baru bawa Thalia ke hadapan Mama?"
Damar berdecak pelan, dia pikir Astrid akan berhenti mengajukan pertanyaan. Akan tetapi, dugaan Damar justru salah. Sementara itu, Thalia memilih diam, selain karena canggung, Thalia juga takut salah bicara.
"Aku cuman takut Mama nggak nerima Thalia," jawab Damar dengan nada pelan, terdengar ragu.
"Kamu dapet pemikiran kolot dari mana coba?" Astrid membalikkan perkataan Damar yang membuat pria itu mendengus.
Astrid berdiri dari duduknya, dia menatap Thalia yang nampak canggung. "Segera atur pernikahan kalian, Mama kasih waktu sebulan," putus Astrid sebelum akhirnya pergi.
"Sebulan?" Thalia mengulang kata itu dengan tatapan kosong, sedangkan Damar meraup wajahnya.
"Bapak yakin kita nikah secepet itu?" tanya Thalia dengan wajah ketakutan.
"Iya, kenapa harus ragu?" Damar mengangkat satu alisnya, dia memandang Thalia dengan tatapan yang sulit diartikan.
Thalia mendengus, perempuan itu merasa tak ada gunanya bertanya pada pria angkuh seperti Damar. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari duduknya.
"Aku mau pulang. Mau pamit sama Mama Bapak dulu, kamarnya di mana?"
"Saya anter."
***
Thalia melempar badannya ke kasur yang cukup keras jauh dari kata empuk. Perempuan itu membuang napas panjang, dia baru saja kembali dari kediaman Damar. Thalia mengubah posisi menjadi duduk dan bersandar pada tembok. Sejenak Thalia memikirkan keputusan yang dia ambil, keputusan tanpa berpikir panjang. Namun, bukan karena 500 juta yang Damar tawarkan, melainkan karena hal lain.
"Ayah, Thalia nggak tau keputusan Thalia tepat atau nggak, Thalia cuman berpikir gimana caranya ngelunasin hutang istri sialan Ayah itu," ucap perempuan itu.
Mata Thalia terpejam, dia cukup yakin setelah ini hari-harinya akan terasa lebih berat. Menikah masih belum ada dalam daftar hidup Thalia, tetapi karena keadaan perempuan itu harus merelakan impiannya dan kebebasannya. Semua kata andai yang terlontar pun terasa percuma, Thalia sudah mengambil jalannya dan dia harus bertanggung jawab sekarang.
"Thalia berharap ini terbaik, Yah. Rasanya tanpa Ayah beneran kehilangan arah," lirih perempuan itu.
Mata Thalia terbuka perlahan, perempuan itu mengusap air matanya. Dia menarik napas panjang lantas membuangnya, perempuan itu memukul dadanya, terasa menyesakkan. Namun, rasa itulah yang pada akhirnya berakhir dengan kata sudah biasa.
Suara nyaring yang berasal dari ponsel membuat Thalia mengerutkan kening, dia segera mengambil ponsel usangnya. Thalia berdecak pelan saat mengetahui siapa yang menelepon dirinya.
"Anak sialan! Cepat lunasin hutang Ayah kamu, Thalia!"
Thalia menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar teriakan tersebut, dia menggosok telinganya bergantian, suara ibu tirinya begitu menggelegar.
"Iya, sabar. Bisa sabar nggak?" kesal Thalia.
"Saya nggak mau tau! Kamu harus lunasin hutang itu," tekan seseorang di seberang sana.
Thalia yang menarik napas panjang. "Ibu yang berhutang kenapa harus aku yang bayar?!"
"Itu hutang Ayah kamu, Thalia! Dan itu kewajiban kamu untuk bayar."
Thalia mendengus, berdebat pun ujungnya hanya membuang tenaga. Dia berdeham pelan membuat seseorang di seberang sana menggeram kesal karenanya.
"Dalam seminggu kamu tidak melunasi hutangnya, saya akan nikahin kamu sama Pak Tarno!"
Panggilan telepon itu terputus, Thalia melempar ponselnya ke arah kasur. Dia mengacak rambutnya frustrasi.
"Ini gimana, Tuhan?! Si om-om itu baru ngasih uang, kalau udah nikah dan nikahnya masih sebulan lagi."