2. Makan Malam Bersama.

1112 Words
"Jadi kamu diusir Om Wardana?" tanya Langit. Saat ini keduanya berada di Restoran. Langit mengajak Binar makan bersama di sana. Ia tidak tega melihat adik sepupunya itu kelaparan. "Iya. Papah kecewa sama aku. Karena aku enggak nurut sama papah. Aku jahat mas," Binar kembali menangis pelan, dan sesal. Langit hanya terdiam dengan menyesap kopi hangat, seraya menatap wajah jelita itu. Apa! iya, Binar tetap cantik meski ia bukan lagi seorang gadis yang seperti dulu. Gadis cantik yang bersih, dan serba modis. Semenjak gadis itu memutuskan untuk menikah dengan pacarnya. Langit tidak lagi bisa menghubungi. Mungkin suaminya Binar melarang perempuan itu untuk menerima panggilannya. Pada saat itu Langit mengalah dan tidak memaksakan keinginannya untuk mempersunting adik sepupunya yang jelita itu. Jujur saja, Langit sakit hati, ketika Binar menolak perjodohan mereka. Namun tentu saja Langit tidak boleh egois dan membuat Binar menikah dengannya meski tanpa cinta. Tapi saat ini, perempuan itu kembali hadir ke dalam hidupnya, setelah ia dan Lula akan menikah bulan depan. Semuanya sudah berjalan dengan mulus, dan Langit akhirnya jadi bimbang. "Terus apa rencana kamu selanjutnya?" Langit meletakan cangkir kopi yang habis isinya ke atas meja. Ia berkali kali menghela napasnya, karena begitu kacau. Lebih tepatnya perasaannya yang kacau karena melihat keadaan Binar yang berbeda. Dia kucel dan tidak terawat. Tubuhnya kurus, juga dengan kulitnya yang berubah menjadi gelap. Namun meski begitu perempuan itu tetap saja cantik dan menawan dimatanya. "Aku mau kerja mas." jawab Binar. "Aku mau ngelamar di restoran." tambahnya. "Oh, ya sudah. Kamu mau ngelamar di mana?" tanya Langit lagi. "Aku gak tahu, aku mau nyari aja dulu." beo Binar dengan menunduk polos. Wajah cantiknya yang tidak memakai ulasan apapun itu justru terlihat cantik dan membuat Langit tidak ingin berhenti menatapnya. Ia sungguh merasa berdosa pada Lula. Ia sungguh tidak mengerti dengan perasaannya itu. Semua memang salahnya. Langit terburu buru mencari pengganti agar bisa melupakan Binar. Ia berharap kalau Binar akan hidup bahagia bersama suaminya. Namun yang terjadi malah sebaliknya, dan membuat pikiran Langit kacau. "Kamu mau bawa makanan enggak ke kosan kamu?" tanya Langit, ketika mereka berdua selesai makan. "Enggak usah mas. Binar sudah kenyang. Terima kasih sekali mas." Binar sungguh tidak enak hati pada Kakak sepupunya itu. Langit bedeham, dan memesan makanan diam diam untuk dibawa pulang oleh Binar. "Kita mau ke mana Mas?" tanya Binar, ketika mobil yang dikendarai Langit keluar dari parkiran retoran. Langit melirik Binar. "Kita ke apartemennya, Mas." ujar Langit. "Apartemen?" "Iya. Ini sudah malam. Besok saja nyari kosannya." ujar Langit, menutup pembicaraan mereka berdua. Karena setelahnya adalah keheningan yang menghiasi perjalanan mereka berdua. Langit sesekali melirik perempuan jelita itu. Sebuah senyuman manis menghiasi kedua bibir menawannya. Langit sungguh amat senang bisa berbicara sedekat ini dengan Binar. Jika diijinkan, apa boleh Langit menjadikan Binar istri keduanya? eh. sepertinya Langit harus memukul kepalanya kuat kuat. Jangan sampai Binar tahu seperti apa perasaan sebenarnya yang ia miliki untuk perempuan manis itu. Sampai diapartemen. Langit mempersilakan Binar masuk ke dalam apartemennya itu. "Kamu mandi dan tidur. Mas akan keluar dulu sebentar. Kamu jangan buka kan pintu ya, kalau ada orang yang minta masuk. karena kalau mas, pasti akan masuk tanpa harus mengetuk pintu." Langit keluar dari apartemen itu, dan meinggalkan Binar. *** Kembali ke apartemen, Langit membawa paper bag yang isinya semua nya keperluan Binar. Dari mulai baju, skin care, dan cemilan. Sampai saat ini, Langit masih ingat, apa skin care yang selalu digunakan Binar. Berapa ukuran sendal Binar, dan jenis baju apa yang disukai Binar. Langit semuanya tahu, berkat Om Wardana yang selalu memberitahunya, ketika mereka memiliki rencana untuk menyatukan keduanya. Meski pada akhirnya perjodohan itu sama sekali tidak terjadi. Karena Binar memilih untuk menikah dengan laki laki pilihannya. "Mas!" terlihat Binar menghampirinya. Perempuan itu sepertinya habis mandi. Wangi shampo menguar memasuki indra penciumannya Langit. Rambut yang setengah basah itu, membuat Binar semakin bersinar dan sangat cantik. Langit mematung berdiir di tempatnya, dengan belanjaannya yang jatuh begitu saja. "Mas, maaf, ya. Sabun dan sampo nya aku pake. Karena aku enggak bawa apa apa." perempuan itu terlihat menautkan kedua telunjuknya penuh rasa bersalah. Langit masih terdiam, karena merasa begitu terpukau oleh bagaimana cara perempuan itu berbicara. "Mas, emang itu bawa apaan? mas belanja buat siapa?" tanya nya lagi, menyadarkan lamunan Langit. "Eh, ini ..." Langit segera meraih paper bag yang jatuh ke atas lantai itu. "Ini buat kamu, nanti pakai ya. Mas baru bisa beliin segini. Karena ini sudah terlalu malam. Mas takut kamu ketiduran tadi." tambah Langit lagi. Binar melihat isi paper bag itu dengan kedua matanya yang berkaca. "Mas, kenapa mas beliin ini? Binar akan kerja. Dan nanti Binar bisa beli barang barang ini, Mas. kenapa mas malah repot begini?" Binar sungguh amat berterima kasih pada laki laki itu. Binar tidak menyangka Langit masih saja mengingat semua kebutuhannya itu, disaat hubungan mereka pernah tidak baik baik saja. "Anggap saja, ini pinjaman." Jangan sampai Binar curiga, kalau ia memiliki perasaan padanya. "Tapi ini terlalu banyak. Binar tidak akan bisa mengembalikan ini dalam waktu dekat, mas." "Kalau gitu, kamu tidak udah mengembalikannya!" Langit duduk di sopa. Sedangkan Binar masih saja terpaku pada paper bag yang kini masih berada di dua tangannya. "Kamu nunggu apa lagi, Binar. Kamu segera masuk ke kamar kamu, dan lihat barang barang kamu di sana." perintah Langit. Lebih tepanya ia tidak mau menatap perempuan itu terlalu lama, karena sangat mengacaukan pikirannya. Jangan sampai Langit menyerang perempuan itu di sini. Bagaimana pun Binar ini, seorang perempuan yang begitu cantik. Dan dia adalah sepupunya. Perempuan yang harus ia lindungi seperti adiknya. Karena Langit terlihat galak. Maka Binar pun membawa paper bag itu ke dalam kamar. Di sana Binar mengeluarkan tiga dress, sepatu, skin care yang selalu ia gunakan ketika ia sebelum menikah dengan Dilan. Mamahnya yang selalu membelikan itu untuknya. Namun saat ini perempuan itu sudah meninggal karena dirinya. Karena Binar menolak menikah dengan Langit. Mamahnya terkena serangan jantung, lalu meninggal. Hal itu lah yang selalu disesalkan oleh Binar sampai saat ini. Ia bela belain meninggalkan kedua orang tuanya, agar bisa menikah dengan Dilan. Namun sayangnya, Dilan malah membuatnya menjadi seorang perempuan tidak beruntung karena menikah dengannya. Setelah selesai mencoba semua pakaiannya, Binar hendak keluar dari kamarnya untuk berterima kasih pada Langit. Namun tiba tiba saja keduanya beradu di pintu, dengan Binar yang kehilangan keseimbangan. Langit hendak minta ijin karen akan pulang ke rumahnya. "Kamu enggak apa apa?" tanya Langit, ia menahan pinggang perempuan itu agar tidak jatuh ke lantai. Binar mengangguk dengan jantungnya yang bertalu tidak biasa. Ia merasakan kalau tubuhnya dan Langit begitu dekat. Ia bahkan bisa merasakan napas laki laki itu menerpa wajahnya. "I-iya, mas. Aku baik baik saja." seharusnya Langit melepaskannya, dan mengembalikan perempuan itu agar kembali seimbang. Namun yang terjadi adalah Langit memeluknya, dan berkata. "Aku sangat merindukanmu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD