Part 2

2435 Words
Luna               Aku menengok kanan kiri ketika pagi itu aku masuk ke ruangan dosen di lantai dua. Ruangan itu masih sepi. Belum ada satupun dosen yang berangkat. Ya wajar sih, ini masih jam setengah tujuh. Aku terpaksa berangkat pagi untuk mengembalikan jurnal milik Pak Reza. Aku tidak tahu Pak Reza hari ini ada kuliah pagi atau tidak. Maka dari itu, aku berniat mengembalikannya sebelum dia datang. Setelah meletakkan jurnal itu di meja, aku langsung bergegas keluar. Aku barusaja keluar dari pintu fakultas bagian samping ketika aku memergoki Pak Reza sedang bersama seorang perempuan yang aku yakini adalah salah satu mahasiswa disini. Pasalnya, aku pernah melihat perempuan itu beberapa kali. Perempuan itu sangat cantik. Sumpah, aku nggak bohong. Mataku langsung melebar ketika melihat perempuan itu mencium punggung tangan Pak Reza. “ Itu istrinya? Masak Pak Reza udah nikah? Bukannya masih single? Eh apa pacarnya?” “ Aku kuliah dulu ya mas.” “ Iya. Kuliah yang bener.” Aku semakin tertegun ketika Pak Reza mengusap kepala perempuan itu. Ketika mereka berdua tersenyum, entah kenapa aku ikut tersenyum. Kalau dilihat-lihat, wajah mereka tampak mirip. Orang bilang, kalau jodoh itu wajahnya mirip. Jangan-jangan perempuan itu beneran istri Pak Reza? “ Sejak kapan berdiri disitu?” “ Eh?” Aku tergagap begitu Pak Reza sudah berdiri menjulang di depanku. “ Sejak kapan berdiri disitu?” Pak Reza mengulangi pertanyannya. “ Eh barusan kok pak. Oh iya, saya sudah mengembalikan jurnal milik bapak. Terimakasih ya pak.” Ucapku sambil tersenyum sopan. Walau bagaimanapun, dia adalah dosenku. “Ya.” Setelah menjawab itu, Pak Reza langsung berjalan melewatiku begitu saja. Seketika itu aku melongo menatap Pak Reza yang berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. “ Busssettt… Nggak ada kalimat yang lebih singkat lagi apa?” *** Reza                         “ Loh itu beneran emang? Beneran mau ada acara reonian?” tanyaku pada Aji yang saat ini sedang sibuk dengan handphone ditangannya. “ Makannya Za, sekali-kali kamu tuh buka grup alumni.” Timpal Satyo sambil melemparku dengan kulit kacang. “ Males scroll.” “ Alesan. Mentang-mentang sibuk jadi dosen, kamu lupa dah sama kita-kita.” Kini giliran Bayu yang bersuara. “ Ya bukannya gitu. Akhir-akhir ini aku beneran lagi sibuk. Ada dosen yang pindah dan aku yang jadi pengganti beliau. Mana beliau ngajar banyak kelas.” Balasku membela diri. “ Ya tapi kalau cuma buat baca chat di grup masak nggak sempet?” “ Ya bukannya gitu juga.” “ Tapi nih Za, ha—“ “ Udah lah Sat. Gitu aja diributin.” Tukas Aji, mencoba melerai. Oh iya, sebelumnya perkenalkan ketiga sahabatku. Yang pertama, dia Aji. Prasaji Satya Winata. Dia adalah teman yang pembawaannya paling tenang sekaligus yang paling tua diantara kami berempat. Yang kedua, Satyo. Satyo Wirakarsa. Dia adalah yang paling crewet, paling usil dan paling sulit diam. Sementara yang terakhir, dia adalah Bayu. Bayu Nugraha. Dia adalah si playboy yang paling doyan gonta-ganti cewek. Diantara ketiga sahabatku, Aji-lah yang paling dekat denganku. Selain sifat kami yang mirip, kami juga lahir ditahun yang sama. “ Tuh dengerin si Aji.” Ucapku sambil menyeruput kopi hangat yang ada di depanku.             Seperti biasa, ketika kami berempat kumpul, banyak hal yang kami bicarakan. Mulai dari masalah kerja sampai masalah perempuan. Dan untuk masalah yang terakhir, aku selalu memilih untuk diam. Kenapa? Itu karena aku mempunyai kenangan buruk. Dan aku malas untuk membahasnya. Mungkin lain kali jika waktunya pas, aku akan bercerita pada kalian. “ Pulang ke apartemen Za? Apa ke rumah?” Tanya Aji ketika kami sudah berada di parkiran. Saat ini di parkiran hanya ada aku dan Aji. Bayu dan Satya sudah pulang beberapa menit yang lalu. “ Ke apartemen Ji. Kalau pulang ke rumah kejauhan. Lagian apartemen segede itu kalau sering dianggurin kan sayang. Ntar nggak kerawat.” “ Makannya cepet cari pasangan. Biar ada yang ngerawat.” “Kamu kira cari pasangan semudah nyari tukang sate?” aku tidak tahu kenapa aku membawa nama tukang sate disini. “ Ya gunain dong, aset berhargamu itu. Mubadzir punya wajah tampan tapi nggak bisa bikin perempuan ngelirik.” “ Aduh Ji, situ apa kabar? Situ udah laku emang? Wajahmu mubadzir juga kan?” “ Aku sih kalau ada yang mau sekalipun, nikahnya tetep nunggu adik bungsuku nikah.” “ Kok gitu?” “ Kamu kan punya adik juga Za. Harusnya paham lah.” “ Iya sih. Tapi bukannya kamu juga punya adik laki-laki? Tuh dia bisa gantiin kamu buat jaga adik perepuanmu?” “ Mereka cuma beda satu tahun setengahan. Dan itu membuat mereka seperti anak kembar. Maksudku, mereka sama-sama masih suka bertengkar karena hal-hal sepele. Duh, kadang aku pusing juga lihat mereka.” “Ngomong-ngomong adikmu itu masih kuliah semua?” “ Yang satu udah lulus beberapa bulan lalu. Yang bungsu lagi semangat-semangatnya bikin skripsi. Tapi terakhir dia curhat, dosen pembimbingnya ganti. Dan katanya, dosen pembimbing yang baru agak judes. Mukanya lempeng kaya tembok kampus.” “ Masak ada dosen kaya gitu?” “ Ada. Buktinya adikku bilang ada. “ “ Salam ya ji, buat adikmu. Semangat ngerjain skripsinya.” Ucapku sambil bersiap membuka pintu mobil. “ Adik bungsuku cewek loh Za. Masih mau salam? Biasanya kamu paling anti sama cewek?” “ Iya, aku tahu kok kalau adik bungsumu itu cewek. Nggak papa. Sama anak kecil ini.” “ Mahasiswa semester tujuh kamu bilang anak kecil? Apa kabar si Anira waktu dulu kamu pacarin?” “ Shut up Ji! Jangan mulai.”             Aji langsung tertawa begitu melihat wajahku berubah tidak suka. Ah, selalu saja begitu. Bahkan sampai saat ini aku masih saja tidak suka jika mendengar nama itu disebut. *** Luna             Aku berjalan santai menuju ruang kelas di lantai tiga. Pagi ini aku ada jadwal kuliah untuk mata kuliah Bu Rini. Tapi berhubung beliau sudah pindah minggu lalu, jadi Pak Reza-lah yang mengambil alih semuanya. Jujur saja, aku penasaran bagaimana dosen tembok satu itu kalau lagi ngajar di kelas. Aku memang belum pernah diajar olehnya. Dia adalah dosen baru dan kebanyakan mata kuliah yang dia ajar adalah mata kuliah semester awal.  Sebentar, mari kuluruskan kenapa aku memakai kata ‘dia’ bukan ‘beliau’? Simpel saja, umur Pak Reza masih seumuran dengan kakak sulungku, Mas Aji. Aku tahu itu juga gara-gara si Adit yang cerita. Tapi emang udah kelihatan sih kalau Pak Reza itu masih muda. Ah sudahlah, bahas dia mulu bikin aku makin gedeg. Muka temboknya itu loh, rasanya pengen aku cat. Biar agak berwarna dikit! Eh, kualat nggak? “ Na…” aku menoleh begitu Adit memanggilku. Dia langsung berlari dan berjalan tepat di sampingku. “ Hari ini Pak Reza udah mulai ngajar kelas kita kan ya?” “ Ya gitu deh.” “ Yah, sedih dong gue.” “ Kok gitu? “ Kayaknya bakal ada terpesona berjamaah ntar.” “ Ih, gue sih ogah.” “ Wajar sih, lo kan bukan perempuan.” “ Sialan lo!” “ Duh nak, mulutnya …” Aku mendelik sebal ketika Adit menjitak kepalaku. “ Bodo amat. Sama lo ini!”             Sesampainya di lantai tiga, aku dan Adit langsung masuk kelas. Aku cukup terkagum melihat mahasiswa yang datang sudah hampir sepenuhnya. Padahal biasanya, aku dan Adit-lah yang hampir selalu jadi yang pertama datang. Itupun kami datang sudah mepet waktu masuk. Nah ini? “ Tumben kalian telat? Biasanya jadi OB dulu bantu Pak Anto.” Celetuk Nadia, anak paling cerewet di kelas. “ Bukan kita yang telat kali Nad, lo tuh yang tumben-rumbenan mau datang lebih awal. Ini masih jam tujuh lebih dua puluh lima menit. Dan kelas baru dimulai lima menit lagi.” timpai Adit santai sambil mencari tempat duduk. “ Bener tuh. Kerasukan jin apa sampai lo mau-maunya datang pagi?” tanyaku sambil duduk tepat di samping Adit. “ Nggak papa. Lagi rajin aja.” “ Alaaah… ngomong aja lo begini gara-gara Pak Reza yang ngajar. Mana tuh bibir merahnya udah ngalahin cabe di pasar kliwon.” Tukas Adit tepat sasaran. “ So what gitu loh…” “ Dih, dia ngaku.” Aku dan Adit terkekeh. “ Ehm…” seketika itu, satu kelas langsung terfokus kedepan begitu kami semua mendengar deheman dari arah pintu masuk. Dan benar saja, Pak Reza datang dengan menenteng dua buku ditangannya. Adit langsung menyenggol lenganku berkali-kali begitu dia melihat seisi kelas tampak melongo. Terutama mahasiswa perempuan tentu saja. Duh, punya teman kok malu-maluin semua sih? “ Selamat pagi semuanya,” Sapa Pak Reza dengan senyum tipisnya. Sumpah, ini pertama kali aku lihat dia tersenyum. Bisa ternyata? “ Selamat pagi pak…!” balas satu kelas kompak. “ Kalian sudah tahu kan, kalau saya yang mengganti Bu Rini?” tanya Pak Reza kembali dengan muka temboknya. Astaga pak! Aku sumpahin dah, bapak dapet istri cantik! Eh, udah kejadian ya? Perempuan waktu itu kan cantik banget. “ …”             Kuliah perdana dengan Pak Reza berlangsung normal. Aku tidak tahu kemana larinya nyali para mahasiswi yang biasanya selalu heboh ketika mendengar kata ‘Pak Reza’ di kampus. Perlu kalian tahu, kali ini seisi ruangan tampak tenang sekali. Benar-benar pencitraan kelas kakap. “ Perkuliahan saya cukupkan sampai disini. Tugas yang tadi saya kasih dikumpulkan minggu depan lengkap dengan penjelasan rincinya.” “ Siap pak…” lagi-lagi aku dan Adit hanya saling lirik ketika hampir satu kelas menjawab kompak. Padahal biasanya mereka akan protes ketika mendapat tugas sebanyak ini. “ Oh iya. Untuk Aditya, skripsi kamu sudah saya koreksi. Bisa dilihat di meja saya. Dan untuk Aluna, saya tunggu kamu diruangan saya.” Ucap Pak Reza sebelum dia benar-benar keluar meninggalkan kelas. “ Ayo keruangan Pak Reza bareng.” Ajak Adit sambil berdiri dan beranjak dari kursi. “ Gue kok punya firasat buruk ya Dit?” “ Kenapa?” “ Nggak tahu juga kenapa.” “ Alah, udah. Jangan berpikir macem-macem.” “…” ***                  “ Bagaimana perkembangan skripsimu?” tanya Pak Reza begitu Adit pamit keluar ruangan. “ Ini pak. Semua simbol sudah saya perbaiki.” Jawabku sambil menyerahkan satu bendel pembahasan skripsiku. Aku harap-harap cemas ketika Pak Reza mulai membaca skripsiku. “ Pembahasan kamu sudah selesai ya?” “ Sedikit lagi pak.” “ Ditambah lagi ya? Buat pembanding sama teorema sebelumnya. Coba kerjakan teorema pertama di jurnal yang kemarin saya kasih. Atau kalau tidak, yang nomor dua juga bisa.” “ Ditambah lagi pak? Emang pembahasan sebanyak itu masih belum cukup?” “ Bukan cukup tidak cukup. Itu tentang kualitas. Saya ingin skripsi kamu lebih berbobot.” “ Memangnya skripsi saya tidak berbobot gitu pak?” tanyaku mulai tidak terima. Hello… aku ngerjain itu juga udah penuh perjuangan. “ Bukan begitu, Aluna. Maksud saya, saya hanya ingin pembahasan di skripsi kamu nanti menjadi lebih menarik dan bebobot. Saya bilang ‘lebih’ itu bukan berarti punyamu tidak menarik apalagi tidak berbobot. Harusnya kamu paham apa yang saya maksud.” “ Duh. Saya lagi lola ini pak. Ya Sudah, saya ikut bapak saja. Saya harus menyelesaikan teorema satu apa dua?” “ Dua-duanya malah lebih bagus lagi.” Astaga ini orang…! “Satu saja belum tahu kapan akan selesai. Bapak malah minta dua-duanya. Semakin lama dong pak, saya lulusnya?” “ Bisa cepat asal kamu rajin.”             Pada akhirnya, aku hanya bisa mengiyakan sambil menerima kembali skripsiku. Dalam hati aku jengkel setengah mati. Ini dosen kenapa perfeksionis sekali sih? Udah ngomongnya muter-muter nggak jelas. Tinggal bilang intinya apa susahnya?  Eh bentar… sebenarnya disini aku yang lola apa memang Pak Reza yang ngomongnya muter-muter ya? Bodo ah! “ Kalau begitu saya pamit dulu ya pak.” “ Hm…”             Untuk kesekian kalinya, aku keluar dari ruangan Pak Reza dengan perasaan campur aduk. Antara perasaan kesal bercampur marah. Bu Rini…. Kenapa ibu harus pindah sih?  Saya kanngen ibu tau nggak? *** Reza               “ Mas Ezaaa!” aku menoleh begitu Ana memanggilku. Ana adalah adik kandungku satu-satunya. Nama lengkapnya Anastasya Putri Maheswari. “ Kenapa?” “ Mas, tadi aku denger dari ayah, ayah mau njodohin Mas Eza sama anak temen deket Ayah.” “ Uhuk-uhuk…!” aku tersedak teh yang barusaja aku minum. “ Pelan-pelan ih mas!” Ana menepuk-nepuk punggungku. “ Aduh dek… masmu ini nggak laku banget apa ya, sampai ayah mau pake acara jodohin segala? Ini tahun berapa sih? Perjodohan udah basi.” Aku menepuk d**a agar napasku kembali normal. “ Nggak tahu tuh mas. Kata ayah, Mas Eza kalau dibiarin lama-lama, bisa jadi bujang lapuk.” “ Ayah bilang kaya gitu?” “Eh yang ini kata ibu ding, hehe.” Ana nyengir . “ Bisa-bisanya anak sendiri dikatain begitu.” “ Tapi bener loh, kata ibu. Mas Eza kalau nggak cepet-cepet dicariin pasangan bisa jadi bujang lapuk.” Pletak!             Dengan gemas aku menjitak kepala Ana. “ Duh, sakit mas!” “ Pinter bener ngatain abang sendiri? Mau kualat?” tanyaku sambil mengapit leher Ana dibawah ketiakku. “ Makanya move on dong. Masa cuma gara-gara satu cewek, Mas Eza jadi mlempem begini?” “ Move on sih udah, tapi masih males cari yang baru.” “ Inget umur dih!” “ Umurku belum tua-tua banget loh dek.” “ Mas Eza harusnya bisa lah, gaet satu mahasiswi di kampus. Yang semester tujuh. Apa semester lima. Apa malah semester sembilan yang belum lulus. Punya wajah ganteng dimanfaatin dong mas. Payah…” “ Nggak minat sama yang masih mahasiswi.” “ Kemakan omongan sendiri tahu rasa.” “ Kok malah nyumpahin sih dek?” “ Biarin. Mas Eza juga nih, kalau di kampus suka pasang wajah datar kaya tembok. Mana ada yang mau nglirik coba. Sekali-kali senyum nggak ada salahnya.” Ngomong-ngomong tembok, aku jadi inget ucapan Aji.  “ Pasang wajah tembok aja masih banyak yang suka. Apa lagi kalau sering senyum?” “ Pede gila dih…” kali ini Ana berhasil keluar dari jepitan ketiakku. “ Oh iya Mas, Kakak tingkat cewek yang bimbingan sama Mas Eza itu namanya siapa?” tanya Ana beberapa detik kemudian. “ Siapa? Aluna?” tanyaku. Emangnya siapa lagi kalau bukan Aluna? Masa Aditya? “ Mungkin…” “ Kamu lihat dimana?” “ Waktu aku nunggu Mas Eza di luar ruang dosen, mbaknya keluar duluan. Dia tersenyum sama aku sopan. Duh, padahal aku adik tingkatnya.” “ Terus?” “ Cantik banget ya Mas? Mau deh, aku punya wajah kaya dia.” “ Hush…! Nggak boleh kaya gitu. Kamu juga cantik kok dek…” “ Tapi cantikan dia.” “ Semuanya cantik.” “ Eak!” Ana langsung mengaduh begitu kusentil dahinya. “…”             Ngomong-ngomong Aluna, semua orang juga tahu kalau anak itu cantik. Tak terkecuali aku. Dan entah kenapa, aku merasa wajahnya sangat familiar. Tapi aku tidak tahu aku pernah melihat wajah itu dimana selain wajah dia sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD