Jadi b***k kah?

5787 Words
“Kau baik baik saja, kan, Sayang?” Entah sudah keberapa kali Aditama menanyakan hal itu pada keponakannya ini. “Aku baik-baik saja, Paman.” Annisa tersenyum menenangkan. “Dia sangat kejam, entah ada apa dengannya kenapa dia menatapmu seperti itu.” Raut khawatir tak pernah hilang di wajah Aditama. “Kita tidak boleh menyimpulkan orang sembarangan, Paman. Mungkin dia hanya ....” Annisa diam mencari alasan, dia pun tak tau kenapa pria itu sangat kejam dan kenapa pria itu menatapnya seperti tadi. “Yang terpenting menjauhlah darinya. Paman tidak ingin terjadi sesuatu padamu.” Annisa mengangguk dan tersenyum menenangkan ke arah Aditama. {} Annisa Faiha anak dari Endrawan dan Zanra yang sudah meninggal sejak dia berumur dua belas tahun, warna kesukaan hitam. Bagus ini sangat lengkap.” Darel tersenyum puas menatap laporan yang di dapatkan tangan kanannya. “Kau jatuh cinta dengannya?” Pria dingin bermata biru itu menatap Darel sinis. “Hahahaha, seorang Darel tidak akan mungkin jatuh cinta, apalagi dengan perempuan seperti itu.” “Hah, jangan terlalu percaya diri dan sombong. Lihatlah penguasa Eropa si Abdiel Justin Gilbert itu, dia bahkan berubah halauan demi gadis bercadarnya itu. Dan kau mungkin akan menjadi seperti dia juga, karena kau menyukai gadis berkerudung panjang.” DUUK! Satu jitakan meluncur mulus dari tangan Darel ke arah tangan kanannya sekaligus sahabatnya itu. “Hmm gadis yang digilai sang penguasa Eropa itu memang luar biasa, wajar saja dia seperti itu. Sedangkan Annisa Faiha, dia hanya anak yatim piatu dan sangat lemah.” “Kau tidak akan tau betapa kuatnya seorang wanita.” “Mereka semua lemah akan harta.” “Hah, susah bicara dengan iblis sepertimu,” cibir pria itu dan segera pergi dari ruangannya. “Semua wanita memang lemah, menyebalkan, dan sangat tidak setia.” Darel menatap map berisi tentang seluruh hal tentang Annisa. “Dia akan menjadi istriku. Tunggu aku, Annisa Faiha.” Seringaian iblis tercetak menakutkan di wajah Darel, yang bisa membuat siapa saja merinding karenanya. {} Sementara di kediaman Aditama, Annisa menundukkan kepalanya dalam. Lagi lagi bibinya memarahinya habis-habisan, “Dasar pembawa sial kamu! Selama ada kamu hidup kami tidak pernah tenang.” “Iya, apalagi gaya sok sucinya ini. Makin bikin aku jijik.” Carry menatap Annisa sinis. “Kenapa kamu masih di sini, Anak Pembawa Sial.” “Maaf, Bi.” Annisa berjalan cepat menuju kamarnya. Selalu seperti ini? Entahlah kenapa mereka sangat membenciku, apalagi perkataan anak pembawa sial itu sangat menyakitkan. Annisa merutuk dalam hati, tidak mungkin dia mengungkapkan isi hatinya. Terkadang, diam itu lebih baik. Annisa menatap senja yang menghiasi langit. Dari dulu dia memang sangat suka awan yang berubah menjadi warna indah dan matahari yang akan tenggelam. ‘Jadilah seperti matahari yang tetap hangat walaupun banyak yang membenci, Nak. Diamkanlah orang yang menghina dan mencemoohmu, yang harus kau lakukan, jadilah orang yang bermanfaat untuk mereka, dan tetap tersenyum.’ Seperti itulah kata-kata ibunya dulu tentang matahari. Kata-kata bijak sang ibulah yang membuatnya seperti ini. “Bagaimana rasanya bila seorang anak tak mendapat kasih sayang seorang ibu?” Pertanyaan itu muncul seketika di kepalanya. Ingatannya kembali ke Darel. Pria yang kata pamannya tak mendapat kasih sayang seorang ibu. “Asstagfirullahhaladzim!” Kenapa aku malah memikirkan dia. Annisa menggelengkan kepalanya lalu mengambil air wudu dan segera melaksanakan sholat Magrib. {} Di ruangan yang didominasi dengan warna keemasan, terasa sangat mencengkam dan menakutkan. Walaupun barang-barang di sana terlihat mewah dan nyaman tapi tetap saja ini menakutkan bagi Aditama. Entah apa alasan pemilik rumah hingga memintanya ke sini. “Kenapa kau tidak meminum tehmu, Tuan Aditama.” Aditama terkejut seketika dan langsung berdiri seraya menundukkan kepalanya. “Apa yang kau lakukan, Tuan? Jangan menunduk seperti itu, dan apa ini? Kenapa wajah Anda terlihat ketakutan?” Darel memasang senyuman yang malah terkesan jahat dan menakutkan. “Ma ... Maaf, Tuan Darel, ada apa—” “Jangan terburu-buru dulu, silakan duduk.” Dengan takut-takut Aditama duduk di kursi yang entah berapa harganya, tapi yang pasti kursi ini sangat nyaman. “Kalau saya boleh tahu, kenapa Tuan memanggil saya kemari?” tanya Aditama tak tahan. “Hahahahah, kau sangat tidak sabaran. Tapi baiklah akan kuberitahu.” Darel meletakkan gelasnya dan mulai duduk dengan tegap menatap Aditama dengan tatapan mengintimidasi. “Aku ingin membuat kesepakatan, yang akan sangat menguntungkanmu.” Aditama mengerutkan keningnya seketika, bukankah utangnya sudah lunas? Lalu apa lagi ini. “Kesepakatan apa? Tuan?” “Aku akan menyerahkan kembali perusahaanmu, bahkan akan kubuat perusahaan itu stabil atau lebih jaya dari sebelumnya. Semua utangmu ku anggap lunas.” Aditama mengerutkan keningnya seketika. Sejak kapan Darel menjadi manusia baik seperti ini? “Tetapi, sebagai gantinya, aku menginginkan keponakanmu untuk menjadi budakku.” Aditama membelalakkan matanya seketika, saat mendengar kata-kata terakhir Darel. “Maaf, Tuan, tapi sa—” “Jangan cepat-cepat menolak, Tuan. Penawaran seperti ini hanya ada sekali seumur hidup. Lagipula, dia hanya keponakanmu, bukan putri kandungmu.” Darel bersuara santai. “Maafkan saya, Tuan Darel, tapi saya tidak berniat menjual putriku sebagai alat pembayar utang. Permisi.” Aditama meninggalkan ruangan menyeramkan itu dengan perasaan marah. Walaupun dia miskin sekalipun, tidak akan mungkin dia menyerahkan putri kesayangannya itu. Baginya Annisa sama seperti putrinya sendiri. “Kau terlalu sombong, Aditama. Akan kupastikan, dalam beberapa hari, atau hitungan jam keponakanmu atau dirimu itu akan mengemis di kakiku, dan menyerahkan dirinya seketika.” Darel tersenyum licik. “Apa pun yang terjadi, dia akan menjadi milikku.” Kata-kata itu ibarat janji seorang iblis yang menggema di kegelapan malam. Aditama kembali ke rumahnya dengan wajah kusut. ‘Entah apa yang dipikirkan oleh Darel, kenapa dia berpikir kalau aku akan menyerahkan putriku untuk membayar utang?’ “Assalamualaikum—” “Waalaikumusalam, Paman. Kenapa dia memanggil Paman? Apa dia menyakiti Paman? Apa yang Tuan Darel inginkan??” Annisa bertanya dengan wajah khawatir. “Tidak, Nak, dia hanya—” “Hanya apa? Paman..." “Tidak ada, dia hanya membahas utang. Tidak ada yang lain.” Annisa mengangguk, sedikit rasa lega di hatinya saat melihat pamannya itu baik-baik saja. Tapi entah kenapa dia merasa kalau pamannya itu berbohong padanya, terbukti dengan gurat khawatir saat dia menatap Annisa. “Kalau begitu, ayo kita masuk, Paman.” Annisa tersenyum ke arah Aditama. Sesampainya di ruang keluarga, Farah dan Carry sudah menunggu Aditama dengan tatapan setajam silet. “Daddy harus menuruti kemauan Tuan Darel.” Aditama membelalakkan matanya seketika, mendengar kata-kata istrinya. “Apa maksudmu, Farah!?” “Kami tau apa yang Tuan Darel inginkan! Dan aku akan menerima penawaran itu.” “Memangnya penawaran apa?” Annisa menatap semua orang bingung. “Ehmm... Annisa, kamu sebaiknya naik ke atas ya.” Annisa mengerutkan keningnya, dan mengangguk patuh. Setelah Annisa pergi, barulah Aditama duduk di depan istrinya dan menatap istrinya itu tajam. “Apa maksudmu, Farah. Kau ingin menjadikan Annisa sebagai barang pembayar utang dan pembayar kesalahanku?! Itu tidak akan kulakukan.” Aditama bersuara tegas. “Apa salahnya? Dia memang harus membalas budi, kita sudah menghidupinya sekian lama.” “Aku tidak akan melakukan itu, lebih baik aku miskin daripada menyerahkan Annisa. Dan ... Dari mana kau tau tentang penawaran ini??” Aditama menatap istrinya itu curiga. “Aku tau dari mana itu tidak penting,” Tentu saja tahu dari Tuan Darel, ujar Farah dalam hati. Setelah Aditama keluar Darel memerintahkan orang suruhannya untuk memberikan rekaman percakapan mereka ke Farah. “Katakan dari mana!” “Sudahlah! Yang terpenting sekarang, serahkan saja anak pembawa sial itu ke Darel, sebelum waktunya habis.” “Tidak akan pernah, Annisa itu juga anakku, aku tidak akan pernah menyerahkan Annisa kepada siapa pun.” Aditama bersuara tegas. “Daddy, Carry gak mau jadi anak orang miskin. Carry gak sanggup,” Carry tiba-tiba menyela. “Daddy akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian, tapi tidak akan semewah dulu. Tolong mengertilah, Annisa juga anakku, tidak akan mungkin aku menyerahkannya pada pria kejam itu, lebih baik aku melarat daripada menyerahkan putriku sendiri.” Aditama meninggalkan anak dan istrinya dengan perasaan kesal. {} Sementara Darel, pria itu menatap layar komputernya dengan senyum iblisnya. “Kau pasti akan menyerahkan putrimu itu!” Darel meminum, minumannya lalu membanting gelasnya keras. “Robert!! Tekan keluarga Aditama, terutama anak dan istrinya. Buat mereka tak ada pilihan lain selain menyerahkan Annisa padaku!!” Darel berteriak sebal. “Kenapa kau begitu terobsesi memiliki gadis berkerudung panjang dan lemah itu?” Seorang pria bermata biru cerah memasuki ruangan Darel dan duduk di sofa dengan santai. “Karena ada satu alasan, Zave.” Darel bersuara dingin dan mulai melangkahkan kakinya ke sofa yang sama. “Alasan apa, Darel? Kau mencintainya?” BUGH ... Satu bantal mendarat mulus di kepala Zave. “Berhentilah mengatakan kata-kata menjijikkan itu, Zave. Aku tidak mencintainya!!” “Lalu? Jangan menekan orang miskin, Darel. Atau kau akan mendapat karma yang sangat menyedihkan,” nasihat Zave. “Terserah apa katamu. Yang pasti, aku tidak mencintainya.” “Hhhh, apa salahnya mencintai seseorang?” Darel hanya diam tak menganggapi ucapan sahabatnya itu. “Aku ke sini hanya mau memberi tahu, kalau Davan sudah aku temukan.” Darel seketika tersenyum, mendengar kabar itu. “Bagus, biar aku sendiri yang menyiksanya. Ini bisa jadi pelajaran untuk yang lain kalau tidak akan ada yang bisa menandingi seorang Darel Ardiaz.” “Cih ... Sombong.” Hanya kata itu lalu Zave pergi meninggalkan pria sombong itu sendirian. ‘Kau akan bernasib sama seperti yang lainnya kalau tidak menyerahkan Annisa padaku, Aditama.’ {} Aditama menatap senja gusar, walaupun tak ada niat di hatinya untuk menyerahkan Annisa, tapi tetap saja, pria itu seorang Darel Ardiaz. Semua hal bisa dia dapatkan hanya dengan menjentikkan jari. Apa yang harus dia lakukan untuk mempertahankan Annisa di sisinya?? “Ada apa, Paman? Aku melihat Paman selalu gusar dari tadi. Apa terjadi sesuatu?” Mendengar suara Annisa buru-buru Aditama memperbaikki ekspresinya dan tersenyum. “Tidak ada, Nak. Paman hanya memikirkan perusahaan,” kilah Aditama. “Semua ini sudah ada yang mengatur, Paman. Mungkin Allah menghendaki perusahaan itu bukan milik Paman lagi saat ini,” ujar Annisa bijak. Aditama hanya mengangguk dan memasang senyum palsu. Bukan itu yang sebenarnya dia pikirkan. Tetapi kenapa Darel menginginkan Annisa? Dia tahu wajah keponakannya itu cantik, kulit yang berwarna putih bersih, mata yang sipit, walaupun hidungnya tak semancung orang-orang di sini, tapi tetap saja hidung itu terkesan mancung. Kalau hanya ukuran wajah, ada banyak gadis lain di negeri ini yang jauh lebih cantik dari Annisa. “Paman melamun lagi.” Aditama berjengkit kaget mendengar suara Annisa. “Tidak, Nak, ayo kita masuk.” Annisa hanya menganggukan kepala dan mengikuti pamannya itu masuk ke dalam rumah. Tidak akan kuberikan keponakanku ini pada pria kejam seperti Darel, walaupun nyawaku taruhannya, janji Aditama dalam hati. {} Pagi ini, Annisa melalui harinya seperti biasa. Dan ada tambahan kalau dia bekerja di perusahaan Darel. Setelah sampai di kantor, Annisa mulai bekerja tanpa memikirkan hal lainnya. Karena terlalu khusuk bekerja bahkan dia tidak tahu kalau teman-temanya sudah berdiri semua untuk menyambut kedatangan Darel. Darel melangkah dengan tegas ke arah ruangannya, namun seketika langkahnya terhenti kala melihat satu-satunya gadis yang menggunakan kerudung panjang tengah mengerutkan keningnya sambil membaca laporan yang ada di tangannya. Segaris senyum tersungging di bibir Darel. ‘Hanya beberapa hari lagi, lalu aku akan membawamu ke rumahku, Annisa Faiha,’ janji Darel dalam hati lalu mulai berjalan lagi ke ruangannya. “Hah ... Aku tak sabar menunggu waktu itu tiba, waktu di mana aku akan memiliki dia selamanya.” Darel menyeringai, Lalu mulai mengaktifkan kamera pengintai khusus untuk Annisa. Sedangkan Annisa makin mengerutkan keningnya. Angka-angka di dokumen itu membuatnya sangat pusing. Dia akan lebih nyaman kalau hanya berkutat dengan komputer menghasilkan karangan tulisan indah dan puisi yang mengiringinya. Lama Annisa berusaha mengerjakan semua pekerjaannya hingga jam makan siang tiba. Annisa segera turun ke lantai bawah untuk makan. Selama ini pun dia belum juga mendapatkan teman. Maklumlah mereka semua takut berteman dengan gadis berpakaian syar’i sepertinya. ‘Mereka semua aneh, takut pada sehelai kain,’ batin Annisa. kemudiaan Annisa berjalan sambil menundukkan kepala. Setibanya di bawah dia melihat pamannya yang juga hendak makan. “Paman.” Aditama langsung menoleh dan menghentikan langkahnya. “Kau ingin makan, Nak?” Annisa menganggukkan kepalanya berulang kali dan tersenyum manis. Mereka duduk di meja yang berada cukup di pojokan. Sambil menunggu makanan datang, Aditama dan Annisa mengobrol kecil. “Bagaimana pekerjaanmu?” “Aku sedikit mengalami kesulitan, Paman. Itu bukan jurusanku. Tapi aku yakin aku bisa mengerjakannya dengan baik.” Senyum Annisa terbit dengan manis di pipinya. “Paman tahu kamu bisa, Nak.” Aditama mengelus pipi Annisa sayang. “Bagaimana dengan—” “Bisa saya bergabung?” tanya seseorang di samping Annisa. Annisa mendongakan kepalanya. Jantung Annisa berpacu di atas normal saat mengetahui bahwa yang di sebelahnya adalah bos besar perusahaan ini—Darel Arviaz. “Tu ... Tuan Darel, kami...” “Ah maaf, di sana sudah penuh, jadi kalau kalian berkenan bolehkah saya makan bersama kalian?” Annisa makin menundukkan kepalanya. “Kami bisa makan di tempat lain, ya kan, Nak?” “Iya ...” Annisa dan Aditama bergerak hendak berdiri. “Tidak perlu begitu, saya merasa tidak enak. Saya rasa, tidak ada salahnya bila kita makan bersama, kan.” Darel menatap Aditama dengan tatapan intimidasi. Melihat itu, Aditama hanya mengangguk mengiyakan. Darel duduk tepat di samping Annisa. Setelah duduk Darel memperhatikan wajah Annisa lekat. Entah kenapa rasa amarah muncul di hatinya saat melihat perempuan di sampingnya ini benar￾benar mirip dengan seseorang yang membuat darahnya mendidih. ‘Kalian mempunyai wajah yang sama, namun dengan aura yang berbeda “Kau keponakan tuan Aditama?” Annisa yang tahu pertanyaan itu ditujukan untuknya hanya mengangguk pelan. “Kita pernah bertemu di saat hujan deras.” Annisa mengerutkan alisnya. ‘Kapan aku bertemu tuan Darel waktu hujan?’ “Maaf, saya tidak ingat.” Annisa bersuara pelan. “Hmm tak apa.” Darel tetap menatap lekat, memperhatikan wajah Annisa tanpa ada yang tertinggal seinchi pun. “Tuan, ini makanannya.” Darel terperanjat, dan langsung menatap pelayan itu tajam, hingga sang pelayan gemetaran. “Terima kasih,” balas Annisa lembut sambil tersenyum. Mereka mulai makan dalam keheningan, walaupun begitu Aditama terus memperhatikan Darel yang selalu melihat Annisa. Sedangkan Annisa mulai tak nyaman duduk di sebelah pria itu. ‘Kenapa dia memperhatikanku seperti itu??’ Itulah pertanyaan yang selalu berputar di kepala Annisa sejak Darel memperhatikannya tadi. “Baiklah, terima kasih atas tempatnya. Makanku kali ini sangat menarik.” Darel berdiri dan menatap Annisa. “Saya juga senang, Tuan Darel,” balas Aditama dengan suara sedikit gugup dan bergetar. “Bisakah kita makan malam berdua, Nona Annisa.” Jantung Annisa berpacu dengan cepat mendengar pertanyaan itu. “Maaf, Tuan, Tapi–” “Ah ... Baiklah, saya mengerti,” balas Darel dengan segaris senyum tipis. Lalu segera pergi dari meja itu. ‘Lihat saja, kita akan selalu makan bersama, seumur hidup nanti disertai dengan tangis kesakitanmu,’ janji Darel dalam hati. “Tapi, terlepas dari segalanya, terima kasih makan siang bersamanya, Annisa,” Darel berucap dalam hati di iringi seringai kejam. {} Hari terus berjalan dengan cepat , namun pikiran Darel hanya terpaku pada hari di mana mereka makan bersama waktu lalu. Darel terus terbayang akan wajah sama Annisa dengan seseorang di dalam hidupnya. Bahkan kini, dia tengah menatap Annisa dari kamera pengintainya. ‘Kalian memiliki wajah yang sama, namun dengan aura yang berbeda’ kata itulah yang terus Darel ucapkan saat melihat Annisa. Sama dengan siapa? Hanya Darel dan Allah yang tahu. Tok Tok Tok “Masuk!” Darel mengubah posisi duduknya dengan berwibawa. “Maaf, Tuan Darel, saya—” “To the point,” potong Darel singkat. “Tuan, Nona Quinsya ada di depan.” Darel mengangkat kepalanya seketika. “Benarkah?” tanya Darel memastikan dengan antusias. “Benar, Tuan.” “Lalu tunggu apalagi?! Biarkan dia masuk.” Darel langsung berdiri dari kursi kebesarannya dan duduk di sofa panjang yang ada di sana. Tak lama kemudian perempuan dengan wajah asia yang kental dengan rambut hitam bergelombang tersenyum ke arahnya. “Darel, sudah lama sekali kita tidak bertemu ya. Aku bahkan lupa kalau kau memiliki wajah setampan ini,” ujar Quinsya sambil tersenyum. “Hah, aku memang selalu tampan. Kau saja yang buta tak melihat ketampananku ini.” “Hahahahah. Ya ya ya kau memang yang paling tampan, setelah Abdiel.” “Hah, selalu Abdiel. Jadi ada keperluan apa kau ke sini??” Darel menatap Quinsya sebal. “Ayolah, jangan jahat seperti itu. Aku jauh jauh ke sini dan kau bersikap seolah tak ingin bertemu denganku.” Darel tetap diam. “Menyebalkan, aku akan kembali kalau kau tidak bersahabat begitu,” ancam Quinsya mengambil ancang-ancang hendak pergi. “Jangan!” Darel menahan tangan sahabatnya itu dan menundukkannya di kursi depannya. “Baiklah, Quinsya Sayang, kau mau apa?” ucap Darel mencoba untuk lembut. “Kenapa kalian semua menjijikkan. Sepertinya hanya aku yang normal sekarang.” Quinsya bergidik melihat Darel yang mencoba bersikap lembut. “Maksudmu??” Darel menunjukkan wajah dan mengertinya. “Abdiel, dia menggila beberapa hari ini,” balas Quinsya sambil meminum minumannya yang di sajikan sekretaris Darel. “Kenapa dia bisa begitu?” “Apa lagi kalau bukan pujaan hatinya itu,” balas Quinsya sambil tersenyum mengejek mengingat Abdiel. “Menjijikkan. Katakan padanya aku akan merebut wilayah Eropa kalau dia sampai bangkrut karena sakit hati,” Darel berucap angkuh. “Mustahil! Meski benua Eropa tidak ada lagi, aku yakin dia akan tetap kaya raya. Seperti tak tau dia siapa saja,” balas Quinsya. “Mungkin saja dia lengah. Amerika sudah tak terlalu menarik sekarang, aku ingin Eropa.” Darel bersuara datar. “Lakukan kalau kau ingin kepalamu dia penggal.” “Dasar psikopat gila,” umpat Darel yang ditujukan pada sahabatnya itu. “Gila-gila begitu, dia sahabatmu, Bodoh!” “Aku sangat berharap dia bukan sahabatku,” Darel berucap santai. “Aku pun sama. Apalagi beberapa hari ini, tingkahnya sangat menjijikkan.” Quinsya bergidik membayangkan sikap Abdiel yang meraung-raung sambil menangis karena Aylin. Mereka terus berbincang seperti sahabat lainnya yang lama tak bertemu. Sampai ketukan pintu menghentikan aktivitas mereka. “Masuk,” balas Darel dingin ada rasa amarah yang kini masuk ke hatinya, namun raut marah dan tak suka itu berubah saat melihat siapa yang masuk. “Ma ... Maaf, Pak, sa ... Saya diminta untuk mengantarkan berkas ... Ini.” Wanita itu bersuara gugup sambil menunduk. Apalagi saat dia menyadari kalau Darel kini tengah menatapnya intens. “Baiklah, letakkan di meja saya,” balas Darel dengan masih tetap memperhatikan gadis berkerudung panjang yang kini tengah meletakkan berkas itu di meja— Annisa. Begitu pun Quinsya yang memperhatikan Darel dan Annisa bergantian. Sedetik kemudian senyum terbit di wajah Quinsya. ‘Ternyata, sahabatku satu ini sudah menemukan tambatan hatinya,’ batin Quinsya. Setelah selesai, Annisa mengangguk sekali lalu segera keluar dari sana. “Huftt... Entah ada apa di ruangan itu hingga hawanya sangat panas,” ucap Annisa lalu segera kembali ke ruangannya. Entah ada apa hingga atasannya meminta tolong dirinya untuk mengantar berkas itu ke ruangan Darel. Sedangkan Darel, dia terus menatapi pintu di mana Annisa tadi keluar. “Dor!” Darel seketika terkejut dan mengalihkan tatapannya ke arah Quinsya. “Sepertinya, ada yang sedang jatuh cinta di sini,” goda Quinsya dengan menatap ke arah Darel. “Eh, siapa yang jatuh cinta. Aku hanya ingin memilikinya karena satu hal,” bantah Darel. “Wow ... Aku tidak bilang kalau kau yang sedang jatuh cinta. Dan aku juga tidak bertanya apa kau ingin memilikinya atau tidak.” Quinsya tersenyum geli saat melihat Darel yang kelabakan. “Ehm! Karena larut bicara kau belum mengatakan apa maksudmu menemuiku.” Darel mencoba mengalihkan pembicaraan. Quinsya yang mengerti, hanya tersenyum “Oh ... Itu aku hanya ingin meminta bantuan padamu.” “Bantuan apa?” “Menghancurkan perusahaannya. Kau tau sendiri perusahaan mereka besar, kalau hanya dengan perusahaanku maka perusahaan itu tidak akan tumbang.” Tampak sepercik amarah di mata Quinsya saat mengatakannya. “Apakah sekarang waktunya?” “Bukan, tapi aku hanya memintamu sedikit menghancurkannya baru nanti aku yang mengambil gerakan.” “Baik,” balas Darel singkat. “Terima kasih, Darel,” ucap Quinsya tulus. “Kami akan selalu ada untukmu. Kalau kau menginginkan dia hancur jam ini, maka kami berempat akan melakukannya.” “Iya, jangan libatkan Abdiel. Dia tengah hancur sekarang.” Darel hanya menganggukkan kepalanya, dan mengantar Quinsya ke depan pintu. Setelah Quinsya pergi, Darel tak beranjak dari tempatnya. Matanya menatap ke satu titik. Titik di mana ada gadis yang sedang memakai kerudung panjang. “Sepertinya, aku terlalu lembut pada Aditama. Lihat saja kalau dalam tiga hari kau belum menjadi milikku, aku akan membunuh Aditama seketika,” janji Darel dengan mengepalkan tangan geram. “Bergeraklah cepat! Buat tekanan pada keluarga mereka. Aku menginkan dia secepatnya!” Darel berucap tegas pada seseorang di seberang sana yang kini terhubung karena ponsel. {} Jam sudah menunjukkan pukul 06:00, Annisa tetap setia di meja kerjanya dengan komputer yang menyala dan tangan yang sibuk mengetik. “Hah ... Ada apa dengan berkas ini, ya Allah. Kenapa tidak habis￾habis,” gerutu Annisa sambil melihat jam tangannya yang sudah lewat jam kerja. Dengan perasaan risau, Annisa mencoba menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan di sebuah ruangan, Darel menatap Annisa dingin. “Ada apa dengan kepala di divisinya? Kenapa dia diberi banyak pekerjaan begitu?!” gerutu Darel. Sedetik kemudian dia mulai menyadari ada yang aneh di dalam dirinya. ‘Memangnya kenapa? Apa peduliku,’ batin Darel. Waktu sudah sangat malam, Annisa tetap berkutat dengan berkasnya, sampai pada berkas terakhir yang selesai pada jam delapan malam. “Alhamdullilah.” Annisa mengembuskan napas lega. Dan mulai bersiap untuk pulang. Di kota yang terkenal tak pernah tidur itu, tak sulit mencari kendaraan umum. Karena itu Annisa tak terlalu khawatir kalau dia pulang malam. Yang dia khawatirkan justru hal lain, yaitu orang-orang malam di sana. Annisa memasuki rumah dengan pelan, ucapan salamnya tak dijawab oleh penghuni rumah. Saat dia memasuki ruang keluarga terdengar suara teriakan dan bentakan keluarganya. “Kenapa kau terus mempertahannya, Aditama?! Biarkan Darel memilikinya. Lagipula dia mungkin akan hidup lebih baik di rumah Darel!” Annisa mengerutkan keningnya. ‘Dia siapa? Siapa yang ingin dimiliki Tuan Darel?’ Memang setelah kemarin Aditama dipanggil Darel, Farah dan Carry mengeluarkan aura permusuhan pada Aditama. “Tidak akan! Keputusanku sudah bulat!” tegas Aditama. “Daddy!! Aku tadi dihina karena kita jadi miskin sekarang!! Daddy benar-benar tidak bertanggungjawab! Pokoknya aku mau kita kembali kaya seperti dulu gimana pun caranya.” Carry meninggalkan ruangan itu dengan tergesa-gesa. “Aditama, ini sudah kelewatan. Aku tidak mau dipermalukan seperti Carry, kau serahkan Annisa pada Darel atau kita bercerai!” teriak Farah lalu berlari ke arah kamarnya. Annisa membelalakkan matanya seketika mendengar kata bercerai. ‘Tidak, paman dan bibi tidak boleh bercerai.’ Annisa berjalan ke arah Aditama. “Apa yang terjadi, Paman? Kenapa aku harus diserahkan? Apa karena kesalahanku beberapa hari lalu?” Annisa menatap Aditama bertanya. “Tidak, Nak, tidak ada apa-apa. Jangan pikirkan apa pun, ya.” Aditama memaksakan senyum lembut pada Annisa. Tapi Annisa sudah tentu tahu bahwa itu senyum yang dipaksakan. “Tapi, Paman—” “Kau pasti lelah kan, Nak? Naiklah ke atas, mandi lalu makan.” Aditama memerintah lalu pergi dengan cepat ke arah kamarnya. Meninggalkan Annisa yang dilanda kebingungan. {} “Apa maksudmu, Farah? Hanya karena goncangan sekecil ini kau ingin kita bercerai?!” Aditama menatap Farah tak percaya. “Kau pikir ini kecil?! Aku dipermalukan, Aditama!!! Anakku dibully karena kita berubah jadi miskin! Keputusan ada di tanganmu, kita bercerai dan kau selamanya tak akan melihat anakmu lagi atau serahkan Annisa kepada pria itu.” Aditama menghela napas lelah, lalu berjalan ke arah taman belakang. Bagaimanapun wanita itu istrinya dan satunya lagi adalah anaknya. Sudah pasti dia sangat mencintai mereka. Tapi dia juga sangat menyayangi Annisa. “Kalau Annisa boleh tahu, kenapa dengan Tuan Darel, Pa.” Aditama terperanjat dan buru-buru menoleh ke samping di mana Annisa ada di sana sambil memegang secangkir teh hangat. Annisa mengambil posisi duduk di samping Aditama. Meletakkan tehnya di meja kecil yang ada di sana. “Kenapa?” ulang Annisa lagi. “Tidak, kamu pasti salah dengar. Tuan Darel tidak—” “Paman sendiri tahu, Annisa sangat tidak suka orang berbohong,” ucap Annisa lembut yang menghentikan kilahan Aditama seketika. “Dia ...” Aditama tampak ragu mengatakannya. “Kenapa?” tanya Annisa lagi. Dengan terpaksa Aditama menjelaskan semua hal tentang kesepakatan yang Darel ajukan. Setelah mendengar semuanya kening Annisa berkerut seketika. ‘Menukarku? Apa harga diriku ini? Apa tujuan Tuan Darel?’ pertanyaan itulah yang ada di otak Annisa sejak tadi. “Tapi kau tenang saja, Nak, Paman tidak akan pernah mengambil keputusan bodoh dengan menjualmu ke pria kejam itu.” Annisa hanya mengangguk dan tersenyum singkat. ‘Apa tujuan Tuan Darel sebenarnya?’ Entah kenapa pertanyaan itu tak bisa hilang dari kepalanya. “Kembalilah ke dalam kamarmu, Paman tahu kau lelah.” Annisa hanya mengangguk, menyalimi tangan Darel lalu pergi ke kamarnya. {} Annisa berjalan sambil menundukkan kepalanya menuju kantor yang paling atas dekat dengan kantor CEO. Pikirannya tak mau beranjak dari penjelasan Aditama semalam. “Asstagfirullahhaladzim!” Annisa buru-buru mengumpulkan beberapa dokumennya. Saat itulah dia tahu bahwa yang menabraknya adalah lelaki. “Maaf, saya tidak sengaja.” Mendengar suara itu, entah kenapa jantung Annisa kini berpacu di atas normal, menimbulkan bunyi gendang yang ditabuh keras. “I ... Iya,” balas Annisa lalu berjalan cepat menuju lift. ‘Asstagfirullahaladzim, kenapa dengan jantungku? Ya Allah tolong jagalah diri ini.’ Doa Annisa dalam hati. Saat pintu lift akan segera tertutup, kaki seseorang menghalanginya hingga pintu itu terbuka kembali. Annisa seketika membelalakkan matanya. ‘Ya Allah, bagaimana ini? Aku tidak mau berkhalwat, dan aku tidak mungkin keluar itu akan sangat tidak sopan.’ Keringat dingin mulai mengucur di dahi Annisa. Entah kenapa dia sangat takut kalau hanya berdua dengan pria ini. “Boleh aku ikut?” Annisa hanya menganggukkan kepalanya cepat untuk membalas ucapan Darel, lalu menunduk dan berdiri di paling pojok lift tersebut. ‘Kenapa dia mau naik lift biasa? Bukankah ada lift khusus CEO,’ batin Annisa heran. Lalu pikiran aneh manghampiri kepalanya. ‘Apa dia ingin bersamaku?’ Sedetik kemudian Annisa menggelengkan kepalanya keras dan memukulnya pelan sambil terus beristighfar. Ting! Kelegaan menghampiri Annisa saat pintu lift kini terbuka, dan Darel sudah keluar. Untung saja Darel tak mengajaknya berbicara tadi. Saat Darel keluar, Annisa masih tetap memperhatikan punggung Darel yang menghilang. ‘Kenapa Darel mau menganti perusahaan ini denganku?’ {} Matahari kini sudah bersinar tinggi di atas kepala. Tapi pikiran Annisa masih berputar pada penjelasan Aditama kemarin. ‘Pikiranmu jantung Annisa kini berpacu di atas normal, menimbulkan bunyi gendang yang ditabuh keras. “I ... Iya,” balas Annisa lalu berjalan cepat menuju lift. ‘Asstagfirullahaladzim, kenapa dengan jantungku? Ya Allah tolong jagalah diri ini.’ Doa Annisa dalam hati. Saat pintu lift akan segera tertutup, kaki seseorang menghalanginya hingga pintu itu terbuka kembali. Annisa seketika membelalakkan matanya. ‘Ya Allah, bagaimana ini? Aku tidak mau berkhalwat, dan aku tidak mungkin keluar itu akan sangat tidak sopan.’ Keringat dingin mulai mengucur di dahi Annisa. Entah kenapa dia sangat takut kalau hanya berdua dengan pria ini. “Boleh aku ikut?” Annisa hanya menganggukkan kepalanya cepat untuk membalas ucapan Darel, lalu menunduk dan berdiri di paling pojok lift tersebut. ‘Kenapa dia mau naik lift biasa? Bukankah ada lift khusus CEO,’ batin Annisa heran. Lalu pikiran aneh manghampiri kepalanya. ‘Apa dia ingin bersamaku?’ Sedetik kemudian Annisa menggelengkan kepalanya keras dan memukulnya pelan sambil terus beristighfar. Ting! Kelegaan menghampiri Annisa saat pintu lift kini terbuka, dan Darel sudah keluar. Untung saja Darel tak mengajaknya berbicara tadi. Saat Darel keluar, Annisa masih tetap memperhatikan punggung Darel yang menghilang. ‘Kenapa Darel mau menganti perusahaan ini denganku?’ {} Matahari kini sudah bersinar tinggi di atas kepala. Tapi pikiran Annisa masih berputar pada penjelasan Aditama kemarin. ‘Pikiranmu mulai aneh, seandainya saja aku bisa sholat’ Annisa membatin dalam hati. Sholat memang penawar hati yang resah. Saat bel istirahat berbunyi, Annisa turun ke bawah untuk makan. Tentu saja hal itu tak lepas dari pandangan Darel. ‘Hmm, hanya tinggal menghitung jam. Setelah itu ... Kau jadi milikku,” batin Darel hingga menciptakan seringaian kejam di bibirnya. “Apa sudah kau lakukan?” tanya Darel dengan orang di sebrang sana. “Sudah, Tuan, saya pasti mereka akan menekan nyonya Annisa.” Darel tersenyum puas mendengar jawaban orang suruhannya. “Bagus.” Hanya kata itu, lalu Darel matikan teleponnya. “Hanya menunggu jam,” gumam Darel lalu turun ke bawah. Tepat di mana Annisa berada di sana. Annisa makan makanannya sendirian, entah kenapa hawa ruangan itu terasa sangat panas dan sesak. Semua karyawan di sana memakan makanan mereka dalam diam begitu pun dengan Annisa, bahkan dia memakan makanannya dengan jantung yang tak hentinya berdegup kencang. ‘Kenapa tuan Darel melihat ke arahku terus?’ batin Annisa bertanya. Hal itulah yang menjadi bebannya selama memakan makanannya ah, tidak semenjak Darel di sini. Pandangan matanya tak pernah beralih dari Annisa. Melihat itu Annisa memakan makanannya dengan cepat, lalu pergi dari sana. ‘Manis,’ batin Darel sambil menatap Annisa yang perlahan menghilang dari pandangan mata. Annisa kembali memulai pekerjaanya. Dia tak punya teman di sini, karena sudah pasti mereka membenci gadis sepertinya. Setelah selesai, Annisa bergegas pulang. Sesampainya di rumah, matanya disuguhkan dengan rumah yang sangat berantakan. Barang-barang semua berserakan. Dan ada beberapa yang sudah tak ada di tempatnya. “Apa yang terjadi?” gumam Annisa lalu berjalan ke arah ruang keluarga. Di ruang keluarga semua keluarganya tampak sangat kusut. “Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa rumah kita berantakan? Dan ke mana hilangnya semua barang?” Farah menatap Annisa penuh akan kebencian. “Ini semua karenamu anak pembawa sial! Apa yang kau lakukan pada keluarga kami sampai kami terkena sial seperti ini?” Annisa memejamkan matanya, walaupun perkataan itu sudah sering dia dengar tapi tetap saja itu sangat menyakitkan. “Farah! Ini semua bukan salah Annisa,” bela Aditama. “Ini semua salah Annisa, Dad. Kalau Daddy gak sayang sama dia pasti kita gak akan kaya’ gini,” Carry bicara sambil meneteskan air mata. “Terserah! Keputusan ada di kamu, aku gak mau hidup jadi gelandangan. Kamu ceraikan aku atau serahkan anak pembawa sial ini.” “Memangnya ada ap—” PLAK !! Bukannya jawaban, namun tamparan pedas diterima Annisa. “Aku muak dengan wajah sok polos dan tanpa dosamu itu! Kalau suamiku tidak menyayangimu pasti kami tidak akan seperti ini!” “Farah ada apa denganmu?? Ini bukan salah Annisa–” Air mata Annisa menetes seketika, suara paman dan bibinya yang beradu tak terdengar di telinganya. “Apa kau mencintai kakak iparmu?! Mangkanya kau sangat menyayanginya. Atau dia ini anak haram kau dengan—” “Farah! PLAK!” bibir Farah mengeluarkan darah segar. Annisa tersadar seketika saat mendengar suara tamparan Aditama yang terdengar nyaring. “Kau ... Kau menamparku demi anak pembawa sial ini??!” Farah menatap tak percaya ke arah Aditama. Ini pertama kali untuknya. “Ini semua karena kamu!” tunjuk farah pada Annisa, yang kini masih menangis. “Ini bukan salah—” “Jangan menyalahkan Mom, Dad. Ini semua memang salah dia.” Carry menangis sambil memeluk Farah dari samping. “Dia —” “Apakah drama kalian sudah selesai?” Seketika perdebatan mereka terhenti saat ada seorang pria tampan yang kini tengah menatap mereka semua jengah. “Tuan Darel ....” “Kalau belum selesai, silakan lanjutkan di luar. Ini rumahku sekarang. Atau kau bisa membayar semua utangmu,” Darel melirik Annisa pada kalimat terakhirnya, sedangkan Annisa segera menundukkan kepalanya saat di lirik seperti itu. “Hmm sebenarnya, aku tidak memilih putri mana yang ingin kau serahkan. Tapi karena dia keponakanmu, pasti kau akan lebih mudah menyerahkannya,” Darel menatap Carry dan Annisa bergantian. Sedangkan Carry, dia mulai tertarik dengan pria setampan dewa yunani di depannya. “Maaf, Tuan.” “Kalau begitu silakan pergi, aku beri waktu beberapa jam untuk berbenah.” Darel bersuara dingin lalu mulai duduk dengan santai di sofa single yang ada di sana. Farah menarik Annisa ke dalam kamar tamu diikuti oleh Aditama dan Carry di belakangnya “Ini waktunya kau untuk balas budi atas kebaikan kami selama ini, Annisa. Kau tidak akan mungkin membayar semua hal yang kami berikan selama ini. Jadi tolonglah, bantu kami sekali ini saja.” Farah menatap Annisa memohon. Sungguh dia sangat tidak ingin miskin. “Farah, kau—” “Diam, Aditama! Atau aku akan bunuh diri. Apa gunanya aku hidup lagi kalau aku miskin!!” Farah berteriak marah. Sedangkan Annisa semakin menunduk, air matanya mengalir tak mau berhenti. “Aunty mohon, Annisa.” Farah berlutut di kaki Annisa. Annisa yang melihat itu, tambah menangis. “Iya, Annisa. Kakak mohon.” Bukan hanya Farah, kini Carry pun ikut mencium kaki Annisa. Annisa merosot duduk. “Annisa—” “Setelah ini, Aunty akan baik dengan kamu. Kamu bukan keponakan lagi untuk Aunty tapi seorang anak.” Farah menatap Annisa penuh permohonan. Annisa mengangguk mengiyakan. Farah dan Carry beringsut memeluknya. Sedangkan Aditama, Dia menangis tak berdaya. ‘Benar kata Bibi Farah, aku harus membalas budi dengan mereka. Maka baiklah, akan kuserahkan diri ini sebagai pembayar utang,’ batin Annisa dalam hati. Setelah cukup lama berpelukan, Farah dan Carry membawa Annisa keluar menemui Darel. “Apakah sudah diputuskan? Siapa yang akan menjadi budakku?” Darel bersuara santai “Annisa, Tuan,” jawab Aditama pelan dengan suara tak rela. ‘Sudah ku duga, tak mungkin mereka menyerahkan anak kesayangan mereka,’ seringai licik tercetak jelas di bibir Darel. “Baiklah, silakan ikut aku.” Darel mulai berdiri hendak pergi, Annisa mengikutinya dengan langkah pelan. Sepanjang langkahnya, air mata selalu menyertainya. ‘Mungkin, ini memang takdirku, aku akan menerimanya dengan ikhlas,’ batin Annisa meyakinkan dirinya. ‘Apa pun yang kumau pasti akan kudapatkan. Annisa Faiha, bersiaplah dengan kehidupan barumu.’ Darel menampilkan seringai iblisnya. Setelah menempuh perjalanan dalam keheningan, tibalah mereka pada rumah megah ber cat warna putih. Sepanjang perjalanan Annisa terus meneteskan air mata, karena itulah Darel tak bersuara sedikit pun. Darel keluar dari mobil mewahnya diikuti Annisa sambil menunduk. “Ini rumah barumu sekarang,” Darel bersuara dingin. Annisa hanya mengangguk untuk menanggapi ucapan Darel. Saat pintu terbuka, Annisa membelalakkan matanya seketika. ‘Benar-benar mewah.’ Hanya kata itu yang ada di otak Annisa. “Itu kamarmu,” ujar Darel sambil menunjuk sebuah ruangan. Annisa mengangguk lagi. “Kau bisu atau kenapa? Bisakah menjawab perkataanku?” Annisa gemetar seketika. “I ... Iya, Tuan Darel.” Annisa bersuara gugup Mungkin dia masih takut, Gadis Aneh. Apakah wajahku begitu buruk hingga dia selalu menunduk,’ batin Darel sebal. “Baiklah, tidurlah di sana. Ini sudah malam. Besok baru aku beritahu apa saja tugasmu.” Annisa mengangguk. Dan berjalan pelan ke arah kamarnya. ‘’Hah .... Akhirnya, kau menjadi milikku. Lihat apa yang akan kulakukan karena perbuatanmu dulu. Ups, perbuatan orang gila itu!” Darel tersenyum melihat Annisa yang hilang di telan pintu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD