Raisa Zharifa Naina

806 Words
Bruk! "Aduhh.." Seketika Raisa meringis di lantai dan tergeletak tepat di samping ranjang kasurnya. Ia terjatuh saat tidur. "Astaghfirullaah, aku ini kenapa? Kenapa harus jatuh dari atas ranjang lagi?" Raisa bermonolog, sembari mengelus pinggangnya yang dirasa sakit akibat terjatuh. "Jam berapa ini?" Raisa menoleh ke arah kiri untuk melihat jam dinding yang berada di dalam kamarnya. "Ya Allaah, aku terlambat!!" Pekiknya, terkejut. Dengan terburu-buru Raisa mengambil handuk dan langsung meluncur ke kamar mandi yang berada di kontrakan yang ia tempati. Saat ini setelah lulus kuliah Raisa bekerja sebagai seorang pengasuh tetap di sebuah panti asuhan yang sering ia kunjungi selama masa kuliah silam. Raisa masih tinggal di ibu kota, namun ada yang berbeda sebab kini ia tidak tinggal bersama Ibunya lagi sejak meninggalnya sang ayah. Ibu Raisa meninggal setelah lima bulan ia lulus kuliah. Ibunya meninggal karena mengidap penyakit yang cukup serius. Setelah kedua orangtuanya meninggal, Raisa menjadi tinggal seorang diri di sebuah kontrakkan sederhana. Tentu kontrakan itu berbeda dengan kontrakan yang dahulu pernah ia tempati dengan kedua orangtuanya. Raisa memutuskan untuk pindah kontrakan karena biaya sewa kontrakan yang dahulu ia tempati dengan kedua orangtuanya cukup mahal untuk ia bayar sendiri. Raisa merasa sedih karena saat ini ia hanya hidup seorang diri dan menghidupi dirinya sendiri dengan pekerjaan yang sekarang sedang ia tekuni. Gaji kerja Raisa belum bisa dikatakan cukup lantaran ia masih saja selalu terasa kurang, mengingat biaya hidup semakin hari semakin meningkat. Raisa masih butuh pekerjaan sampingan untuk mencukupi biaya hidupnya. "Huhh.." Raisa membuang nafasnya dengan berat setelah siap untuk pergi ke panti asuhan. "Semoga nggak telat." .......... "Apa benar kamu belum ingin menikah, nak?" Raisa memandang sendu Dewi yang saat ini sedang duduk di hadapannya. "Belum, Bu. Raisa belum memikirkan itu." Jawab Raisa, dengan kepala menunduk. Dewi menghela nafasnya. "Tapi usia kamu udah 27 tahun, nak." "Raisa masih 26 tahun, kok, Bu." Raisa menimpali, cepat. Dewi tersenyum mendengar itu. "Iya, benar. Tapi, 'kan, tinggal beberapa bulan lagi kamu akan genap 27 tahun sayang." Seketika Raisa bergeming. Sejak Ibunya meninggal, Raisa memang lebih sering bercerita dan mencurahkan segala isi hatinya kepada Dewi. Dewi merupakan wanita paruh baya yang kisaran umurnya 47 tahun. Dewi adalah orang yang mengelola panti asuhan tempat Raisa bekerja. Dewi juga sudah sangat hafal kisah hidup Raisa dan keluarganya. Raisa terlahir dari keluarga serba cukup. Sang Ayah meninggal saat ia duduk di bangku kelas 11 SMA. Raisa adalah anak tunggal. Oleh karena itulah, semenjak kepergian kedua orangtuanya, Raisa merasa kesepian lantaran tidak ada saudara yang bisa menemani hari-harinya. Sebenarnya Raisa masih memiliki seorang paman dari Ibu kandungnya. Pamannya itu bernama Rizwan, Rizwan ini adalah adik kandung Ibunya Raisa. Bukan Raisa tidak ingin menjadikan Rizwan sebagai tempat ia berkeluh-kesah, hanya saja ia merasa tidak enak dengan Merin—Bibinya. Terlebih Bibinya itu memang tidak menyukainya, hal itulah yang membuat Raisa ragu untuk sering mengunjungi pamannya itu. Sungguh saat ini Raisa hidup hanya sebatang kara, serba berkecukupan, bahkan bisa dikatakan kurang bilamana ada pengeluaran yang tidak terduga di luar kemampuannya. Saat ini Raisa juga belum memutuskan untuk menikah karena ia masih merasa belum siap. Padahal diusianya sebagai seorang wanita, Raisa sudah lebih dari matang untuk segera memiliki seorang suami. Namun apa daya, memikirkan hidupnya sendiri saja masih harus banting tulang, apalagi untuk memikirkan tentang pernikahan. Tidak, Raisa belum siap. Biar saja, ia hanya bisa berserah diri kepada Allaah tentang hal itu. "Ibu harap kamu tetap mau ikhtiar, nak, untuk segera menikah. Ibu tidak mau kamu sendiri terus. Setidaknya dengan menikah kamu tidak perlu bekerja keras seperti sekarang, karena nanti akan ada suamimu yang menafkahi bahkan menjagamu." Ujar Dewi, menasihati dengan nada lembut. .......... Raisa duduk gelisah di atas ranjangnya setelah ia membersihkan diri sepulang dari tempat kerjanya. Sembari menatap layar ponselnya dengan gugup, Raisa menghembuskan nafasnya beberapa kali. "Dia apa kabar, ya?" Sembari bertanya pada dirinya sendiri, detak jantung Raisa juga tidak henti-hentinya berdetak kencang. Ya, saat ini Raisa tengah memainkan ponselnya sembari membuka aplikasi ** miliknya. "Bismillaah." Dengan menggigit bibir bawahnya, Raisa mulai mengetik nama seseorang di papan pencarian **. Tidak ada. Seketika bahu Raisa melemas karena nama yang ia cari ternyata tidak ada hasil. Bahkan mungkin nama itu tidak memiliki **. "Bukannya Andre dulu punya ig, ya?" Tanya Raisa monolog. Benar, nama seseorang yang sedang Raisa cari di papan pencarian ** saat itu adalah nama Andre. Nama seorang laki-laki yang dahulu pernah dekat dengannya saat masih kuliah, tapi bukan pacaran. Sejak bantuan Ikfan dan Alysa dahulu, Raisa dan Andre benar-benar menjadi berpisah. Sebetulnya Raisa tidak terlalu menjauh dari Andre, melainkan Andre sendiri-lah yang semakin menjauh dari Raisa, bahkan sangat menjauhinya. Memang benar ini adalah keinginannya, tapi entah mengapa Raisa malah menjadi merasa rindu sendiri dengan laki-laki itu, padahal ia sudah lama berpisah dengan Andre. Bohong jika sampai saat ini Raisa bisa melupakan Andre. Jangankan melupakan, mengubur perasaannya saja terhadap laki-laki itu rasanya sulit. Ya, Raisa masih mencintai Andre. "Kamu dimana, Dre?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD