9. Sebuah Dendam.

1531 Words
Binar POV. "Kamu sudah sadar?" ku lihat Tuan Antonio berada di samping brankar yang aku pakai. "Tuan kenapa di sini?" "Karena kamu pingsan." "Maaf, Tuan. Saya telah merepotkan Tuan." "Kamu mau ke mana?" Tuan Antonio menahan tanganku. Ketika aku bangun dan hendak turun dari brankar. "Aku akan sidang, sebentar lagi." Ku lihat jam di tanganku masih ada setengah jam lagi, pertemuanku dengan Dilan. Tuan Antonio menatapku lamat lamat."Kamu yakin? mau tetap cerai?" "Memangnya kenapa?" "Kamu yakin tidak tahu kalau kamu sedang hamil?" Jadi dia tahu? ku segera menarik tangannya dengan tatapan mememohon. "Tuan aku mohon jangan pecat saya! meski pun saya hamil, saya akan bekerja dengan sangat giat." Dia terdiam dengan menatapku beberapa saat. "Tapi bagaimana dengan kondisi anak mu nanti. Dia akan lahir tanpa ayahnya?" "Aku tahu, Tuan. Tapi aku tidak mau kembali padanya. Aku lebih baik berpisah dan berjuang sendiri membesarkan anaku." "Saya tidak akan bertanya, kenapa kamu ingin bercerai. Karena saya yakin, kamu memiliki pilihan yang terbaik." "Terima kasih, Tuan. Tapi apakah Tuan sungguh sungguh tidak akan memecat saya?" "Begini, Binar. Sebenarnya memperkerjakan perempuan yang sedang hamil itu sangat berbahaya. Saya takut kamu kelelahan dan berakibat tidak baik untuk janin kamu." "Tapi saya sangat membutuhkan pekerjaan. Saya harus menghidupi anak saya kelak." "Apa saya harus memberitahu Langit tentang ini?" "Tidak! jangan." "kenapa?" Mas Langit pasti akan mencariku, melarangku kerja, dan pastinya aku tidak boleh keluar dari apartemen itu. Lalu mungkin aku akan kembali menyebabkan pertengkaran hebat antara ibu dan anak itu. Aku sudah melihat bagaimana teriakan Bude Santi padanya, tadi. Bude Santi sangat marah, ketika mendengar anaknya tidak mau menikah dengan perempua yang menjadi pilihannya tersebut. "Tolong jangan, Tuan. Saya berjanji akan bekerja dengan baik. Dan saya tidak mau merepotkan Mas Langit." kuatarik tangan ini, khawatir Tuan Antonio merasa tidak nyaman. "Saya tidak mengerti, kenapa. Tapi saya akan turuti." "Terima kasih, Tuan." Kulihat jam tangan usangku. Sudah saatnya aku melakukan sidang. "Kalau begitu, saya permisi, Tuan. Saya harus segera sidang." "Siapa yang mengantar kamu?" Aku terdiam untuk beberapa saat. Mas Langit pasti sudah pulang bersama Bude Santi. "Tidak apa apa, sendiri juga kan?" "Keluarga kamu? ayah, atau ibu?" Ibu? Aku mungkin adalah satu satunya anak yang paling durhaka, Karena telah menyebabkan Ibuku meninggal. Ibu kena serangan jantung, karena tidak rela aku menikah dengan Dilan. Dan ayah? Ayah mungkin tidak akan pernah mamaafkanku, setelah apa yang pernah aku lakukan pada istrinya. Ayah pasti sangat membenciku. Dan memang itu lah yang terjadi. Ayah sangat membenciku, sehingga aku diusirnya dari rumah. "Aku hanya sendiri, tuan." Kudengar helaan napas dalam darinya. "Apa boleh saya mengantar kamu?" tanya nya ragu ragu. Ku angkat pandangan dan bertemu dengannya. "Apa tuan tidak sibuk?" Dia menggeleng. "Ayo." dia berjalan di depan ku. Lalu aku pun mengikutinya. Tuan Antonio begitu baik, kami bahkan baru kenal selama seminggu saja. *** Aku Dan Dilan bertemu di ruang mediasi. Kulihat mertuaku ada di sana. Mereka tidak menatap padaku, seolah aku ini memang bukan siapa siapa. Ah, mungkin inilah yang terjadi. Mereka memang tidak pernah menganggapku ada. Baiklah, aku tidak peduli. Lebih baik aku fokus pada perceraian ini dan juga janin yang ada di dalam perutku. Aku bersumpah akan menjaganya sampai titik darah penghabisan. Meski aku tidak tahu harus bagaimana dengan kehamilan ini. Maksudku, hamil itu butuh seseorang untuk menyemangati dan menjagaku ketika aku melahirkan nanti. Semuanya butuh biaya yang tidak sedikit. Namun menolak pun tidak akan menjadi baik. Apalagi kalau aku sampai membunuh nyawa yang tidak bersalah ini. "Selamat siang, saya Ardy. Saya mediator di sini. Apakah kita bisa mulai?" tanya laki laki itu menatap padaku dan Dilan. Sedangkan kedua orang tuanya dan Tuan Antonio menunggu di luar. "Bisa Pak." "Tentu, pak." jawab ku dan Dilan. "Baiklah. Sebelum kita melangkah lebih jauh. Mari saya tanya sekali lagi, apakah Mbak Binar, dan Mas Dilan benar benar ingin bercerai?" "Iya, Pak." "Betul, Pak." Mediator itu mengangguk mengerti. "Baiklah. Namun sebelum melangkah lagi, bagaimana--" "Mohon dipercepat, Pak. Saya sejujurnya tidak membutuhkan mediasi ini. Saya dan istri saya sudah tidak cocok dan kami sungguh sungguh ingin bercerai." Dilan terdengar lebih semangat. Dan aku hanya senyum hambar saja. Aku tahu, ini keinginanku. Namun mendenagrnya begitu semangat. Entah kenapa aku merasa sedih. Bukan karena perceraian ini. Tapi sedih, karena selama pernikahan kami, Dilan sama sekali tidak pernah memperjuangkan hidupku. Dia tidak pernah memberikan apapun padaku, selain sajadah dan mukena yang ia berikan ketika kami menikah. Aku bukannya tidak bersyukur. Aku hanya merasa, apakah aku ini tidak seberharga itu. Sehingga suamiku sendiri tidak pernah memberikanku hadiah apapun. Kenapa ia sepelit itu? "Baiklah kalau begitu." Dan perceraian itu pun terjadi. Aku dan Dilan sudah bukan suami istri lagi. Aku merasa lega. Namun sisi yang lain terasa sakit. Aku telah mengorbankan masa depanku untuk menikah dengannya. Bahkan nyawa ibuku telah aku korbankan. Namun akhirnya pernikahanku hanya berakhir seperti ini. "Kamu mau minum?" Antonio meletakan air mineral di tanganku. "Terima kasih." segera kualihkan kedua mata ini ke arah lain. Jangan sampai Tuan Antonio melihatku menangis. "Aku tidak tahu seperti apa rasanya bercerai, karena aku memang belum pernah menikah. Namun menlihatku, aku jadi takut menikah." dia terkekeh. Ku tatap dia dengan kedua mata merah. "Kalau begitu, Tuan harus menemukan pasangan yang pas dan baik untuk Tuan. Maka selamanya pernikahan Tuan akan bahagia." "Ah, pasti sangat sulit." dia terdengar menghela napas letih. "Tuan, saya permisi dulu. Saya harus segera pulang dan mencari kontrakan baru." "Kamu serius mau pindah dari tempatnya Langit?" "Kalau saya tidak pindah. Berarti mas Langit akan tahu kalau saya hamil kan?" Dia terdiam dengan sebuah anggukan. "Lalu kamu akan tinggal di mana? Maksudku, aku khawatir sama kamu." dia masih menatapku. Jujur aku senang ada orang yang peduli padaku seperti ini. "terima kasih Tuan. Tapi akan lebih baik, kalau saya tidak perlu merepotkan Tuan." "Saya tidak merasa direpotkan. Saya punya adik perempuan. Lipi, chep di restoran. Dia itu adiku. Aku takut apa yang terjadi padamu, terjadi juga padanya. Jadi apa boleh saya menolong kamu. Ya ... saya ingin beramal, agar kebaikan ini nantinya bisa menjadi bekal hidup saya dan adik saya." Aku terpaku. "Dengerin saya. Anggap saja, kamu sedang berhutang pada saya. Dan kamu bisa membayarnya kapan saja. Bagaimana?" Aku mengangguk pelan. "Terima kasih sekali, Pak--" "Tuan!" ralatnya. "Iya, Tuan." Dan dia terkekeh seraya menyentil keningku, hingga aku meringis. "Saya belum tua, Binar. Mentang mentang kamu masih sangat muda. Jadi kamu mau panggil saya Bapak? jangan sombong kamu!" dia mendelik, namun aku tahu dia tidak sedang marah padaku. Kami mengobrol selama beberapa saat. Ketika Dilan datang dan berdiri tidak jauh dariku. Dia memanggilku mungkin ingin berbicara denganku. "Ada apa?" tanyaku. "Ini." dia meletakan kotak cincin kami. "Buat kamu, aku enggak mau menyimpannya lagi. Terserah kamu mau dijual atau apalah. Yang penting aku tidak harus menyimpannya." ujarnya. Aku mengangguk menerima cincin itu. Aku akan menyimpannya untuk lahiran nanti. Aku yakin sekali, aku akan membutuhkannya. "Baiklah." jawabku. "Oh, ya. Apa dia laki laki penggantiku?" tanya nya. Ku lirik Tuan Antonio. "Bukan, dia bos ku. Kami tidak memiliki hubungan apapun." "Baiklah. Kalau begitu, aku pamit. Semoga kamu menemukan laki laki yang lebih dari aku." kemudian ia pun meninggalkanku. ku tatap punggungnya hingga menjauh. Lalu aku kembali pada Tuan Antonio. "Dia bicara apa?" tanya nya. "Enggak, hanya sedikit saja, ada perlu kami bahas barusan." ku masukan kotak cincin ini ke dalam tas kumalku. "Kalau gitu, mari kita ke apartemen ku saja." "Kenapa ke apartemen. Aku yakin tidak akan sanggup membayarnya." Dia terkekeh. "Sudah lah, aku sudah bilang. Aku tidak akan meminta bayaran. Aku sudah bilang, aku sedang beramal. Dan aku berharap kebaikannya datang untuk kehidupanku dan adiku." "Terima kasih, Tuan. Tapi jangan pernah bilang bilang sama Mas Langit ya, kalau aku tinggal sama Tuan." Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang tanpa ada yang menganggangguku. "Baiklah. Aku akan merahasiakan ini darinya. Asal kamu bahagia dan nyaman sama aku." Aku terkekeh. "Aku ke toilet dulu, ya, Tuan." "Mau aku antar?" kelakarnya. Aku hanya menggeleng geli dengan dengusan pelan. Pergi ke toilet harus melewati sebuah ruangan kosong. Aku hampir melewati ruangan itu, ketika-- "Sudah cukup mah! aku udah nyakitin adik aku sendiri!" Itu suara Dilan. Iya, aku kenal suara itu. "Adik? dia bukan adik kamu! dia anak selingkuhan dari papah kamu. Dan dia ninggalin kita. Kamu harus faham itu!" "Tapi aku dan Binar itu satu ayah! apa mamah tahu kalau dengan melakukan ini, aku sudah jahat pada adik ku sendiri? kami satu ayah Mah!" Apa! mendadak aku tremor dan kedua lututku menjadi lemas. Kedua telinga ini mendadak tuli. Jadi ini alasan Dilan mendekatiku, karena untuk balas dendam. Karena aku adalah anak selingkuhannya Ayahnya. Karena aku adalah hasil dari pernikahan yang dikutuk oleh perempuan lain. Lalu bagaimana dengan janin ku. Bagaimana dengan ... Aku tiba tiba lari, berbalik ke arah lain. Ke mana saja, asal aku tidak harus bertemu dengan orang orang itu. Bagaimana anaku .... berarti kami pernikahan sedarah yang dikutuk oleh Tuhan. Bagaimana bisa aku mengalami ini. Bagaimana ... Belum jauh aku berlari, malah menabrak d**a seseorang. d**a lelaki yang sedang ingin aku hindari. "Kamu kenapa hum?" Mas Langit meraih kedua bahuku. Tatapannya dalam tersorot padaku. Aku tidak bisa menjawabnya. Hatiku begitu sesak sampai tidak bisa bernapas. "Kenapa? Binar Candaramaya, jangan buat saya cemas?" Mas Langit membingkai kedua sisi wajah ini. Alih alih menjawab aku malah meraung pilu, membuat Mas Langit segera menariku ke dalam dekapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD