10 🌺 Lillahi ta’ala

1329 Words
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kalimat istirja’, kalimat mulia yang Allah anjurkan untuk diucapkan bagi hamba-hamba-Nya yang sedang ditimpa musibah. 🌺🌺🌺 Windi menyebut itu sambil menggoreskan artinya dalam hati dan kepala. Segalanya milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Begitupun Windi dan semua masalah yang membanjir dalam hidupnya saat ini. Pernah Windi dengar ceramah seorang Ustaz tentang sabar. Beliau mengatakan tahap pertama sabar adalah menerima takdir Allah. Windi membenarkan jika ujiannya ini dari Allah, akan Allah beri pahala dan angkat drajatnya jika berhasil teguh dalam kesabaran. Tahap kedua ikhtiar, usaha mencari jalan keluar semampunya. Windi dua kali hampir dinodai, ia telah sabar menerima gangguan mimpi buruk dan perasaan waswas karena kejadian itu. Ikhtiar Windi ialah kembali ke kontrakan Bakhtiar secepatnya lalu mempertimbangkan tawaran Bagas. Solusi keamanan dirinya saat ini hanyalah itu, suami. Mengambil teman hidup di hadapan Allah mana mungkin bisa sembarangan. Sudah Windi mohon petunjuk dalam istikharahnya lewat doa dan semua pinta. Namun, sampai detik ini tak ada apa-apa tanda yang bisa Windi maknai untuk menolak ataupun menerima. Gugup sekali Windi ketika berhadapan dengan ayahnya sekali ini. Windi diam menyimak, Bagas-lah yang berbicara mengatakan dia akan menikahi Windi. Ayah Windi tentu syok. Namun, beliau tak menafi jika sebelumnya Bagas memang sudah datang dengan pembicaraan yang sama. Jefri menimbang cukup lama lepas Bagas menceritakan banyak hal yang terjadi kepada Windi selama Jefri di bui. “Aku menawarkan pernikahan bukan untuk memberatkan Windi, melainkan memberinya perlindungan sempurna. Dia akan tinggal di rumahku, dengan kamar terpisah dan fasilitas semuanya.” Andai Bagas punya istri ia mungkin bisa membawa Windi sebagai anak angkat, sayangnya tak bisa begitu. Menjadikan Windi sebagai istri adalah satu-satunya jalan untuk melindungi gadis malang itu. “Aku tak akan bertindak sebagai suami selain statusnya saja. Perlindunganku sebatas tempat tinggal bukan mengekang kehidupan pribadinya,” imbuh Bagas lagi. “Aku ... tidak akan menyentuhnya,” Bagas menekankan. “Kuizinkan jika nanti Windi menemukan lelaki yang tepat dan ingin menikah dengannya. Intinya pernikahan ini akan berjalan seperti anak angkat saja dengan status pernikahan.” “Dokumen resmi kenegaraan, bagaimana?” tanya Windi pelan. Bagas terdiam. Bagian itu ia melupakannya. Jefri angkat suara setelah melihat bergantian putri dan penolongnya. “Aku berprasangka baik akan niatmu. Namun, keputusan itu kuserahkan sepenuhnya kepada Windi. Jika dia menerima, akan aku nikahkan. Jika dia menolak, aku tidak bisa memaksa.” Bagas meneguk liurnya. Lain saat ini jawaban Jefri dengan saat pertama Bagas datang dulu. Sepekan tak bertemu sepertinya telah mengubah jalan pilihan ayah Windi. “Boleh tinggalkan kami berdua sebentar? Aku ingin bicara dengan putriku,” pinta Jefri kepada Bagas. Bagas bangkit lalu berpesan kepada gadis di sana. “Aku akan menunggumu di luar.” Windi mengangguk saja. “Bagaimana menurutmu?” tetar Jefri langsung. Gadis berjilbab itu mengembuskan napasnya setelah tak ada lagi Bagas di sana. “Windi tidak punya gambaran apa-apa tentang seorang laki-laki, Yah. Namun, menantunya mengatakan dia lelaki yang tulus. Orang-orang di sekitarnya bersaksi dia baik.” “Mungkin mereka benar. Dia juga bagian dari badan amal itu dan sudah beberapa kali menolong kita.” Jefri menatap putrinya, “Kamu anak yang baik, rasanya tak rela harus menikah dengan lelaki setua itu hanya demi keamanan diri.” Windi tak menganggap dirinya cukup baik. Ingatan tentang wasiat neneknya sudah menghilang. Jefri kini di penjara. Tidak bisa ditutupi kenyataan itu. Akan sulit bagi Windi menemukan laki-laki yang tulus mau menerimanya lagi. “Aku tidak bisa memaksamu, tidak juga bisa mencegah atau menolongmu. Yang kutakutkan hanya satu, bagaimana jika dia memanfaatkanmu? Kamu akan dibawa ke rumahnya, status kalian menikah. Dia bebas melakukan apa pun kepadamu. Tak akan ada tuntutan hukum apa pun jika sesuatu terjadi. Dia juga berpunya, tidak bisa kita melawannya. Aku tidak ingin kamu menyesal dan hidup buruk seperti kami.” Kata menyesal menjadi tebal di kepala Windi. Ia tentu akan lebih menyesal jika Allah biarkan ia ternodai oleh dua lelaki asing malam itu atau oleh ayah kandungnya sendiri. Realistisnya Windi saat ini adalah jika pun Bagas ternyata ingkar janji, mereka lebih dulu menikah dan sah. Jika pun jadi anak dalam rahimnya Bagas tak mungkin menelantarkannya. Lelaki itu sedemikian rupa membantu orang lain, puluhan tahun tetap begitu. Harusnya dia tak akan berubah terlalu jauh dari kebiasaan baiknya. “Windi?” panggil Jefri lagi. Ia melihat tak ada respons putrinya dalam percakapan mereka, pandangan lurus Windi yang menunduk mungkin saja berisi lamunan bukan menyimak pembicaraan. Mendadak Windi mengangkat kepalanya lalu menatap mata sang ayah, “Nikahkan Windi dengannya, Yah. Lillahi ta’ala. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk Windi.” Jefri tertegun mencari keseriusan dari kalimat putrinya. Windi mengangguk yakin, “Jika dia bukan pilihan yang terbaik, maka mudah bagi Allah untuk menghalangi pernikahan itu berlangsung. Allah lebih tahu apa yang tersembunyi dalam dadda-dadda hamba-Nya. Allah sebaik-baiknya pengatur tipu daya.” Jefri meneteskan air mata. Windi menempatkan diri dan pilihan hidupnya selalu bertaut dengan agama. Mengagumkan, akhlaknya benar-benar telah menyentuh hati sang ayah. Di saat gadis lain mungkin akan membenci dan mengutuk ayah macam Jefri, putrinya tak pernah begitu. Windi memaafkan lagi dan lagi, bahkan tak lepas sebutan ayah dari bibirnya sama sekali. “Maafkan ayahmu ini, Nak.” Windi mengerjap bingung. Tak tahu di mana letak salah ucapannya. Ia jadi meringis tak tega. Sesal membentur dalam dadda Jefri. “Maafkan Ayah, Windi.” Windi biarkan ayahnya menutup wajah dengan telapak tangan, menghalau muka berisi tangis pilunya. Windi sendiri meneteskan air mata. Ia tak ingin kalah atau menyerah dengan takdirnya begitu saja. “Dengan Windi dalam perlindungan Allah lewat Tuan Bagas, mudah-mudahan Ayah bisa fokus membenah diri di dalam sini.” Jefri mengangguk, berjanji dalam senyumnya. “Ayah doakan yang terbaik untukmu juga, Nak.” Windi kemudian menyalami ayahnya dan pamit. Windi keluar dari tempat itu dengan perasaan yang ringan. Harapannya terbit, semoga nanti ketika sang ayah bebas, akan bebas pula dia dari jerat maksiat. Namun, saat terlihat punggung Bagas berdiri menantinya, Windi jadi memelankan langkah. Makin dekat Windi berjalan, makin jelas terdengar bisikan Bagas yang sedang membaca bagian dari zikir petang. Di belakangnya Windi menyimak dengan senyum simpul terukir di bibir. “Mudahkan urusanku, Ya Allah,” lirihnya. Bagas tersentak mundur ketika ia berbalik dan ada Windi di sana. Lekas lelaki itu menenangkan diri dari keterkejutannya. “Sudah selesai?” “Hm.” “Jadi?” Windi mengangkat wajahnya untuk menatap Bagas, sayangnya lelaki dewasa tersebut mengalihkan mata segera. Windi pun lekas tertunduk lagi. Padahal kini jarak mereka muat diisi satu orang yang merentangkan tangan. “Apa keputusanmu? Atau aku harus menunggu lagi?” Dari lima menit terakhir ia mendengarkan suara pelan Bagas ketika berzikir tadi, Windi makin yakin untuk menerimanya. Namun, pernikahan bukan hanya berisi satu sisi. Selain Windi, Bagas juga perlu pertimbangan. “A---anda berniat menolong saya, apa itu menyulitkan atau memberatkan Anda?” “Aku tidak kesulitan, itu sebabnya aku bisa membantumu. Masalah berat, pasti posisimu lebih berat. Allah lebihkan harta kepadaku, dari sana aku bisa memanen pahala lewat dirimu,” jawabnya tegas. Windi menggigit bibir ragu. “S---saya boleh tetap bekerja?” “Silakan.” Windi amat bersyukur. “T---terima kasih.” “Sudah selesai pembicaraan dengan ayahmu?” Windi mengangguk. “Jadi, kamu menerima lamaranku?” Windi mengangguk lagi, pelan sekali. “Hm.” Bagas cukup lega. Sesaat diperhatikannya sosok Windi dari ujung kepala hingga kaki. “Baiklah. Kita pulang dulu. Jika kamu mau mengajukan syarat atau apa pun itu, silakan. Tulis sesukamu dan siapkan meterainya.” Windi menyusul langkah lebar Bagas yang menuju tempat parkir. “Anda akan melakukan itu pula? M---maksud saya syarat, perjanjian atau hal begitu?” Bagas menghentikan langkah mendadak. Syukurnya Windi pun mampu mengerem pula sehingga ia tak menubruk punggung Bagas. Lelaki tersebut berbalik, “Nak, aku yang menawarkan bantuan kepadamu. Aku tidak membutuhkan apa pun darimu. Demi Allah aku berniat menolong, itu saja. Pernikahan ini hanya supaya kamu bisa masuk ke rumahku tanpa embel-embel zina. Andai istriku masih hidup aku bisa saja sekedar membawamu sebagai anak angkat, sayangnya Nasila tidak tergantikan bagiku.” Windi merinding saat nama itu muncul. Begitu lembut Bagas menyebutnya di antara kata lain yang dikeluarkan dengan tegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD