5 🌺 Perkara usia

1317 Words
“Masyaallah. Masyaallah. Ukhti, semoga Allah ikhlaskan hati anty. Allah Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya. Allah yang menyuruh kita untuk berbakti, Allah berfirman ... dan ibunya mengandung dengan susah payah. Itu ujian bagi ibu kita saat beliau mengandung kita. Barangkali ibu-ibu di sini pun yang pernah hamil pernah merasa enggan mengandung. Sebagai anak yang dilahirkan, kita kadang enggan berbakti. Namun, Allah yang suruh! Allah! Berbakti semampu kita, Ukhti. Terus ingat bahwa Allah yang akan menilai ikhlasmu. Hidup ini tak lama, apa kata Imam Ahmad ketika anaknya mengeluh dalam perjalanan mereka dan bertanya kapan mereka akan berhenti? Kita berhenti saat kaki kita menapak surga, Nak! Itu jawaban beliau. Sabar buat kita semua yang sedang diuji sedemikian dahsyatnya. Allah ingin kita melangkah sedikit lebih lebar menuju surga itu. Masyaallah.” Jawaban itu tak urung membuat air mata Windi berjatuhan juga, bukan hanya dia, banyak pendengar di sekeliling saf perempuan juga tampak menyapu air dari wajah mereka. Kitha di sisi Windi memeluknya, menegarkan. “Sabar, Beb.” Windi hanya bisa begitu. Sabar. Dua bulan sejak kejadian naas malam itu ia terpaksa membongkar semua segi kehidupannya kepada Kitha, tentang ayah dan ibunya. Namun, Windi tak bicara tentang ayahnya yang saat ini di penjara. Jefri berubah di bulan pertama, tapi setelah Jefri dan Venita, ibu tiri Windi datang bertemu tak sengaja di kontrakan Windi. Mereka bertengkar hebat dan kembali saling menyalahkan. Windi malu, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Lalu beberapa hari yang lalu Jefri berbuat ulah, Jefri kembali ke setelan pabriknya. Sehingga kali ini dia tak bisa berkelit dari ancaman pidana. Mereka serasa aib bagi hidupnya, tetapi kembali lagi, Windi tak bisa menepis mereka yang Allah takdirkan sebagai keluarga terdekatnya. Windi mengelap bekas tangisnya. Senyum ia lebarkan kepada Kitha yang muram. “Pulang ini kita jalan-jalan, yuk. Aku mau tunjukkan gaun yang ingin kubeli buat acara pameran internasional permata pekan depan.” Kitha meneteskan air mata, rasa sesal tampak di wajahnya. “Maaf, Beb. Bukan aku tidak mau, tapi ....” Windi mengerjap, “Kamu sudah ada janji?” Kitha mengangguk sedih, “Aku belum cerita karena ... rasanya tak nyaman bahagia sementara kamu masih dalam duka begini.” “Proposal ta’aruf, ya?” Kitha mengangguk lagi. “Rencananya dia mau bertamu. Saling lihat dulu.” “Masyaallah, sudah 80 persen! Semoga Allah mudahkan.” Windi memeluk sahabatnya ikut suka cita. “Maaf, Beb!” “Kenapa minta maaf? Harusnya kamu bahagia. Aku ikut senang. Doa terbaik dariku untuk kelanjutan hubungan kalian,” ucapnya tulus penuh senyuman. Windi keluar dari masjid setelah selesai kajian tersebut sambil mendengarkan kisah Kitha dan proses ta’arufnya. Windi sendiri sudah sering sekali berdoa agar Allah dekatkan, hadirkan jodohnya dengan jalan baik dan terbaik, sayangnya belum juga dikabulkan pintanya itu. Sambil menyimak tak sengaja mata Windi bertemu tatapan Bagas yang ikut keluar dari pintu laki-laki. Tak lama, hanya hitungan detik setelahnya Windi segera mengalihkan mata kepada Kitha yang terus bercerita. “Sungguh menakjubkan keadaan orang beriman. Seluruh urusannya itu baik. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” Penggalan hadis riwayat Muslim nomor 2999 dibawakan oleh MC penutup kajian terngiang di kepala Bagas. Begitu saja melintas ketika tatapannya bertabrakan dengan mata Windi. Bagas menarik diri cepat-cepat menuju mobilnya. Di dalam ia tertegun. Terkenang hancurnya Windi saat putusan pengadilan bahwa Jefri harus menjalani hidup dalam bui sementara. Bagas pula saat itu menjadi saksi yang memberatkan Jefri. Ada rasa tak nyaman, tetapi keadilan harus tetap ditegakkan. Bagas tancap gas menuju salah satu estatnya sambil berusaha menghalau sosok Windi dari kepalanya. Bagas mengganti pakaian muslimnya dengan kaos berkerah. Pakaian umum dan nyaman bagi Bagas ketika ia sedang tak dalam acara formal ataupun nuansa ibadah. Bagas kemudian berkeliling seperti biasa memantau toko ke toko penyewa di estatnya. Kaki Bagas berhenti, sekitar 10 meter darinya tampak Windi berdiri di depan sebuah manekin pajangan gaun. Gadis itu mengukir senyum sambil menyentuh bahan kain di depannya. Bagas membuang napas ke samping. Akhir pekan, Windi tentu libur dari pekerjaannya. Sudah sekitar tiga hari belakangan gadis itu selalu datang berkunjung ke butik tersebut dan mengagumi gaun berwarna biru gelap itu. Dia bahkan jadi pembicaraan sales toko karena kunjungannya yang tak biasa. Bagas menepi ke kursi yang tersedia sementara Windi masuk butik itu. Tak lama kemudian ponsel di saku celana Bagas berdering. “Ya?” “Tuan, nona yang itu datang lagi. Sepertinya beliau tetap tidak mau dengan opsi mengangsur meski sudah diberikan diskon 50 persen. Katanya nanti saja awal bulan setelah gajian.” Bagas menghela napas panjang. Keras kepala Windi itu. “Beri diskon 80 persen untuknya.” “T---tapi ....” “Nanti akan aku bayar penuh setelah dia pergi.” “Baik, Tuan.” Sekitar satu menit kemudian Windi terlihat keluar dari butik itu dan wajahnya bersinar ceria. Berkali-kali dia membuka kantong belanjaan dan girang ketika melonggok isinya. Bagas yang menyaksikan dari jauh merasa hangat di hati. Perasaan yang sama selalu hadir tiap kali ia berhasil melepas beban dari seseorang. Bagas amat menyukai perasaan ini. Menyukai sensasi kebahagiaan orang lain, meski tak harus orang itu berterima kasih langsung kepadanya. *** Dua hari kemudian. Bagas menghadiri pesta mewah dengan Bintang, berdua saja. Benar-benar Bagas heran dengan sahabat di sisinya. “Ifa sakit?” “Kalau dia sakit. Aku tidak akan di sini. Aku pasti di sampingnya.” [Baca kisah Bintang dan Ifa : Akhirnya, Aku Mencintaimu - END🌺] Bagas menggeleng dengan senyuman geli. Beda kisah Bakhtiar, beda pula pewaris Abinaya. “Bagaimana bisa dia melepasmu datang sendiri ke pesta begini? Dia tidak cemburu?” Bagas menyimpan kenangannya dengan Nasila di dalam hati. Mending istrinya dulu amat sangat menyukai kemewahan dan pesta begini. Nasila akan lebih semangat datang daripada Bagas yang diundang. Nasila akan merengut sepanjang hari jika Bagas harus datang sendiri. Biasanya Nasila membalas kekecewaan dengan menyeretnya berbelanja sepuas hati dari siang sampai malam. “Ifa masih sama, tidak suka jadi pusat perhatian. Datang ke tempat begini hanya akan menyiksanya.” Bintang tersenyum lebar, “Ifa tahu suaminya lelaki paling setia di dunia.” “Yah, merpati dan Abinaya. Sudahlah,” Bagas menghentikan maniak Bintang dari kebanggaan akan trah leluhurnya. Bagas mendadak menajamkan penglihatannya. Sebuah gaun telah menarik perhatian Bagas dari pembicaraan ringan dengan Bintang. Bintang yang merasa diabaikan lalu berdiri di depannya. “Katakan, kamu tertarik kepada perempuan di sana itu?” Bagas menggeleng. Disingkirkannya Bintang ke samping. Ia bukan menelaah wajah pemakainya, melainkan gaun itu. “Dia mungkin seusia kita. Kamu bisa saja mengajaknya menikah dan memulai kehidupan normal lagi,” kata Bintang menyarankan. “Ingat, kamu bukan Abinaya. Hanya Abinaya yang selibat setelah pasangannya meninggal dunia.” Bagas tak menggubris. Gaun itu harusnya edisi terbatas dan Windi pemiliknya. Tiba-tiba sulit bagi Bagas menelan saliva. Ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Kirim kepadaku foto ibu tirinya Windi.” Mendengar satu nama itu Bintang langsung menatapnya dengan mata elang. Tak lama pandangan Bintang beralih ke perempuan yang sedari tadi diamati Bagas. “Calon mertua, ternyata.” Bagas menggeleng, tak menanggapi canda sahabatnya. Geram muncul saat Bagas memastikan foto yang dikirimkan adalah benar perempuan di depan mereka. “Ada apa?” tanya Bintang serius. “Aku akan istigfar dulu, mungkin juga berwudu.” Bintang berkernyit dahi menahan lengan Bagas yang akan beranjak. Bagas geram, “Katakan padaku, mengapa manusia diuji lebih dari kemampuannya?!” “Itu tidak mungkin. Pasti dia diuji dan mampu melewatinya,” sahut Bintang membalas tenang. “Kecuali dia tidak mau melewatinya atau menyerah.” Bagas kemudian menghela napas panjang. “Gadis itu benar-benar ...!” Bagas sampai kehilangan kata-kata dari lidahnya. Bagas membelakangi ibu Windi dan meneruskan murkanya kepada Bintang. “Gaun itu milik Windi. Kurasa dia menyiapkannya untuk acara pameran permata internasional perusahaanmu.” Belum lagi Bagas ingat pertanyaan beserta tangis Windi pada kajian lalu. Makin naik murkanya. “Semoga Allah datangkan segera jodoh terbaik untuk gadis itu.” Bintang tersenyum simpul, “Jodoh pasti bertemu. Barangkali Allah ingin kamu yang jadi jodoh terbaik itu untuk Windi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD