11 🌺 Masih perawan

1344 Words
Allah Maha Baik. Tuhan semesta alam mengabarkan bahwa niat baik seseorang akan ditulis pahala 1 kebaikan, apabila niat baik itu direalisasikan, maka bernilai pahala sepuluh kali lipatnya. Namun sebaliknya, Allah perintahkan para malaikat agar menahan pena mereka bagi niat buruk manusia. Keburukan tidak akan dicatat hingga dilaksanakan, itu pun hanya ditulis satu saja keburukan itu tanpa dilipatgandakan. 🌺🌺🌺 Bagas menghela napas, menyipitkan matanya ke arah lain. Rasanya pembicaraan mereka timpang sekali. Windi tampak takut dan selalu ragu-ragu. Namun, bagaimana lagi. Bagas tak bisa memaksa gadis itu untuk lebih santai menanggapi dedengkot tua yang terkesan memanfaatkan kepolosan gadis belia. “Aku tegaskan lagi, aku tidak merasa rugi apa pun dari bantuanku kepadamu. Hanya kuminta satu hal saja, di depan Khalid atau Khumaira, anggap saja aku menikahimu karena cinta. Jaga aib yang kamu punya serapat-rapatnya.” Windi menelan liur susah payah. Menusuk jantung sekali kalimat Bagas baginya. Windi menyadarinya kini bahwa Bagas sendiri yang membuat citra ‘mencintainya’, tak salah Khalid sering memanggil Windi sebagai calon ibu. “Aku bertanya, serius bertanya. Bukan aku ingin mengambilnya darimu, tetapi jawab jujur saja pertanyaanku.” Bagas melihat sekitar mereka sesaat. Lenggang. Bagas lalu menatap mata Windi dalam, berhati-hati dengan kalimat tanyanya, “Kamu masih perawan?” Bola mata Windi melebar. Benar-benar ia tak menyangka akan dilontarkan pertanyaan itu. “Jawab saja,” pinta Bagas malas. “Y---ya.” Bagas menarik napas lalu menghembuskan dari mulut. Senyumnya terukir tulus, “Alhamdulillah.” Windi bingung. Pikirnya sesaat lagi Bagas akan membawanya ke rumah sakit untuk dicek secara medis. Barangkali lelaki itu masih ragu. Namun, Bagas malah membuyarkan isi kepala Windi dengan kalimat selanjutnya. “Itu akan jadi bukti bahwa aku tidak menyentuhmu. Pernikahan kita tidak akan diresmikan. Kita akan menikah secara siri saja. Statusmu di mata negara tetap belum menikah.” Bagas meneruskan langkah sambil bicara, “Kamu boleh mengirimkan proposal ta’aruf dan mengaku gadis. Begitu kamu menemukan calon suami yang tepat dan kalian ingin menikah, aku akan menceraikanmu. Tanpa hubungan badan, maka bagimu tidak akan ada masa iddah.” Windi tak mengira jika begitulah jalan pikir yang Bagas ambil. Setitik pun tidak ada kesan lelaki tersebut akan mencuri kesempatan darinya. Malah yang ditawarkan Bagas benar-benar ... hanya perlindungan saja. Seberapa tulus hatinya? Wallahu’alam. “Kamu setuju?” tanya Bagas berbalik singkat karena serasa dirinya tengah bicara sendiri. “Y---ya. T---terima kasih banyak, Tuan. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan dan keberkahan.” Bagas tersenyum mendengar doa gadis di belakangnya lalu mengaminkan segera. *** Berapa lama Windi kenal Bagas Wandawarma? Terhitung tiga bulan sejak pertama kali perjumpaan mereka di kantor perusahaan Abinaya. Tak ada yang menduga bahwa kejadian besar yang melibatkan mereka akan mengubah hidup semuanya berbalik 180 drajat bagi Windi dan Bagas. Allah tahu apa yang lebih baik dan yang terbaik untuk hamba-Nya. Jika prasangka kepada-Nya baik, maka kebaikan itulah yang akan datang. Itu saja yang Windi patri dalam hati dan ingatan. Gadis itu tengah mengagumi wajahnya dalam pantulan cermin. Setelah dilapisi riasan tebal, kesan wajahnya yang biasa hanya ditutupi bedak menjadi berbeda, cantik. Begitu pula gamis putih yang ia kenakan, anggun dan simpel sebagai busana pernikahan. Berkali-kali ia tanyakan pada dirinya sendiri, "Mampukah aku menjadi istrinya?" Tak tahu Windi jika takdir akan membawanya kepada hari ini. Dimana ia akan berubah status menjadi milik seorang lelaki, apalagi seseorang itu berusia lebih tua dari ayahnya. Windi tahu, Bagas sudah berkali-kali menegaskan bahwa mereka menikah bukan untuk apa pun selain melindunginya. Banyak yang terjadi tiga bulan terakhir dan semuanya berimbas pada keputusan pelik ini, menerima Bagas Wandawarma sebagai suaminya. Dinikahi secara siri dan dirahasiakan hubungan halal mereka. "Windi!" Seorang bercadar masuk ke bilik tempat wudu perempuan. "Maaf, haruskah kupanggil Ummi atau ... apa?" Windi menggigit bibirnya ragu. Yang Khumaira dan Khalid tahu adalah Windi jatuh cinta kepada Bagas, begitupun sebaliknya. Namun, sebenarnya pernikahan mereka hanya untuk membawa Windi dalam perlindungan utuh Bagas. Hanya itu dan semoga tak melenceng ke mana-mana sampai pangeran bergelar jodoh Windi yang sesungguhnya datang menjemput. "Panggil nama saja tak apa, Nyonya." Khumaira menarik turun cadarnya. Wajah cantiknya luar biasa untuk dikagumi. Sekalipun dia tengah menggelembungkan pipi pertanda tak setuju, tetap saja Windi terpana akan kecantikannya. Pantaslah Khalid makin mesra dan mencintai dia. Selain indah rupa, Khumaira juga amat baik akhlaknya. Windi juga masih ikut dalam duka cita pasangan sempurna itu yang lepas kehilangan buah hati mereka. [Kisah Khalid dan Khumaira : Ambisi Pewaris Istimewa-END] "Kan, kubilang juga apa. Aku sulit terbiasa dengan hal ini. Panggil saja Khumaira jika kita di luar kantor. Aku perlu menghargai statusmu sebagai ibu mertuaku. Bagaimanapun juga Abi ... kuharap kamu sudah tahu betapa tajam mulut beliau itu." Windi tersenyum mendengar penuturannya. "Baiklah, terserah saja." "Ayo keluar. Sudah tiba penghulu dan mempelaimu," ajak Khumaira dengan senyum manisnya sebelum dihalangi kain cadar itu. Windi bangkit dari duduk lalu ikut langkah Khumaira yang mendahuluinya. Langsung saja Windi ke tempat yang disediakan untuknya. Bukan Bagas yang pertama kali diperhatikannya melainkan Khalid. Sempat serasa sesak di d**a Windi melihat Khumaira langsung duduk di dekat lelaki itu. Namun, ia segera ingat bahwa segala yang bukan haknya tak akan pernah menjadi miliknya. Windi pun tak mau dibuang dari umat Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam. Windi menampar diri sendiri dengan memikirkan Bagas dan pernikahan di depan mata mereka. Windi kemudian menelaah mempelainya, lalu ayahnya. Bagas Wandawarma berjabat tangan sambil mengikuti ucapan dan perintah penghulu. Kemudian ijab kabul itu terlaksana baik. Windi mengafirmasi diri, barangkali memang Bagas yang Allah takdirkan sebagai penolongnya. Terbukti, sepekan dari rencana pernikahan mereka semua berjalan mulus tanpa sedikit pun hambatan, malah terkesan mudah. Windi menelan saliva susah payah saat dirinya ditunggu menyalami tangan Bagas setelah sah sebagai suami istri. Ini pertama kalinya mereka bersentuhan dan rasa asingnya benar-benar sulit Windi terjemahkan lewat kalimat. Bagas tampak tersenyum, tetapi Windi tahu bukan kepadanya senyuman itu tertuju. "Kalian boleh pulang lebih dulu, bawa juga Abati kalian itu," kata Bagas kepada Khumaira dan Khalid memaksudkan sahabatnya Bintang. Bagas yakin Bintang akan berkelakar panjang lebar tentang daun muda yang telah berhasil Bagas petik. Sekalipun tahu lebih banyak tentang kenyataannya, begitulah mereka mencairkan suasana. Bintang terkekeh berjabat tangan lalu memeluknya. "Selamat menempuh hidup baru. Barakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir." Bagas tidak mengaminkan. Sadarnya doa itu bisa jadi pelanggaran dari janjinya kepada Windi dan Jefri. Namun, ia bisa membalas dengan senyum dan mengangguk berterima kasih. Begitu pula saat yang lain menghujaninya dengan doa serupa dan kalimat baik mereka. Lepas Bintang, Khalid, dan Khumaira pergi. Beberapa orang yang tadi hadir di sana juga beranjak meninggalkan masjid. Bagas mengantar besannya ke serambi, sekedar kesempatan untuk membiarkan Windi dengan Jefri. "Maafkan Ayah, Windi," kata Jefri penuh sesal. "Ayah ---" Windi menggeleng dengan matanya yang berkaca-kaca. Memang ada andil Jefri yang menyulut Windi harus dalam posisi menerima pinangan Bagas. Ayahnya itu dua bulan yang lalu terjebak lagi dengan kasus lain sehingga membuatnya harus mendekam di penjara. Saat ini pun, entah bagaimana caranya, yang jelas mereka semua berhasil menghalau fakta terbongkar. Ayah Windi bukan seseorang tahanan dari mata Khumaira dan Khalid. Bagas, Bintang dan Bakhtiar serta istrinya benar-benar membantu Windi, menjaga nama baiknya dan ayahnya. "Sekarang Ayah akan lebih tenang meninggalkanmu dalam perlindungannya. Ayah hanya bisa berharap dia menepati janjinya." Windi tak tahu apa maksud ayahnya itu. Apakah Jefri menyuruhnya menentang janji kepada Allah, tapi mendukung janji manusia? Yang jelas Windi akan berusaha menerima sebaik-baiknya, apa pun itu. "Saya berterima kasih banyak atas bantuan Anda," kata Jefri kepada Bagas yang muncul di belakang Windi. Windi jadi urung bicara dan malah tertegun dengan sosok suaminya. Secara usia lebih tua Bagas daripada Jefri, tetapi lelaki itu terkesan lebih muda dan segar daripada ayah Windi. Bagas tak tersenyum, sekedar mengangguk saja menjawab Jefri. Mereka kemudian berjabat tangan singkat, lalu Bagas menjauh. "Aku tunggu di mobil." "B--baik, Tuan." Bagas pergi, Windi pun kembali mengalihkan mata kepada ayahnya yang menyeka wajah. "Jaga diri baik-baik, Nak. Maafkan ayahmu yang tak berguna ini." “A---“ Tak menunggu ucapan Windi beliau langsung menjauh dikepung beberapa polisi yang berpakaian menyamar sebagai tamu undangan. Windi yang masih ingin berkata-kata pun tak sempat lagi. Ia setidaknya ingin mengucap terima kasih karena ayahnya itu setuju menikahkan Windi dengan Bagas. Sayangnya itu pun tak sempat terucap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD