4. Keluarga Wilson

2441 Words
Selesai bersih-bersih diri, Zehan tak langsung mengenakan pakaiannya. Dia berdiri dulu di depan meja wastafel, memberikan cream pada rahangnya untuk merapikan cambang. Dengan handuk melilit di pinggang, Zehan membiarkan tubuh kecokelatan dan atletis itu terlihat sempurna di pantungan cermin. Otot-otot tubuhnya terukir apik tidak kalah mencuri perhatian dari rupanya yang menawan. Tatapan pria berusia dua puluh lima tahun ini sangat meneduhkan, tapi ada kalanya juga terlihat begitu mengintimidasi--tergantung keadaan dan situasinya. Zehan menatap dirinya dengan seksama, pahatan wajahnya dibentuk serapi mungkin oleh Sang Maha Pencipta tanpa menyisakan celah kekurangan. Hidung bangir layaknya keturunan Timur Tengah, iris cokelat dengan bulu mata lentik. Alisnya tebal, kemudian memiliki rahang yang kokoh dan bercambang tipis adalah andalannya yang semakin memikat para kaum Hawa. Jika Zehan tersenyum, pandangan semua orang akan tertuju hanya kepadanya. Zehan tampan, tubuhnya ideal dengan tinggi di atas rata-rata pria Timur Tengah, sholeh, kemudian memiliki pekerjaan yang mulia di mata Allah. Hanya satu yang selalu membuat Zehan sedikit gelisah, diusianya yang sudah matang ... Zehan belum dipertemukan dengan jodohnya. Dulu Zehan sempat terbesit rasa suka kepada satu wanita--teman kecilnya, hanya saja waktu itu usia mereka belum benar-benar matang untung menuju pernikahan. Zehan sibuk menuntut ilmu agama dan memperbaiki diri, sementara wanita itu juga sibuk dengan segala hal menuju kebaikan. Hingga saat ini perasaan itu belum berubah, Zehan masih setia menunggu wanita sholehah itu datang setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya di Al-Azhar University, Kairo--Mesir. Wanita rupawan itu adalah penghafal Al-Qur'an. Anak salah seorang ulama besar di Bogor yang kebetulan kediamannya dekat dengan Zehan. Abi wanita itu berteman baik dengan Abi Zehan, mereka saling mengenal akrab antar keluarga juga. Abang pertama wanita itu adalah ustadz di pondok pesantren Al-Razzaq, namanya Adam yang berteman dengan Zehan. Kadang mereka latihan berkuda dan memanah bersama, hanya saja kalau tidak salah ... Abang Adam akan menikah sebentar lagi, mungkin acaranya digelar menunggu sang adik pulang dari Kairo agar anggota keluarga mereka lengkap seperti yang diinginkan. Zehan tidak sabar ingin bertemu dan membicarakan niat baiknya. Wallahi, pria itu telah memantapkan hatinya sejak jauh-jauh hari. Ini bukan perihal yang mudah, tapi Zehan berhasil dan sudah begitu yakin. Insyaallah dia akan berusaha menjadi imam yang baik untuk keluarga kecilnya nanti--sembari terus menggali ilmu dan membenahi diri. "Bang Zehan, Fatimah datang. Abang ada di kamar?" Adik perempuan Zehan mengetuk pintu kamarnya, tidak pernah berani masuk sebelum dipersilakan. Inilah pentingnya menjaga adab meski dengan saudara kandung sendiri. Fatimah tahu betul jika Abangnya memiliki privasi, dia harus menghormati itu. Baru saja Zehan selesai merapikan cambangnya, langsung menyenakan jubah mandi untuk menutupi bagian dadanyaa. "Sebentar, Fatimah. Abang pakai baju dulu, baru selesai mandi. Kamu tunggu saja di ruang keluarga ya, nanti Abang segera ke sana." Tanpa bertanya Zehan akan selalu paham apa yang ingin Fatimah bicarakan padanya ketika pulang dari pondok setiap akhir minggu. Yap, menyetor hafalan Qur'annya. Nanti jika berhasil naik satu juz, Zehan akan memberikan hadiah spesial. Ini bukan berarti sogokan atau tidak ikhlas melakukannya karena Allah, melainkan hadiah dari rasa bangga seorang Abang karena adiknya sudah giat dalam belajar dan menuntut ilmu. Fatimah tersenyum lebar, mengangguk mengerti. Dia ke dapur dulu, mendatangi Uminya yang sedang menyiapkan kue. "Umi, kangen banget!" Memeluk Uminya, mengecup pipi wanita itu sangat menyayangi. "Alif nggak pulang minggu ini, katanya minggu depan saja. Soalnya hafalan Alif masih banyak kurang." Padahal Abi dan Uminya tidak pernah menuntut anak-anak mereka harus menghafal sekian banyak, sesanggupnya saja. Tapi mungkin Alif merasa dirinya harus memberikan yang terbaik juga seperti Kakaknya Fatimah dan menuruti jejak Zehan sebagai ustadz. "Kemarin Umi ketemu sama Alif, nganterin makanan dan susuu. Dia udah bilang pulangnya minggu depan, padahal Umi nggak memaksa dia harus hafal satu juz dalam waktu dekat. Pelan-pelan saja biar nggak beban ngejalaninnya." Mengusap bahu Fatimah. "Kamu mau setor hafalan lagi ke Abang Zehan?" "Betul, Umi. Hafalanku sudah rampung satu juz. Ini lumayan cepat waktunya, aku senang bisa melakukannya dengan baik." "Alhamdulillah. Jangan lupa selalu bersyukur dikasih nikmat sehat, umur panjang, dan waktu yang berharga untuk kamu terus menuntut ilmu di jalan Allah. Semoga menjadi anak yang sholehah, Sayang. Umi selalu mendoakan Fatimah, Alif, dan Abang." Mengusap puncak kepala putrinya, membacakan sholawat kemudian mengecup kening dengan hangat. Fatimah mengangguk paham, tersenyum lebar kemudian duduk untuk mencicipi kue ibunya. "Masyaallah. Enak kue stroberinya, Umi. Aku suka." Mengacungkan jempol, mengangguk semangat dengan menguap kembali kuenya. "Itu Abang, Nak." "Makan kue dulu ya, Bang. Abang mau juga?" "Nanti saja, didinginkan dulu ke lemari es makin enak. Hari ini kamu mau setor hafalan?" Fatimah mengangguk. "Hafal berapa baris ayat?" "Satu juz dong!" Zehan tersenyum lebar. "Kamu nggak bercanda? Cepat banget loh." Seingat Zehan ini hanya dua minggu waktunya. Untuk ukuran usia Fatimah, ini adalah perkembangan yang sangat bagus dari sebelumnya. "Bagus, lebih tingkatkan lagi. Nanti pulang dari kedai Abang belikan hadiahnya. Fatimah lagi ada yang dibutuhkan?" "Mau kaos kaki dan jilbab lagi. Boleh kan, Abang? Kaos kakiku ada beberapa yang hilang, terus jilbab kayak gini enak banget dipakai. Nggak panas, Abang." Jilbab yang sedang Fatimah kenakan adalah pemberian dari Uminya waktu dia bertambah berusia tepat delapan belas tahun bulan kemarin. "Jangan lupa pilihkan yang warna hitam aja ya, Bang." Semakin beranjak dewasa, Fatimah makin rapat menutup auratnya. Jika dulu dia masih senang mengenakan pakaian berwarna cerah, sekarang sudah menggantikan dengan pakaian gelap yang sama sekali tidak mencolok--hitam. Fatimah juga senang berusaha bercadar, masih memantapkan hati agar nantinya tidak lepas pasang. Zehan mengusap puncak kepala Fatimah, tidak lupa membacakan sholawat. "Iya, nanti Abang belikan. Sama gamisnya, Fatimah?" "Enggak usah, Bang. Gamis aku udah banyak, nanti malah dosa kalau cuman jadi pajangan lemari. Lagian habis ini aku mau membagikan beberapa gamis yang udah nggak kepakai ke orang-orang deket sini. Sayang kalau cuman disimpan dan memenuhi lemari, mending dipakai orang yang lebih membutuhkan. Siapa tahu gamisnya nanti dipakai ke acara keagamaan, ngalir juga pahalanya buat aku." "Betul, lebih baik begitu. Oh iya, mukena kamu dibawa Almira pulang. Kemarin dia ke sini nggak bawa baju, jadi lebih memilih pakai mukena daripada gamis-gamis kamu." "Almira? Siapa, Bang? Kok aku baru denger namanya. Nggak salah Abang temenan sama cewek?" Fatimah cukup terkejut, sebab sebelumnya Zehan tidak pernah mau berteman dengan wanita. Dia selalu menjaga jarak untuk menghindari fitnah buruk dari orang sekitar, benar-benar ingin menjadi penerus Abinya menuntut ilmu sesuai ajaran Allah. "Bukan teman Abang." Zehan menaikkan bahunya, duduk tenang sambil menyeruput teh hangat. "Ketemu nggak sengaja di jalan. Kesian, jadi Abang tolongin." "Berapa hari menginap di sini? Sayang banget ya aku nggak sempat liat orangnya. Apa nanti dia akan ke sini lagi?" "Insyaallah, Nak. Cantik banget orangnya, anak yang baik." Fatimah terlihat berbinar. "Beneran, Umi? Wah ... kebetulan banget ketemu sama Bang Zehan. Jangan-jangan jodoh Abang ya?" Zehan langsung tersedak, menggeleng tegas. "Dia bukan calon istri yang seperti Abang inginkan." "Loh, kenapa?" "Zehan, nggak boleh bicara seperti itu. Jodoh tidak ada yang tahu, jangan mendahului ketentuan yang Maha Kuasa. Belum tentu apa yang kita lihat seperti itu kenyataanya. Bisa saja justru Nak Almira jauh lebih mulia daripada kita. Siapa yang bisa sangka setiap amalan seseorang kepada Allah? Pendosa pun sangat luas kesempatannya untuk masuk surga jika dia mau bertaubat dan mematuhi segala perintah Allah. Jangan merasa paling tinggi derajatnya karena kita memiliki ilmu yang banyak. Nggak berkah dan nampak sia-sia, Allah nggak suka orang-orang angkuh, Abang." Zehan mengucap istighfar berkali-kali sambil memejamkan matanya. "Maaf, Umi. Nggak akan Abang ulangi lagi. Hanya sedikit kesal saja melihat kelakuannya, buat aku darah tinggi." Bukannya kasihan dengan Zehan, Fatimah malah tertawa. "Dia lucu ya? Kayaknya orangnya seru." "Sangat ramah dan senang bercerita. Dia ceria sekali pas bercerita beberapa hal ke Umi tentang dirinya di Jakarta. Sebenarnya dia anak yang mudah dinasehati dan dapat mendengarkan dengan baik, hanya saja mungkin Nak Almira mengalami beberapa masalah yang membuat dia bisa sebebas itu. Kita nggak boleh soudzon, malah seharusnya bagus sekali jika dengan suka rela bantu dia agar kembali ke jalan yang lebih baik." "Dia padahal nggak bisa masak loh, tapi tetap berusaha bantu Umi memasak meski hanya dengan memotong sayuran. Umi ajarkan dia cara memotong yang benar, bisa kok diikuti perlahan. Artinya tidak ada yang benar-benar tidak bisa kita lakukan, dengan giat belajar dan melatih diri, kita akan terbisa sendiri." Fatimah mengangguk. "Dulu juga aku nggak bisa masak ya, Umi? Tapi karena giat belajar dan memahami cara-caranya, semua jadi mudah dan terbiasa. Aku juga nggak bisa nyuci, nyapu atau ngepel lantai dengan bersih. Tapi setelah mau belajar dan terus mencoba, akhirnya nggak ada yang berat untuk dijalani." Umi mengusap puncak kepala Fatimah sekali lagi, mengangguk dengan senyumn hangat. "Betul, Sayang. Selalu berpikiran baik dan rendah hati kepada orang lain, karena kita belum tentu lebih sempurna dari mereka." "Akan selalu aku ingat, Umi. Terima kasih selalu mengingatkan untuk kebaikan." Fatimah kemudian menatap Abangnya. "Dengarkan, Abang? Bisa saja seseorang yang nggak kita sukai malah menjadi jodoh, begitu pun sebaliknya. Jangan mendahului takdir Allah, nanti kemakan omongan sendiri loh." "Iya, tadi Abang salah. Ayo selesaikan makan kuenya, Abang tunggu di ruang ngaji ya untuk hafalannya. Setelah ini Abang mau ke toko, jangan lama-lama." "Iya, Bang. Ini udah mau cuci tangan, nanti aku nyusul." **** Nyonya Wilson baru saja datang dari luar kota, kemudian nampak kaget melihat putri sematawayangnya berada di dapur bersama Bibi Imon. Dia nampak sibuk dan serius sekali dengan kerjaannya. "Loh, Sayang. Kamu masak?" Tidak dapat menutupi keterkejutan, Nyonya Wilson menganga dengan mata melebar. Jangankan Almira, Nyonya Wilson sendiri tidak terlalu pandai memasak. Sejak kecil dia juga selalu dibantu oleh Mbak--asisten rumah tangga. Paling bisanya memasak yang gampang saja, kalau yang susah malah tidak tahu bagaimana mengolah bumbunya. Nyonya Wilson sejak kecil memang bercita-cita menjadi wanita karier, sehingga saat dia tumbuh dewasa pekerjaan rumah bukan menjadi fokus utamanya. Untunglah dia bertemu dengan Tuan Wilson yang tidak pernah menuntut apa pun, sejak awal pria itu sudah tahu juga istrinya tidak bisa memasak. Almira kaget, kemudian langsung menggeleng. "Enggak, belum bisa. Baru nyoba potong sayuran. Bisa kok, lumayan gampang ternyata." Hanya saja jika Almira yang memotong sayur, pekerjaan dapur terasa sedikit lebih lambat. Karena gadis itu memotong sayurnya pelan-pelan dan masih takut teriris jari. Bibi Imon tidak masalah, menurutnya ini adalah perkembangan yang sangat baik. Dia setuju kalau Almira memiliki rasa penasaran dalam hal memasak seperti sekarang. Nanti juga dia selalu ingin mencoba dan berakhir terbiasa sampai cekatan--Almira akan bisa mengolah beberapa menu yang luar biasa. "Ini, Bi, sudah dipotong." Nyonya Wilson mengacungkan jempolnya setuju dengan sikap Almira. "Tapi aku belum bisa ngiris bawang. Takut keiris jari, bahaya." "Nggak pa-pa, Sayang. Pelan-pelan aja kalau mau belajar. Mama juga sampai setua sekarang masih pelan-pelan potong bawang, nggak bisa cepat kayak Bibi Imon. Nanti kalau udah terbiasa jadi hebat." Mengusap lengan Almira, tersenyum hangat dan terlihat senang sekali melihat putrinya melakukan perkembangan yang sangat luar biasa. "Lebih baik menyibukkan diri belajar masak daripada mabuk-mabukkan nggak jelas. Kalau nggak di rumah sama Bibi Imon, minta ajarin Hana. Dia pinter banget kalau soal memasak. Udah kayak koki profesional." Almira terkekeh. "Kalau Hana jangan ditanya lagi, hobi dia emang memasak." "Kalau hobi kamu ngapain, Al?" "Ngabisin duit Mama sama Papa." Menaikkan bahunya, kemudian mencuci tangan. Almira mengambil susuu kedelai dalam lemari es, memberikan satu gelas pada Nyonya Wilson. "Aku bosan di rumah, pengen jalan-jalan." "Jalan-jalan terus, kapan mau ngurus masa depan? Kamu udah selesai kuliah, nggak berniat nyari kerjaan? Setidaknya kamu memiliki kesibukan, Al." Nyonya Wilson mengambil roti, kemudian mengolesi selai kacang ditambah parutan keju di dalamnya. "Selagi jodoh belum datang, jadilah wanita karier untuk membanggakan diri sendiri." "Malas, Ma." Nyonya Wilson mengerutkan kening. "Malas terus jawabannya. Perasaan Mama sama Papa rajin semua, nurutin ajaran siapa kamu jadi pemalas gini?" "Entah, aku emang sesat. Kayaknya aku butuh ketenangan, stress banget akhir-akhir ini." "Perasaan keluhan kamu selalu sama setiap hari. Nggak usah mikirin Daffa lagi, udah terbukti dia cowok nggak baik. Ngapain dibikin galau? Rugi kamu, dianya biasa aja. Malah bahagia tanpa ingat kamu." Almira menopang dagu, meminta satu gigitan roti Mamanya. "Daffa cinta pertama aku, Ma. Hubungan kami juga berjalan lama, bertahun-tahun. Wajar kalau aku syok, galau, dan merasa nggak terima. Apalagi Mama tahu kalau aku udah ngelakuin banyak hal untuk dia, termasuk support modal dalam usahanya. Dia cowok nggak tau diri kan ya, Ma? Atau aku yang malah terkesan goblokk?" "Dua-duanya betul. Harusnya kamu lebih pandai mengatur diri dan perasaan. Sudah berkali-kali Mama bilang, jangan lupa diri. Cinta boleh, tapi jangan bodohh. Waktu kamu berharga, masa depan kamu masih panjang, cowok juga bukan si Daffa aja. Setiap hubungan itu pasti akan berakhir, entah ke pelaminan atau sekadar jadi tamu undangan. Kamu harus siap menerima segala kemungkinan buruknya. Sedih itu boleh, wajar juga kalau kamu sakit hati. Tapi itu sudah hukum alam, Al. Setiap orang yang berani jatuh cinta, harus siap jika nantinya patah hati." "Aku terlalu mikirin senangnya, lupa kalau hubungan juga bisa berakhir dengan tragis. Nyesel pun udah nggak guna, Daffa emang minta disepak akal sehatnya. Mungkin karena sama aku nggak dapat jatah, makanya sampai ngehamilin cewek lain. Brengsekk!" "Move on dong, lupakan segala kenangan sama dia. Nggak perlu menoleh ke belakang, sekarang di hadapan kamu banyak kebahagiaan yang lebih menyenangkan." Nyonya Wilson mengusap punggung anaknya, tersenyum memberikan semangat. Paham sekali soal percintaan anak muda. Almira menaikkan bahunya. "Entahlah, Ma. Enak kayak Hana juga, dia jomblo abadi dari dulu." "Dan lihat masa depan dia, mulai terbentuk rapi. Hana mah nggak pusing soal cowok, kamu harusnya ngikut jejak dia." "Harusnya sih iya, tapi masih malas. Nanti aku mau tinggal ke Bogor ah, nginep di rumah sana untuk beberapa waktu." "Ngapain? Tumben!" Nyonya Wilson memicingkan matanya tajam. "Nggak perlu melihat perkembangan Daffa dan istrinya di sana, ngapain ih?" Almira menggeleng tegas. "Bukan itu. Tapi aku kenal satu keluarga di sana loh, baik banget." "Jangan sembarangan kenal orang, nanti bahaya. Mama sama Papa jauh di sini, kadang juga keluar kota. Gimana bisa jagain kamu?" "Kayak aku bakal diculik orang aja. Aku udah besar, bisa bedain mana yang baik dan enggak. Lakian mereka keluarga taat agama, punya pesantren juga." Nyonya Wilson berhenti mengunyah, menatap Almira serius. "Kamu mau masuk pondok pesantren? Mama setuju kalau itu. Papa juga pasti setuju banget." "Nggak ih, siapa bilang? Nggak cocok aku jadi anak pondok, nggak ada kelihatan kalem dan anggunnya. Aku hobi mabuk, pergaulan bebas, dan masih suka pakai baju seksii. Nggak usah, nanti buat rusuh di tempat orang." "Belajar dong, Sayang. Siapa tahu anak Mama jadi ustadzah." "Halah, kejauhan hayalannya deh!" Almira memutar bola mata malas. "Aku ke kamar dulu deh, mau mandi sebentar. Dari pagi belum mandi, untung selalu kelihatan cantik." "Kelakuan anak itu!" Nyonya Wilson geleng-geleng kepala. Andai saja Nyonya Wilson selalu memiliki waktu untuk bercerita seperti ini, mungkin pergaulan Almira tidak terlalu bebas di luaran sana. Dia sering kesepian, makanya terbiasa mencari kesenangan dengan caranya sendiri--entah itu baik atau tidak. Anak itu butuh banyak perhatian untuk mengerti bagaimana berharganya waktu bersama keluarga, agar dia juga tahu betapa besarnya rasa cita orangtua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD