3 🌺 Anak durhaka

1246 Words
Allah turunkan obat bagi setiap penyakit, termasuk musibah. Ikhlas dan sabar adalah penyembuhnya. 🌺🌺🌺 Seperti halnya sang ayah yang nanti akan sangat menyesal dan minta maaf karena terpengaruh alkohol malam ini. Biasanya begitu. Semua akan kembali baik-baik saja. Windi akan berusaha menerima ujian ini dengan prasangka baik kepada Tuhannya. “Saya tidak apa-apa, Tuan,” kata Windi lemah. “Pergilah ke rumah sakit. Setidaknya kamu bisa mendapat obat jika sulit tidur malam ini,” saran Bakhtiar. “Apa yang kamu lalui itu berat, Windi. Tak apa, kamu tidak merepotkan siapa pun. Ini untuk kebaikanmu sendiri. Aku yakin sahabatmu juga tidak akan meninggalkanmu di saat begini,” tuturnya lembut sekali. “Saya akan ke rumah sakit, Tuan. Hanya untuk periksa dan mungkin mendapatkan obat. Setelahnya saya akan menginap di tempat Kitha. Terima kasih atas bantuan Tuan berdua,” ucapnya pelan. Bagas yang masih membelakangi mereka menghela napas kasar dan itu disadari tiga orang yang lain. Sejenak mereka diam saling pandang. Bakhtiar kemudian menenangkan dua gadis yang meringis itu, mereka pastinya tahu Bagas tak setuju. “Mengenai ayahmu, besok kita bicarakan lagi.” “I---iya.” “Baiklah, kalau begitu. Bagas akan mengantar kalian ke rumah sakit ---“ “Aku?!” tanya Bagas berbalik cepat. Ia berdeham canggung karena ditatap dua gadis itu. “Mengapa aku?” tanyanya penuh penekanan kepada Bakhtiar. “Aku baru pulang dari sana, bahkan belum masuk rumah atau menyapa Ivy,” jelas Bakhtiar meminta pengertian. Tak ada lagi perdebatan. Kitha langsung menarik payung dan berjalan berdua dengan Windi, tetapi Bagas ditahan oleh Bakhtiar saat akan menyusul mereka. “Apa lagi?!” “Bunga yang kamu bawa tadi, berikan untuk Windi saja.” Bagas menggeleng. Ia sudah membuat Khalid dan Khumaira salah paham waktu berkunjung beberapa hari yang lalu. Mereka mungkin saja menggoda Windi sebagai calon istri baru Bagas dan itu akan semakin membuat canggung jika ia memberi bunga untuk gadis itu saat ini. Bagas paham penghiburan yang Bakhtiar pinta, tetapi ia tetap tak bisa melakukannya. “Kamu saja. Aku duda, bisa saja mereka pikir aku punya niat lain.” Bakhtiar setuju kemudian berlari mengambil bunga di kursi teras lalu menyerahkannya kepada Windi di tengah hujan yang mengguyur. Mata bekas tangis gadis itu mengerjap bingung, “Untuk saya?” “Ya. Ambillah. Meski hari ini sesuatu yang sangat berat sudah menimpamu, yakinlah itu bukan tanda Allah benci kepadamu. Kamu diciptakan istimewa. Kamu diberi cobaan karena mampu melewatinya,” kata Bakhtiar diakhiri dengan senyuman. Windi terkesima dan menerima bunga itu. Setetes air mata mengalir bersama hujan di sisi mereka. “Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan yang banyak, Tuan.” *** Keesokan harinya. Windi melambaikan tangan melepas Kitha berlalu, ia kemudian masuk pekarangan menuju rumah. Windi sudah izin kepada Khumaira lewat pesan suara. Ia harus kembali ke kontrakannya sendiri dan menghadapi kenyataan yang ada, bukan malah sembunyi di gua Kitha sementara sahabatnya itu sendiri bekerja. Windi menarik turun gagang pintu, tetapi tak bisa. Sempat bingung dengan ingatannya sendiri karena merasa semalam pergi tanpa mengunci pintu. Mendadak pintu terbuka dan muncul seorang lelaki di sana. Refleks Windi mundur mengerut. Lelaki di depannya bukan penagih hutang yang biasanya datang. “S—siapa Anda?!” “Tuan Bagas menugaskan saya untuk mengawasi beliau.” Windi tercenung. Begitulah rencana lelaki bernama Bagas semalam. Terbayang sosok itu dalam kepala Windi, bagaimana saat dia tersenyum dan menyapa ramah beberapa hari yang lalu, bahkan menawarkan untuk mengantarnya pulang. Kesan maskulin, segar, dan berwibawa milik Bagas bisa dibilang setara dengan Bintang Abimayu. Dalam hal pesona mereka berdua tak kalah dari daun muda Khalid Wandawarma. Tapi tetap, Bintang lebih tenang, lebih sopan, dan lebih ramah. Windi pikir ia punya penilaian itu setelah semalam melihat bagaimana amarah mengambil alih Bagas, tak seperti Bintang yang sampai detik ini belum sekalipun Windi pernah melihatnya marah. Masih tetap Bintang Abimayu sosok harapannya atas figur seorang ayah sempurna. “Anda perlu sesuatu, Nona?” tanya lelaki di depannya dengan satu alis terangkat. “Oh, a—aku .…” “Beliau menyarankan supaya Anda minta bantuan Nyonya Ivy jika ingin melakukan sesuatu, misal mandi dan sebagainya.” Windi makin tak nyaman. Ia tak terlalu suka saran itu. Tak suka Bagas menyarankannya dan iya, Windi tak suka dirinya berprasangka buruk kepada Bagas. Harusnya Windi berterima kasih bukan malah berpikir yang bukan-bukan seperti saat ini. Namun, tetap masih ada kecurigaan itu karena Khalid terus menyebutnya sebagai calon ibu. “Argggh!” Suara erangan terdengar serak. Lelaki suruhan Bagas segera menoleh ke dalam, “Sudah bangun, ayah Anda. Saya akan menghubungi Tuan Bagas. Sampai beliau di sini, Anda belum boleh masuk.” Windi mengerjap heran kepada pintu yang ditutup sepihak. Padahal ia yang membayar sewa kontrakan, tetapi malah dirinya yang diboikot dari sana. Namun, lelaki itu sepertinya tak akan melunak. Jadi, Windi pun pilih tak mengajaknya berdebat. Windi sempat penasaran seperti apa ayah Khalid, karena ia masih saja tertarik kepada Khalid meski sudah jelas dia lelaki beristri dan kini Khalid sangat menjaga perilaku dengannya. Nyatanya, tak ada senyum ramah atau kalimat canda santai dari Bagas seperti yang Khalid biasa berikan kepada Khumaira. Windi malah merasa Bagas itu mendominasi situasi. Ini urusan Windi dengan ayahnya, urusan keluarga, sementara Bagas hanya orang asing yang kebetulan dikirimkan Allah sebagai penolongnya. Ingin Windi menunjukkan haknya agar tidak diintervensi, tetapi begitu ia ingat ayahnya yang kalap semalam, Windi lebih memilih menerima benteng yang Bagas dirikan. Windi memang sering didatangi ayahnya untuk uang. Kadang penagih hutang sesekali datang, juga ibu tirinya. Sudah berlangsung setengah tahun terakhir Windi sering menerima jenis tamu pengeruk dompet begitu. Ada-ada saja yang mendatangi rumahnya meski bukan Windi yang berhutang langsung. “Windi!” Gadis itu menoleh dari layar menyala televisi di rumah Ivy kepada sosok Bakhtiar. Windi baru sadar ada panggilan itu setelah digaungkan tiga kali. Nyatanya sejak tadi ia melamun. Tak heran jika senyap tawa meski siaran di depannya sedang menyuguhkan acara komedi. “Kita bicarakan tentang ayahmu,” kata dokter itu mengajaknya bangkit ke ruang tamu. Windi sempat ragu. Ivy kemudian muncul dan meyakinkannya. Gadis berpenutup kepala itu bangkit dengan tenang ikut menyusul. Mau tak mau ia memikirkan nasib selanjutnya. Mungkin saja Windi kini jadi aib bagi kontrakan mereka dan kehadirannya sudah tak diinginkan sejak kejadian semalam. Windi terkejut melihat Bagas yang lebih dulu ada di sana sebelum mereka. Meski Bagas sama sekali tak menghadapkan wajah kepadanya melainkan kepada ponsel di tangan, tetap saja Windi merasa tak nyaman. Windi duduk kemudian menarik napasnya. Ada Ivy sebagai saksi dan pendamping pembicaraan mereka. “Mengenai semalam, saya berterima kasih banyak atas bantuan Anda … semuanya. Sebatas itu saja yang saya bisa ucapkan serta doa kebaikan, semoga Allah memberi balasan yang lebih baik bagi Anda semua. Bagi saya, hal yang terjadi adalah aib yang saya harap untuk tidak diingat. Biarlah saya yang menyelesaikannya sendiri.” Sempat ragu Bagas untuk meneruskan hasil musyawarah bersama Bakhtiar dan Bintang semalam, tetapi setelah nada tenang Windi terdengar baik-baik saja, ia pikir tak ada alasan untuk menundanya. “Karena kamu sudah mendapatkan perawatan dan istirahat, seharusnya ini cukup membantu sebagai saran. Maaf harus mengatakannya, menurutku ayahmu perlu dipenjarakan. Di sana dia akan dapat kesempatan rehabilitasi serta kesempatan pulih dari kecanduannya terhadap alkohol maupun yang lainnya.” Windi menggeleng langsung. Sudah terbukti jika yang dikhawatirkan dari Bagas menjadi kenyataan. Tegas, praktis, tapi membuat Windi dalam pilihan sulit. Anak durhaka mana yang tega memenjarakan ayah kandungnya sendiri?! Lagi pun, selama neneknya dulu masih hidup, mereka terus memikirkan efek jangka panjang sebelum mengiyakan saran orang-orang. Siapa yang mau menikahi Windi nanti jika tahu ayahnya di penjara atau punya riwayat begitu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD