Memaafkan adalah kunci pembuka kebaikan. Memaafkan, hal mudah yang tak semua orang bisa melakukannya.
🌺🌺🌺
Dua hari setelah kembali ke Indonesia.
Windi mengerjap bingung ketika tiba-tiba Venita datang di tengah hujan lalu begitu saja menghambur memeluknya dengan tangis banjir.
“A—ada apa, Ibu?” tanya Windi kaku. Hubungan mereka sebatas ibu tiri dan sama sekali belum pernah baik-baik saja kecuali saat-saat di depan nenek Windi dulu.
“Suamiku pergi dengan perempuan lain. Kini aku sendiri, sebatang kara. Bolehkah aku tinggal bersamamu?”
Windi ragu.
Belum sempat Windi mencerna kalimat itu, Venita buka mulut lagi. “Aku akan mengurusi semua keperluanmu. Aku hanya butuh tempat tinggal. Sudah semestinya keluarga tinggal bersama.”
Windi mencoba mencari cela, sayangnya Venita sudah membawa banyak sekali barang-barangnya.
“Boleh ibu masuk? Di luar hujan.”
Windi menghela napas, membuka lebar pintu kontrakannya. Mau bagaimana lagi, Venita memang ibunya dan lebih baik Windi sendiri yang menampung beliau daripada orang lain. Windi seperti biasa menyerahkan sepertiga gajinya. Pernah ia menemukan video erotis ibu tirinya di klub malam sedang menggoda lelaki sembarangan karena butuh uang. Maka, sejak itu Windi rutin memberinya gaji. Bukannya bersyukur sering kali Windi tetap direndahkan ibunya itu. Mana bisa Windi lupa hal menyakitkan begitu.
“Terima kasih Windi, kamu anak yang sangat baik.”
Windi tak tinggi hati dipuji mulut yang biasanya memberi hinaan itu. Namun, tak ada salahnya memberi kesempatan baru. Manusia berhak memilih berubah. “Ibu sudah makan?”
“Belum.”
“Gantilah pakaian Ibu dulu, Windi siapkan.”
Windi sekedar menggoreng telur dari kulkasnya dan sepiring nasi mengepul uap.
“Ada mie instan juga? Cuaca hujan begini enaknya makan yang berkuah.”
Windi bangkit dari kursi lalu merebus air. Jika pun Windi belum bisa menjamunya dengan bakti, ia akan menghormati Venita layaknya tamu.
“Kamu tak banyak bicara. Tak suka Ibu di sini?” tanya Venita ragu.
Sejujurnya iya. Windi belum selesai rasa kesal dengan gaun mahal edisi terbatas miliknya waktu itu. Meski sudah dapat ganti lebih baik dari Sayap Mulia, tetap saja Windi punya kenangan berbeda dengan gaun yang dibelinya dari hasil jerih payah sendiri. Windi menghela napas. Pakaiannya sendiri setengah basah karena pelukan mendadak Venita tadi. Namun, ia tetap mendahulukan keinginan perempuan itu daripada mengurusi diri sendiri. “Tinggal saja di sini, Bu.”
Maka, mulai hari itu Venita tinggal di kontrakan Windi. Waktu terus berjalan, Windi bekerja seperti biasa sementara ibunya di rumah, tapi tak melakukan apa pun, tak sesuai janjinya sama sekali. Nyatanya, tetap Windi saja melakukan segalanya. Bahkan pakaian Venita pun Windi juga ikut mencucinya atau membawa ke binatu. Isi kulkas Windi juga sering habis sebelum waktunya. Namun, Windi ikhlas. Sejak mereka tinggal bersama ibunya tak sering keluar rumah, selalu ada ketika Windi pulang. Venita juga ikut salat dan mengaji seperti kebiasaan Windi. Doanya bergulir terwujud, harapannya memiliki keluarga sedikit demi sedikit menjadi kenyataan.
***
Beberapa hari kemudian Bakhtiar dan Bintang mengajak Bagas bertemu. Mereka menerima oleh-oleh remeh dari Bintang, buah tangan perjalanannya dari acara pameran permata internasional waktu itu. Mereka bertiga punya tempat khusus untuk bicara, salah satunya markas klan Sayap Mulia. Umumnya mereka membantu keuangan atau biaya pasien yang sakit parah, tetapi khusus Windi dan beberapa klien lain juga bisa diterima jika termasuk orang dekat di kehidupan mereka. Kebetulan Windi pengontrak baru di rumah Bakhtiar.
“Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Bagas dan Bakhtiar tak terencana berbarengan. Tak biasanya Bintang yang meminta mereka bertemu lebih dulu.
Bintang tersenyum manis. “Yah, sesuatu selalu terjadi. Bagaimana kabar kalian?”
Bagas dan Bakhtiar saling pandang saja. Bagas sementara ini baik-baik saja. Setelah mimpi Nasila, hidupnya berjalan lancar dan monoton.
Bakhtiar menjawab lebih dulu, “Ivy sedang marah kepadaku.”
“Pasti salahmu sendiri,” sahut Bagas santai. Sepanjang yang dikenalnya Bakhtiar tipe lelaki yang tak bisa romantis. Seringnya Bagas datang sengaja membawa bunga agar bisa Bakhtiar berikan kepada Ivy. Bagi Bakhtiar hal remeh begitu memalukan untuk ditunjukkan, sekalipun kepada istri sendiri.
“Aku ....”
“Ada apa?” tanya Bintang serius melihat keragu-raguan Bakhtiar.
Bakhtiar menggeser duduknya sesaat, lebih serius menatap dua sahabatnya bergantian. “Dengar! Aku benar-benar memikirkan ini bukan karena... intinya tak seperti yang Ivy pikirkan. Aku bicara dengan Ivy tentang kemungkinan, bagaimana jika aku menikahi Windi.”
Bintang refleks menoleh kepada Bagas yang diam saja.
Bakhtiar melanjutkan, “A---aku berpikir tak ada salahnya menikahi Windi. Dan, Ivy langsung berpikir yang bukan-bukan.”
“Wajar saja Ivy berpikir ke arah sana. Kamu dengan dia saja tidak bisa romantis, malah mau membuka cabang baru,” komentar Bagas sarkas. “Pasti ada persaingan usia dan sebagainya bagi Ivy.”
Bintang mengangguk setuju. “Pulang ini rayu Ivy dan minta maaf kepadanya.”
Bagas meletakkan parfum pemberian Bintang di dekat parfum untuk Bakhtiar. “Aku mendukungmu. Rayu saja Ivy.”
Bintang tergelak, disusul tawa Bagas pula. Mereka lelaki dewasa yang lumrah sekali membicarakan kaum hawa.
Bakhtiar merengut, “Aku terancam tidur di rumah sakit. Ivy benar-benar serius dengan rasa cemburunya itu. Aku sungguh ingin membantu Windi saja. Kalian perlu tahu, sekarang ibu tirinya tinggal bersama Windi, ayah tirinya sering datang ketika Windi bekerja dan kemarin Ivy mengeluh juga karena Venita itu sempat mencubit putri kami. Aku tak tahu, mungkin Eva hanya ingin mengajaknya bermain, tapi Venita menganggapnya nakal, begitu kata Ivy. Sekarang Windi yang belum tahu kalau ayah tirinya sering datang diam-diam malah berencana pindah kontrakan akhir bulan nanti.”
Bagas bisa memahami perasaan Ivy. Pastinya perempuan itu akan kesal dan sangat dongkol. Apalagi jika Bakhtiar malah mengambil opsi menjadikan Windi istri kedua sekalipun dalihnya membantu atau melindungi.
Bintang mengetuk meja dengan pertimbangan di kepala. “Aku sebenarnya bisa saja membantu Windi, sayangnya aku Abinaya. Entah bagaimana, aku sangat yakin Ifa akan setuju jika kuceritakan tentang Windi lalu meminta izin menikahinya. Istriku memang perempuan langka yang tak ada duanya. Paham istilah Sugar Daddy ‘kan? Kita cukup punya uang untuk menafkahi satu gadis, secara lahir. Sayangnya, aku tidak bisa secara batin. Menikahinya mewajibkan untuk menafkahi secara batin pula, aku tidak bisa bagian itu, juga tidak bisa melalaikan hal yang wajib atasku. Aku tidak mau menyakiti Ifa. Dan, jangan lupakan putriku. Aku yakin Khumaira tidak mungkin setuju.”
Bagas tersenyum miris, “Bisa-bisa Khumaira mencoret namamu sebagai ayahnya dan sebagai Abinaya.”
Bintang mengangguk cepat. “Aku tidak mau mengambil risiko itu. Apalagi merusak trah leluhurku.”
“Kita punya tumbal di sini,” lirik Bakhtiar dan Bintang kepada Bagas.
“Aku sudah bilang dia bukan Abinaya. Siapa yang berani melarangnya?” Bintang membalas seolah bukan Bagas yang mereka berdua sindir.
“Coba kalian pikirkan jadi Windi itu sendiri. Bagaimana perasaannya jika dinikahi dedengkot tua? Entah aku atau kalian. Jadi istri kedua?!” Bagas mendengus. “Dia bisa saja berpikir aku ingin memanfaatkannya. Pikirkan lagi sebutan Sugar Daddy itu, bagiku itu menjijikkan!”
“Yah, kalau tidak menikah memang itulah istilahnya dewasa ini. Papi gula. Jujur saja hal semacam ini pernah ditawarkan kepadaku, terutama saat Ivy kesulitan hamil dulu. Kita memberikan kecukupan materi untuk mereka, kita mendapatkan kepuasan dari mereka,” kata Bakhtiar sambil merangkai jari tengah dan telunjuknya membuat tanda kutip.
“Windi jelas tidak akan mau begitu,” sahut Bintang. “Dia dikenal cukup saleha di kantor.”
Bagas tahu itu. Beberapa kali ia tak sengaja bertemu gadis itu di kajian.
Bakhtiar juga mengangguk setuju. “Dari kamarnya juga sering terdengar lantunan mengaji atau murottal. Namun, Ivy sekarang menampilkan permusuhan sepihak kepadanya gara-gara ucapanku. Padahal, biasanya gadis itu cukup terbuka kepada Ivy. Kata Ivy sebelum pertengkaran kami, Windi sudah menebar proposal ta’aruf lumayan lama. Sayang, belum ada yang bersambut.”
Bintang mengamit lengan Bagas.
Bakhtiar bicara lagi, “Lagi pula dengan jalan pernikahan semuanya akan lebih baik. Bagi Windi terutama. Kalaupun kebablasan hamil dengan status pernikahan itu sangatlah wajar.”
Bagas menuding telunjuknya kepada dokter itu, “Pantas saja Ivy menyuruhmu mengurusi pasien saja daripada di rumah.”
Bakhtiar menampilkan cengiran lebar. “Aku tidak menyebut bagian itu kepada Ivy. Baru sepatah menikah, sudah ditimpuk bantal dan diusir tidur di bangsal.”