"Mbak, please tolong Mas Ahza." Wirda mengiba dengan cara menangkupkan kedua telapak tangannya.
Fatma masih tak bergeming ia malah melengos dari hadapannya. Namun, Wirda tak putus asa ia membuntuti Fatma hingga ke depan pintu kamar.
"Tunggu di sini!" tegas Fatma lalu menutup pintu itu sedikit keras.
Ada kesal yang menyeruak dalam dadanya. Disaat sakit mereka mencari, lalu dimana mereka ketika saat itu sedang bersenang-senang? ternyata kedua orang itu hanya ingin berbagi duka, gumamnya, lalu Fatma tersenyum getir.
Di dalam kamar ia lekas mencari selembar kertas dan pulpen lalu tangannya mulai menulis resep.
"Ini resep ramuan obat sakit lambungnya suamimu, buat saja sendiri aku malas."
Fatma segera menutup pintu rapat-rapat, tanpa memberi kesempatan pada mantan adik madunya untuk bertanya, ia sudah malas jangankan untuk bicara, untuk bertatap muka saja ia risih.
*
Sementara di luar sana Wirda mencebik lalu mendengkus kesal.
Bagaimana ia bisa membuat ramuan yang terbuat dari rempah-rempah itu?
Bahkan ia tak bisa membedakan mana kunyit, jahe dan lengkuas.
"Ugh! Menyebalkan!" Wirda merutuk di hadapan suaminya yang sedang kesakitan.
"Gimana, Dek?" tanya Ahza lemah.
"Mbak Fatma ga mau buatkan ramuannya, Mas! Sudahlah kita ke dokter saja," jawab Wirda kesal, lebih tepatnya kesal pada mantan kakak madunya.
"Ga mempan, Dek, kalau minum obat kimia, Mas terbiasa minum ramuan tradisional buatan Fatma."
Wirda menghentakkan kepalan tangannya ke kasur, lalu kedua rahangnya mengeras.
"Tau ah, Mas! Kamu ga bisa dibilangin! Ngeyel!"
Bagaimana ia tak emosi jika yang keluar dari mulut suaminya selalu nama Fatma, seseorang yang pernah menjadi saingannya dulu.
Kini ia sudah menjadi pemenang. Namun, kenapa seolah di hati dan pikiran Ahza sosok Fatma tak juga menghilang, bahkan sosok itu selalu hadir menghantui ketenangannya.
Takut, jika Ahza akan kembali menjalin cinta dengan mantan istri pertamanya, terlebih suaminya itu selalu mencari celah untuk bicara atau sekedar memperhatikan Fatma dari kejauhan.
Wirda benci itu, ia ingin menanam beribu-ribu kebencian di benaknya. Namun, bagaimana caranya? bahkan cara yang extrim pun sudah ia lakukan.
"Dek, Mas mules lagi nih, bantuin ke kamar mandi ya, Mas lemes banget," pinta Ahza dengan suara yang memilukan.
Wirda menghela napas, raganya mulai terasa lelah, hampir seharian ini ia menuntun suaminya bolak balik ke kamar mandi.
"Kamu kok BAB-nya ga berhenti-berhenti sih? sudahlah kita ke dokter saja," cetus Wirda mulai geram.
Ini sudah zaman modern, mengapa suaminya itu masih saja meminum ramuan tradisional? apa jangan-jangan itu hanya alasan saja untuk mencari perhatian Fatma.
"Iya-iya nanti Mas ke dokter, tapi sekarang bantu Mas ke kamar mandi dulu sudah ga tahan ini."
Wirda mencebik lalu menuntun suaminya menuju toilet dalam kamar itu dengan terpaksa.
"Aduh, Dek, kayanya Mas sudah keluar duluan ini," ucap Ahza seraya menyentuh bokongnya, seketika Wirda mencebik lalu menutupi hidungnya.
"Jorok banget sih kamu, Mas! Terus yang nyuci celana kamu nanti siapa?!" Wirda mulai meradang.
"Maaf, Dek."
Hoekkk! Hoekkk!
Tak berselang lama Ahza kembali memuntahkan isi dalam perutnya, alhasil lantai kamar itu menjadi kotor, muntahan Ahza berceceran di mana-mana.
Wirda mulai khawatir sekaligus bingung, harus apa dan bagaimana, selama ini ia tak pernah mengurus orang sakit, wanita itu selalu di manjakan oleh kedua orang tuanya.
"Kok kamu muntah lagi sih, Mas! Lihat kamar ini jadi kotor 'kan karena muntahan kamu," ucap Wirda setengah berteriak.
"Ma-maaf," gumam Ahza lalu ia kembali muntah dan mengotori karpet lantainya.
"Ya ampuuun!"
Bukannya menolong wanita itu malah marah-marah.
Hati Ahza merana, ia teramat merindukan sosok Fatma, terlebih disaat dirinya sedang sakit seperti ini, biasanya Fatma selalu mengurusnya sepenuh hati, tak pernah mengeluh apalagi marah-marah seperti istri keduanya.
"Fatma tolongin, Mas," gumam Ahza setelah itu tubuhnya limbung lalu tersungkur ke lantai, ia tak pingsan hanya merasa lemas karena terlalu banyak kehilangan cairan tubuh.
"Mas! Kamu kenapa?" teriak Wirda panik.
Tak dihiraukan bau tubuh Ahza yang menyengat, lantas Wirda mendekap tubuh suaminya seraya terisak.
"Mas, kita ke rumah sakit ya," ucapnya di telinga Ahza.
Lelaki yang sudah tak berdaya itu hanya mengangguk lemah, lalu Wirda beringsut bangkit.
"Sebentar ya, Mas."
Ia melangkah untuk menemui Fatma di kamarnya.
Dua kali pintu diketuk akhirnya muncullah sosok Fatma yang mengenakan mukena, kedua wanita itu saling memandang.
"Mbak, Mas Ahza makin parah BAB dan muntah terus, bantu aku ya kita bawa dia ke rumah sakit," pinta Wirda memelas, rasa gengsi dan malu sudah terkubur berganti dengan rasa cemas.
"Sudah dikasih belum ramuannya?"
Wirda menggeleng pelan.
"Kenapa ga dibuatin? takut tanganmu jadi kotor?" Fatma mendecap.
"A-aku ga tahu, Mbak bahan-bahannya kaya gimana, aku mohon bantu Mas Ahza sekarang ia akan di bawa ke rumah sakit aku sudah pesen taxi online," mohon Wirda memelas.
Namun, dalam hatinya ia muak melakukan hal itu.
"Kalau sudah pesen taxi online ya sudah pergi saja, dia itu suamimu urus saja sendiri, kamu lupa aku ini siapa? aku hanya orang yang dia talak karena perintahmu ya 'kan?" ungkap Fatma, emosinya mulai menggelegar.
Namun, sekuat tenaga ia bendung, agar jangan sampai melontarkan perkataan pedas terhadap mantan madunya itu, walau ia pernah begitu menyayat-nyayat hatinya.
Tidak! Prinsip Fatma tidak pendendam begitu, wanita berkulit putih langsat itu selalu berusaha ikhlas atas apa yang terjadi, hanya saja ia ingin memberi pelajaran pada Ahza dan istri keduanya agar mereka tak lagi berharap pada manusia.
"Mbak!"
Manik mata Wirda membelalak dan mengembun, tak menyangka jika mantan kakak madunya akan mengetahui rencana busuk itu.
Ia menggelengkan kepalanya pelan, sebagai bentuk penyangkalan jika tuduhan itu tidak benar adanya, mulutnya terbungkam oleh sorotan mata Fatma yang tajam.
"Kenapa? kamu kaget kenapa aku bisa tahu?" suara Fatma masih lembut tapi penuh penegasan.
"Wirda, Allah itu Maha Melihat, Maha tahu, kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan? seperti apa balasannnya jika memisahkan suami istri? ya, kamu berada di pihak ibl*s, karena ibl*s akan selalu berpesta ria jika berhasil memisahkan pasangan suami istri, dan itu 'kan yang kamu lakukan?"
Air mata Wirda meleleh, balasan telak yang dia terima begitu menghujam d**a juga keangkuhannya.
"Sekarang pergi dan bawa suamimu ke rumah sakit, jangan pernah memintaku untuk mengurusnya, jika kamu cinta suamimu maka kamu juga harus mau bersamanya dalam keadaan senang dan susah."
Pintu ditutup dengan sedikit keras, lalu Fatma menyenderkan diri di baliknya, bahu itu terguncang bersama tangisan.
Menangis lagi dan lagi! Fatma merutuk dirinya yang rapuh ini, kenapa ia tak mampu setegar karang?.
Sedangkan Wirda kehilangan pijakannya, dipegangi ujung tembok oleh sebelah tangan. kata-kata Fatma memang benar adanya. Namun ia masih saja menyangkal jika dirinya bukan pengikut ibl*s.
Tidak!
Suara dering ponsel memecahkan lamunan, dipandangnya benda pipih itu, pesan dari seorang driver online yang ia pesan beberapa menit lalu, orang itu telah menunggunya di depan pagar rumah.
Ia mulai bangkit menuju gerbang depan untuk meminta tolong pada lelaki itu agar membopong suaminya.
Wirda berhasil membawa Ahza ke rumah sakit, dibiarkannya kamar yang kotor dan berantakan itu, dalam benaknya hanya tertuju pada Ahza.
Sementara di dalam kamar diam-diam Fatma mengintip di balik jendela, ia merasa sedikit lega karena mantan suaminya sudah berhasil ditangani.
Tak dapat dipungkiri dirinya pun tak kalah cemas dari Wirda. Akan tetapi, rasa kecewa dan benci yang sudah menggunung membuatnya enggan untuk membantu.
Satu jam kemudian Fatma mendapati ponselnya bergetar, panggilan dari nomor Wirda, walau nomor itu tak bernama di kontak ponselnya, tetapi Fatma kenal betul tiga digit angka terakhirnya, ia meraih benda pipih itu lalu menekan tombol warna hijau.
"Assalamualaikum, Mbak Fatma."
"Wa'alaikumus'salam."
"Mbak, ternyata Mas Ihsan harus dirawat inap, dia kekurangan banyak cairan karena muntah-muntah dan mencret," ucap Wirda dengan suara gemetar.
"Terus?" Fatma berusaha untuk menyembunyikan rasa paniknya.
"A-aku ga punya uang buat bayar rumah sakit, gimana ini, Mbak, tolonglah berbesar hati dan tolong Mas Ahza kali ini saja," ungkap Wirda memelas.
Bersambung.