Gila, badan gue rasanya capek banget setelah menempuh perjalanan belasan jam di pesawat. Kini akhirnya setelah lima tahun menuntut ilmu di London, gue bisa pulang ke Indonesia.
Setelah lima belas menit perjalanan akhirnya gue sampai di rumah. Dengan senyum merekah, gue memandangi bangunan yang sudah lama gue tinggalkan. Tak banyak yang berubah, masih sama dengan apa yang ada dalam ingatan.
Damn it! I really miss this place!
Dengan tidak sabar gue membuka pintu depan dan menuju ruang keluarga. Langkah gue otomatis memelan. Senyum gue meneduh ketika melihat keempat anggota keluarga gue lagi nungguin sambil nonton TV.
"Ehem! Nggak ada yang kangen nih sama Valdi?"
Begitu mendengar suara gue, keempatnya langsung menoleh serempak. Kedua adek gue langsung berlari menghampiri lalu menghadiahi pelukan erat. Sedangkan Ayah dan Bunda hanya tersenyum.
"Weiiis! Santai, Dek. Jangan barbar, dong. Bisa pingsan nih kalau dibekap gini," ucap gue dengan tawa bahagia. Kedua tangan gue kini bergerak menepuk-nepuk punggung mereka dengan sayang.
"Kangen, tahu! Abang sih, nggak pernah pulang, kayak Bang Toyib aja," rengek Stela—adek gue yang pertama—dengan manja.
"Iya, nih. Kok Abang nggak pernah pulang, sih? Nggak kangen sama kita, apa?" sahut Nathan—adek kedua gue.
"Ya kangenlah, Dek. Tapi karena Bang Valdi pengin cepat selesai, makanya Abang lembur biar bisa selesai tepat waktu dan nggak ada yang ngulang. Jadi nggak sempat pulang, deh,” kata gue sambil ngerangkul mereka berdua.
"Alah, Bang Valdi nih alesan aja," sahut Stela cemberut.
"Beneran, Dek, suer! Ngapain Abang bohongin adek Abang yang cantik ini?"
"Terserah, deh. Yang jelas kalo sampe nggak bawa oleh-oleh, Stela nggak bakal maafin Abang. "
"Bener, Kak Stela. Mana oleh-olehnya sini?!" Nathan juga menyuarakan protes, membuat gue terkekeh dan melepaskan rangkulan gue pada keduanya.
"Tenang, tuh Abang bawain oleh-oleh sekoper penuh buat kalian," kata gue sambil menunjuk koper merah di samping sofa. Mata mereka langsung mengikuti arah jari gue. Dengan kompak keduanya berlari menghampiri koper.
"Asyiiik! Ayo, Dek, kita serbu!"
"Serbuuu, Kak!"
Gue menggeleng geli mengamati kelakuan keduanya. Ckckck, udah remaja masih aja kayak anak kecil. Umur Stela sekarang 18 tahun dan dia baru saja masuk ESMOD Jakarta. Memang, cita-citanya dari kecil adalah membuat baju dengan merknya sendiri. Sementara Nathan, dia tiga tahun lebih muda daripada Stela. Sekarang dia sekolah di SMA Tunggal Jaya—SMA gue dulu.
Gue lalu menghampiri Ayah dan Bunda lalu menyalimi tangan mereka.
"Ayah, Bunda, Valdi kangen," ujar gue dengan nada hiperbola sambil memeluk mereka dan cengiran lebar.
"Salah siapa nggak mau pulang?!" sahut Bunda sengit.
"Kan Valdi belajarnya giat banget, makanya sampai lupa pulang. Valdi kan mau ngebanggain Bunda sama Ayah.”
“Ah, alesan aja, kamu nggak kangen sama Bunda, ya?” cecar Bunda.
“Kangen banget, Bun. Maaf, ya. Setidaknya Valdi pengin bisa kasih hasil terbaik buat kalian.”
Bunda mengembuskan napas pelan. “Jadi lulusan terbaik Grandvert sudah sangat melebihi ekspektasi Bunda, Val. Bunda nggak nyangka anak Bunda sepinter ini." Bunda tersenyum sambil mengelus kepala gue. Diam-diam gue jadi ikutan terharu.
"Lho, anak Ayah jelas pinter, dong!” Ayah menyahut dengan bangga.
Bunda lantas mendengus. “Tapi Bunda masih kesel. Masa sampe lupa pulang, sih? Bisa-bisanya! Di telepon bilangnya nanti bakal pulang. Nantinya malah lima tahun kemudian!” Bunda lanjut mengomel. Gue hanya bisa tersenyum minta maaf.
"Iya deh iya, maafin Valdi ya, Bundaku yang cantik. Kan yang penting sekarang Valdi udah di rumah, nih," rayu gue sambil mencium pipi kanan Bunda.
Bibir Bunda tampak mencebik. “Kamu itu, paling bisa kalau ngerayu Bunda, persis kayak Ayah kamu.”
"Ah, Bunda. Jangan dibahas dong, kan Ayah jadi malu,” sahut Ayah yang kini sudah merangkulkan tangannya di pundak Bunda dengan akrab. Gue hanya bisa memandangi mereka dengan gelengan tak habis pikir.
Gue kemudian menegakkan tubuh. “Yah, Bun, kalau gitu Valdi istirahat, ya.”
Bunda lalu mengelus pipi gue dengan sayang dan mengangguk. “Ya udah sana, Nak, pasti capek banget, ya. "
Gue tersenyum lemah. "Valdi naik dulu, ya." Gue melangkah menuju tangga.
"Valdi, besok bangunnya jangan telat, ya. Ikut sarapan bareng," pesan Ayah.
Gue memberikan tanda hormat kepada Ayah dan mengangguk dengan mantap."Siaap, Bos!"
Gue beralih menatap kedua adik gue yang masih sibuk membongkar koper. "Stela, Nathan, Abang naik dulu, ya."
"Oke, Bang. Makasih ya oleh-olehnya, mantap banget!" teriak mereka dengan riang.
Gue mengacungkan jempol lalu berkata, "Sip. Kalian buruan tidur sana. Besok pada masuk, kan?"
“Siap, Bang!" sahut mereka kompak. Gue tersenyum sekali lagi sebelum benar-benar menapaki tangga menuju lantai dua.
Gue terdiam sejenak saat langkah gue berhenti di depan pintu berwarna putih dengan berbagai stiker tertempel di permukaannya. Spontan tangan gue bergerak menelusuri setiap stiker yang gue tempelkan selama masa sekolah gue. Setelah puas, gue akhirnya membuka pintu. Senyum teduh gue perlahan muncul. Dengan tidak sabar gue langsung meloncat dan mendaratkan diri ke atas kasur.
Oh, Kasur, gue kangen banget sama lo, Sur.
Kedua tangan gue bergerak mengelus kasur dengan sayang. Gue bangkit dan memutuskan untuk mandi sebelum benar-benar ketiduran. Dan benar saja, tepat setelah bersalin pakaian dengan badan yang sudah segar, belum sampai lima menit, gue benar-benar sudah terlelap ke alam mimpi.
***
Selesai mandi dan berpakaian santai, gue turun menuju dapur. Gue tersenyum saat melihat Ayah yang sudah rapi dengan koran di tangannya.
“Pagi, Yah,” sapa gue saat sudah duduk di meja makan.
Ayah kemudian menoleh dan berkata, “Pagi, Val. Kamu bantuin Bunda sana, bawain sarapan ke meja makan."
"Siap, Yah," jawab gue seraya berbalik menuju dapur. "Pagi, Bunda," sapa gue ketika sudah berada di belakang Bunda. Tak lupa, seperti kebiasaan dari dulu, gue melayangkan kecupan di pipi Bunda.
"Pagi, Sayang. Nah, kebetulan kamu di sini, tolong bawain nasi gorengnya ke depan. Orange juice-nya biar Bunda yang bawa. "
"Oke, Bun," sahut gue seraya mengangkat semangkuk besar nasi goreng. Gue berjalan menuju ruang makan dengan Bunda yang mengikuti dari belakang.
Sesampainya di ruang makan, ternyata Ayah sudah ditemani oleh kedua adik gue di kursi masing-masing.
“Pagi, Adek-Adek Abang,” sapa gue begitu mangkuk yang gue pegang sudah mendarat di atas meja.
"Pagi, Bang Valdi," sahut mereka kompak. Gue tersenyum lalu bergerak menduduki kursi di dekat Ayah.
"Akhirnya ya, kursi di meja makan keisi semua,” ucap Ayah setelah beberapa saat terdiam memandangi kami.
"Iya, Yah. Biasanya sepi,” timpal Bunda yang menatap gue penuh arti.
"Ya sudah, ayo dimakan. Nanti telat kalian,” kata Bunda lagi. Gue, Ayah, Stela, dan Nathan mengangguk kompak sebelum mengisi piring masing-masing.
Suasana riang menyelimuti kegiatan sarapan. Semuanya sesekali saling melempar candaan selagi memakan sarapannya masing-masing. Hati gue menghangat saat menyadari jika sudah lama sekali tidak merasakan suasana ini.
Selesai sarapan, Nathan dan Stela berpamitan. Menyisakan gue, Ayah, dan Bunda. Kening gue mengerut saat memandang Bunda yang sedari tadi menyikut-nyikut Ayah. Bunda ngapain, sih?
Gue mengedikkan bahu cuek, mungkin Bunda sedang bermesraan dengan Ayah. Gue lalu kembali meminum segelas orange juice dengan santai.
Setelah beberapa saat berlalu, Ayah berdeham. “Valdi,” panggilnya kemudian.
Gue menaikkan sebelah alis seraya menaruh gelas yang sudah kosong. "Iya, Yah? Kenapa?”
Ayah kemudian menautkan kedua tangannya di atas meja dan menghadap gue. “Kamu kapan siap datang ke kantor?”
Gue berpikir sejenak. “Mungkin besok atau lusa, Yah.”
Ayah mengangguk beberapa kali. “Oke, bagus. Makin cepat makin baik.”
Gue mengangguk dengan senyuman. Lalu hening sejenak sebelum Ayah kembali berkata, “Val, ada yang mau Ayah omongin.”
Gue makin bingung. "Soal apa, Yah?”
"Kamu ingat sama Om Deni?”
“Om Deni yang dulu tetangga kita?” sahut gue yang langsung dihadiahi dengan senyuman lebar serta anggukan penuh semangat milik Ayah.
“Bagus-bagus. Kalau gitu, kamu juga masih inget kan sama anaknya Om Deni yang jadi temen main kamu dulu?"
Gue terdiam. Kembali mengubrak-abrik memori gue. Namun sejauh gue mencari, tidak ada petunjuk apa pun tentang anaknya Om Deni. “Dulu Valdi sering main emang sama anaknya Om Deni?” tanya gue bingung.
Ayah kembali mengangguk. “Yah. Sudah lupa, ya. Iya, kalian dulu sering main bareng waktu kecil. Namanya Thania.”
Gue berpikir keras. Sama sekali tidak ingat pernah punya teman bernama Thania. “Nggak ingat, Yah. Emang ada apa?”
Ayah terdiam sejenak. “Jadi gini, Ayah sama Om Deni kan udah sahabatan tuh dari dulu. Terus kami berdua sepakat buat ngejodohin kamu sama Thania. Gimana? Kamu mau, kan?"
DEG!
Ternyata sebersit firasat buruk yang tadi sempat gue rasakan memang benar. Gue menghela napas keras lalu mencondongkan tubuh gue ke depan. Gue menatap lurus mata Ayah yang tampak begitu mengharapkan persetujuan dari gue.
"Ayah mau ngejodohin Valdi sama Thania? Gimana bisa kami berdua nikah? Valdi cuma pernah kenal sama dia waktu kecil—dan itu pun sebentar. Valdi bahkan nggak ingat pernah kenal sama dia. Sekarang Thania kayak gimana juga Valdi nggak tahu. Lagian Thania belum tentu juga mau sama Valdi. Bisa-bisa dia juga udah nggak ingat lagi sama Valdi. Dan memangnya Ayah nggak mau nanya Valdi dulu nih, siapa tahu Valdi sudah punya calon sendiri?” Gue tanpa sadar malah mengomel.
“Eh, memangnya kamu punya pacar?”
“Enggak.”
Gue bisa melihat sekilas pandangan kesal Ayah, tapi gue pura-pura nggak tahu. Memangnya cuma dia yang kesal?
Bukannya melesu, wajah Ayah malah bersemangat. "Oh tenang aja, Valdi, sekarang Thania itu udah cantik banget. Kemarin Ayah sempat ketemu sama dia di mal. Dia sudah jadi dokter muda. Udah deh, pasti kamu bakalan suka sama dia. Thania juga pasti nggak bakal nolak anak Ayah yang cakep ini."
Gue menghela napas seraya menyandar pada punggung kursi. "Yah, kenapa sih harus dijodohin segala? Umur Valdi baru 24 tahun, masih kategori muda buat seorang laki-laki untuk menikah. Valdi baru aja kemarin balik dari London dan bahkan belum sempat ke kantor untuk kerja. Lagi pula apa kata orangtua Thania nanti kalau calon menantunya belum punya apa-apa? Kalau mereka jadinya malah menyepelekan keluarga kita, gimana? Ayah yakin masih mau jodohin Valdi?"
Tangan Ayah bergerak menepuk pundak gue pelan. "Usia itu bukan patokan, Nak, karena pada akhirnya pernikahan tetap akan kamu laksanakan berapa pun usia kamu nanti. Sekarang, mumpung ada pasangan yang baik untuk kamu, apa salahnya? Kamu jangan banyak mengkhawatirkan tentang orangtua Thania. Mereka juga menyetujui ide ini tanpa banyak syarat. Yang penting adalah, kamu bisa menjadi laki-laki yang baik untuk Thania."
"Betul kata Ayah kamu, Val. Atau kalo enggak, dicoba dulu aja, ya? Nanti malem kita bakal ketemuan sama keluarganya Om Deni. " Bunda kini ikut menimpali.
Gue terdiam lama. Gue masih merasa terpukul atas keputusan sepihak ini, tapi melawan keinginan orangtua juga bukan pilihan yang benar. Setelah kediaman panjang, akhirnya dengan pelan gue berkata, “Apa yang bisa Valdi lakukan supaya Ayah sama Bunda membatalkan ide ini?”
Lama gue menunggu, tapi Ayah dan Bunda tidak terlihat ingin mengatakan sesuatu sebagai jalan keluar bagi gue. Sambil mendengus jengah, gue menggeleng melihat keduanya. Sorot kekecewaan tidak bisa lagi gue sembunyikan. Rasa kesal akibat pendapat yang tidak diterima membuat gue mendesah keras. Gue menyugar rambut dengan kasar sebelum bangkit. "Terserah kalian, lah. Valdi ke kamar dulu."
Tanpa memandang keduanya lagi, gue segera berjalan menuju kamar. Begitu menutup pintu, gue langsung meraih bantal yang ada di sofa lalu melemparnya sembarangan.
What the hell is happening now?!
For God’s sake, gue masih 24 tahun, man, 24! Gue masih muda dan pengin senang-senang. Karier aja baru mau dimulai!
Yah, kalau memang Ayah sama Bunda pengin gue nikah, kenapa nggak bilang langsung aja? Kan gue bisa nyari calon sendiri. Nggak perlu yang namanya pake jodoh-jodohan segala.
Ah, stres gue kalau begini!
Gue mengembuskan napas keras sambil memandangi kamar. Dengan langkah gontai, gue memungut bantal yang tadi gue lempar dan mengembalikannya ke tempat semula. Gue lalu memutuskan untuk naik ke atas kasur dan tidur.
Dengan tertidur, paling tidak gue bisa kabur untuk sejenak dari masalah perjodohan gila ini.