Tak seperti hari biasanya, hari ini Elise datang menjemput Luna. Mengajaknya untuk berangkat bersama-sama ke sekolah. Luna pun disuruh untuk tidak menaiki sepeda, melainkan naik mobil bersama Elise.
Sahabatnya itu baru saja dibelikan mobil baru. Untuk merayakannya, gadis itu mengajak Luna untuk ikut menaikinya bersama teman-teman yang lain.
Luna agak canggung karena kondisi mobil yang sungguh masih mengkilap. Ia jadi was-was sendiri untuk tidak menggoreskan apa pun.
"Apa kau tak apa membawa mobil ke sekolah?" tanya Luna, mencoba mengusir keheningan dalam perjalanan menuju Poly Prep.
Elise mengangguk. "Why not? Aku cukup percaya diri saja membawa mobil ini ke Poly Prep."
"Nope. Khawatir saja jika mobil ini nantinya kena kejahilan cheers." tukas Luna.
"Soal mereka, aku sudah menyiapkan kartu As-ku. Don't worry."
Lalu hening. Keadaan yang paling sering menghinggap di antara mereka.
Luna teringat soal Shane, cewek itu memintanya untuk menjadi teman. Ia belum mengatakannya pada ketiga sahabatnya. Mungkin sedikit takut saja jika ketiganya justru marah dan menolak Shane begitu keras. Yang akhirnya juga akan menyakiti hati Shane nantinya.
Elise berdecak beberapa kali, "Semua perempuan cheerleader itu memang sampah."
Spontan, Luna menoleh, "Siapa bilang?" ia menatap Elise cukup tajam, "Ada satu di antara mereka yang tidak seperti itu."
"Kau tahu apa, Luna? Jangan percaya sedikit pun dengan mereka," bantah Elise dengan alis naik sebelah.
Luna menggeleng, "No, I'm serious now."
"Luna, mereka sudah mengacak bangkumu, sudah merobek semua buku catatanmu, dan kau bilang ada dari mereka yang tidak seperti itu? Bullshit!" Elise mulai emosi.
Luna pun memilih untuk diam dari pada suasana menjadi kacau. Ia mengerti kenapa Elise sangat membenci cheerleader, menganggap mereka semua sangat tidak manusiawi dan sok berkuasa. Menindas murid nerd, merasa paling cantik, menggaet para wanted, dan selalu merendahkan orang lain.
Tetapi, Elise tidak mau percaya bahwa di antara para cewek itu, ada satu yang malah menganggap geng-nya sungguh bitchy. Tidak cocok dengan gaya hidup mereka dan malah meminta berteman dengan siswa biasa.
Shane Cowell.
***
"Smart boy. Kenapa bisa kebetulan sekali, ya? Ulang tahun adik sepupumu sudah dekat dan kau kebingungan cari kado, akhirnya mengajak Luna untuk hunting. What a tricky boy, huh." puji Steven kemudian bersiul jahil.
Brian tersenyum lebar, merasa bangga dengan dirinya sendiri, "Yeah, aku sangat menantikan sore hari. Kesempatanku untuk mengenal Luna lebih dalam."
"Saking cintanya dengan Luna," Ledek Thomas, sibuk sendiri mengunyah permen karet.
Sebelum Brian memprotes ledekan Thomas, tiba-tiba Isabelle memeluk lehernya dari belakang dengan manja. Membuat mereka langsung menjadi pusat perhatian di kantin sekolah.
"Hey, what are you doing?!" Seru Brian sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Isabelle.
Isabelle meletakkan dagu di pundak kanan Brian, "I miss you, babe. Ayolah, bisakah kita memperbaiki hubungan untuk pertama dan terakhir kalinya? Aku tak bisa hidup tanpamu."
"Dalam mimpimu!" dalam sekali sentakan, Brian berhasil bebas dari pelukan Isabelle dengan napas memburu.
Keenam sahabatnya geleng kepala.
"What a freak girl." gumam Jeff.
"Poor Brian." Ledek Thomas setelah balon permen karetnya meletus.
"Jika aku menjadi Brian, aku sudah membuang perempuan itu jauh-jauh." Ujar Jack.
"Agree, me too." Timpal Samuel setuju.
Steven dan Brandon malah ketiduran dengan kepala menelungkup di meja, saking lelahnya melihat tingkah Isabelle yang begitu menjijikkan bagi mereka berdua.
Isabelle menoleh dengan wajah kesal, "Apa yang kalian bicarakan?! Urus hidupmu sendiri!"
Jeff menggelengkan kepala dengan mata tertutup, efek dramatis, "Bagaimana bisa kau tahan dengan wanita seperti ini, Brian?"
Brian menoleh dengan raut jijik, "Harus berapa kali kubilang kalau aku bukan pacar maupun bekasnya?!"
"Babe, kamu kok ngomong begitu? Kamu pernah bilang kalau hanya aku lah yang paling membuatmu bahagia," Raut ketua cheerleader itu seperti akan menangis.
Brian berdecak, "Kapan? Mungkin kau bermimpi terlalu tinggi, bangun dari mimpimu, nona—ah atau lebih tepatnya nyonya muda."
Ucapan Brian sukses memukul batin Isabelle begitu keras dan telak. Gadis itu sudah tidak perawan, bukan nona lagi. Dengan wajah memerah antara menahan malu dan marah, Isabelle pergi dengan langkah cepat.
Memalukan.
Luna, Bianca, Rebecca, dan Elise menyaksikan semuanya sejak awal. Elise tersenyum sinis melihatnya, rasa senang dan lega memenuhi rongga dadanya. Tak ada yang lebih membahagiakan baginya ketika melihat Isabelle dipermalukan sekeras itu. Rebecca sendiri cuek saja, sama seperti Luna. Sedangkan Bianca, hanya memasang wajah polosnya.
Rebecca menoleh ke Elise. "Kau terlihat bahagia sekali, huh?"
Elise tersenyum semakin lebar. "Oh ayolah, semua anak di sini pasti akan bahagia melihat Isabelle dipermalukan seperti tadi."
"What a evil girl." gerutu Rebecca namun tak digubris oleh Elise.
Dari sudut matanya, Luna dapat melihat sosok Shane berdiri di lorong kelas sebelas, menatap ke arahnya. Luna menganggukkan kepalanya saat ketiga sahabatnya sibuk mengoceh sendiri. Tak sampai lima detik, Shane melangkah pergi.
Dalam hati, Luna yakin bahwa kemarin Shane benar-benar mengatakan kejujuran. Ia terima saja jika Shane menjadi teman barunya, yang jadi masalah adalah persetujuan dari ketiga sahabatnya, terutama Elise. Bianca yang polos pasti malah akan melompat senang ketika mendengar kata 'teman baru'. Rebecca juga akan cuek-cuek saja.
Elise lah masalah utamanya.
***
Luna fokus menatap Mrs Prios menerangkan pelajaran Sains di depan kelas. Tangan kanannya menggenggam pulpen, mengetuknya berulang kali di sudut meja secara perlahan. Sedikit bosan karena materi yang dijelaskan telah ia pelajari lebih awal.
Saat Mrs Prios menghadap ke papan tulis untuk menuliskan pokok materi, sebuah bola kertas kecil jatuh ke meja Luna dari samping kanan. Alis Luna naik sebelah, dibukanya kertas kecil yang telah remuk menjadi bola itu.
I wonder you're bored right now, right miss jenious?
Luna melirik bangku sebelah kanannya, Brian duduk di sana dengan tangan bersedekap di d**a, santai dan cuek sekali dengan pelajaran.
Luna menghela napas, membalas surat kecil Brian.
None of your business.
Brian tersenyum kecut membaca pesan balasan dari Luna. Singkat, padat, cuek, dan amat datar. Perempuan unik bersikap dingin yang berhasil membuatnya tertarik untuk mengenal lebih dalam lagi dan lagi. Sampai Brian berhasil menemukan setitik kehangatan dalam diri Luna.
Brian kembali melempar bola kertas itu ke meja Luna.
Don't be so cold like that. We're SO bored right now. Hey, I have an idea, we can talk to each other with use some paper. It will be fun, better than feel so bored like before.
Ide bagus, Luna akui itu. Tetapi resikonya kelewatan bahaya jika sampai dipergoki oleh Mrs Prios. Jika saja pelajarannya sekarang bukan sains, Luna akan menyetujui ide Brian.
Untuk sekarang, ia harus berpikir dulu berulang kali.
Lima belas menit berlalu. Luna mengabaikan Brian, kertas kecil itu hanya ia lipat dan diselipkan di buku tulisnya. Brian yang melihatnya pun kesal sendiri. Ia sengaja mengirim pesan kecil ke Luna, mengajaknya untuk ngobrol lewat surat. Lebih mengasyikkan ketimbang melihat Mrs Prios menerangkan pelajaran membosankan di depan sana.
Brian menyentuh pinggir meja Luna, menumpukan badan karena mencondongkan diri ke Luna. "Kenapa kau tidak membalasnya?"
Luna menoleh ogah-ogahan. "Why not?"
"Tentu saja, Luna! Kau ingin aku mati kebosanan di sini?!" Brian melotot.
Luna kembali fokus ke depan kelas. "None of my business."
"What-"
"Mr Westlake, sepertinya kau sudah sangat merindukan lari keliling lapangan basket, ya," Mrs Prios menegur dengan wajah datar, namun tatapannya kelewat tajam.
Brian menoleh, posisinya masih belum berubah. "A-Ah, yes? What're you say?"
Mrs Prios geleng-geleng kepala dengan helaan napas lelah. "Aku akan cepat menua jika terus berdebat denganmu, Westlake. Lari keliling lapangan basket!"
Brian mengerang malas dengan volume keras, membuat Mrs Prios semakin melotot kepadanya. Dengan langkah malas, kapten tim basket itu keluar dari kelas.
Luna ingin tertawa. Demi menjaga image, ia menggigit lidahnya sendiri.
***
Luna membuka kotak bekal berisi roti isi buatannya tadi pagi, lengkap dengan s**u kotak dingin yang baru saja dibelinya di kantin. Shane sendiri bersiap meminum jus stroberi kemasan kotak di sebelah Luna. Akan ia minum bersamaan dengan Luna yang akan mulai memakan roti isi.
Mereka duduk di atap sekolah, memperhatikan pemandangan sekolah dari atas beserta padatnya perkotaan di depan sana.
"Apa kau selalu membawa bekal setiap hari?" tanya Shane, matanya memicing sebelah.
"Not really." jawab Luna sekenanya.
Selesai berdoa, Luna mulai memakan roti isinya dengan novel di pangkuannya. Shane pun mulai meminum jus stroberi kesukaannya.
"Sepertinya aku akan susah bergabung dengan kalian, ya?" tanya Shane, pandangannya menerawang ke langit yang sedang begitu cerah.
"Entah. Yang paling susah adalah Elise," jawab Luna.
Shane terkekeh sekilas. "Yeah, I know that. Dia sangat membenci cheers."
"Aku sudah menjelaskannya. But, she doesn't believe me."
"It's okay. Aku mengerti dengan perasannya tentang perempuan cheers."
"One day, kau akan berdiri di antara kami berempat. Cheer up." Luna mendukung.
Shane tersenyum mendengarnya.
***
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring ke seluruh penjuru sekolah. Membuat para siswanya bersorak senang. Setelah guru keluar, para murid langsung berteriak kencang mengajak teman masing-masing pergi hang-out ke berbagai tempat. Namun yang paling populer adalah tiga tempat ini ; restoran, cafe, dan mall.
Luna merapikan seluruh buku dan peralatan tulis di mejanya, bersiap kabur dari Brian yang sudah menatapnya seperti mangsa buruan. Setelah ia menenteng tas ransel di pundak kanannya, diliriknya bangku Brian, cowok itu berceloteh dengan ketua kelas.
Kesempatan itu tidak dibuang sia-sia oleh Luna, ia langsung lari sekencang rusa. Membuat seisi kelas menatapnya heran padanya yang tak pernah berperilaku seperti itu. Brian yang menyadari bahwa Luna berniat kabur pun turut serta lari keluar kelas.
Tak peduli bahwa dua jam yang lalu ia telah berlari lima puluh kali keliling lapangan basket.
"Luna!!" teriak Brian memanggil Luna.
Luna tidak peduli, ia terus berlari.
Bukan kapten basket namanya jika Brian tidak bisa menangkap Luna yang hanya seorang perempuan biasa. Belum semenit, cowok itu sudah menangkap Luna, langsung membopongnya seperti karung bekas dalam sekali gerakan.
Membuat mereka langsung menjadi pusat perhatian di koridor kelas. Secara, mereka penyandang murid teladan jenius kesatu dan kedua.
"What are you doing, i***t?" tanya Luna datar, tak terlihat marah maupun kesal. Namun aslinya, ia sudah ingin memukul kepala Brian memakai novel di genggamannya.
"Shut up, ini salahmu yang mau kabur dariku." jawab Brian santai-santai saja, membawa Luna ke mobilnya yang terparkir di parkiran sekolah.
Para sahabat Luna dan Brian melongo melihat kejadian itu dari ujung koridor.
"Hey, itu Luna mau dibawa kemana?" tanya Bianca panik sendiri dengan wajah polosnya.
Rebecca mematung di tempat. "Aku tak pernah tau, jika mereka ... sudah sedekat itu."
"Kau saja yang kurang pergaulan, bayi chihuahua." ledek Steven tepat di belakang Rebecca.
Rebecca langsung balik badan, raut kesal terpampang di wajahnya. "Aku sudah cukup menahan diri untuk tidak menceburkanmu ke samudra pasifik, Sorensen!"
Elise langsung menggaet tangan Rebecca. "Okay, okay, that's enough. Let's go home."
"Aku belum selesai dengan Sorensen!!"
***
Di sinilah Luna berakhir dengan Brian, mall terbesar di New York. Luna menatap suasana mall yang subhanallah kelewatan ramai.
Sekarang musim panas. Baru jam tiga sore, matahari udah seperti sayang banget sama New York, nggak mau tertutup awan. Mall padat merayap. AC bertebaran tapi masih gerah. Dalam hati, Luna mengumpat.
"Ini sudah seperti kotoran kuda, aku mau pulang." Luna kesal.
Luna. Yang terkenal dingin. Sekarang kesal. Di hadapan Brian. Fenomena telah terjadi.
Brian mencekal tangan Luna. "Wait, you can't just going home like that. Kau sudah berjanji untuk menemaniku mencari kado."
"I change my mind." Balas Luna.
"Kau Directioners ? Astaga, masih sempat-sempatnya mengutip lagu Change My Mind." Brian sedikit tertawa.
"Siapa Directioners ? Lepas, aku sudah nggak senang di sini." Luna sedikit mendelik tajam.
Brian menggandeng erat tangan Luna, mulai mengajaknya berjalan. "Cemberut terus. Kita sudah terlanjur di sini ya dinikmati saja."
Luna kesal. Dalam hati ia sudah ingin menabok Brian habis-habisan jika saja mereka tidak berada di tempat umum.
Brian mengajaknya ke berbagai tempat. Toko aksesoris perempuan, toko baju, toko sepatu, toko tas, bahkan ke game center. Jujur saja, dari pada mencari kado, Brian seolah mengajaknya bermain-main saja di mall. Buktinya, cowok itu memaksa Luna untuk bermain dance dance revolution, tapi bukan Luna namanya kalau nggak menolak.
"Untuk pertama dan terakhir kalinya saja, Luna. Ayo main itu bersamaku." ajak Brian, kekeuh untuk tetap memaksa Luna bermain dance dance revolution.
Luna menggeleng. "No."
Brian memelas. "Luna…, oh please Luna Robertham Handerson."
"Big no." Luna tetap menolak.
Brian mendengus sebal. "Okay, aku akan menyatakan perasaan kepadamu di tengah lapangan, dilihat oleh seluruh siswa satu sekolahan, jika perlu aku akan selalu bilang 'I love you so much' melalui speaker ke seluruh sekolah."
"You gotta kidding me. Lakukan saja jika kau serius." Balas Luna meremehkan ancaman Brian.
Ia tak tahu, sebaris balasannya pada ancaman Brian adalah awal mula kesengsaraan hidupnya di sekolah.