New York, Amerika Serikat
Pagihari di New York, kota yang tak pernah kenal lelah. Seorang perempuan berambut brown melangkah keluar dari rumahnya menuju sekolah dengan menaiki sepeda. Kulit putih, bibir kecil, hidung mancung, dan rambut cokelatnya yang indah. Tak heran ia cukup menarik perhatian para lelaki di sepanjang jalan.
“Good Morning, Luna!” sapa seorang perempuan ketika ia selesai meletakkan sepedanya di tempat parkir sekolah.
Perempuanberambut cokelat indah yang menjadi pemeran utama bernama Luna itu menoleh. “Morning, Elise.”
“Bagaimana liburanmu? Aku masih tak percaya kita sudah memasuki semester dua!”
Luna mengedikkan bahu. “Nothing new.”
Wajah Elise yang semangat seketika merengut. “Oh, I forgot that everyday is Monday in your life.”
Luna hanya terkekeh kecil. Memberikan respon sedatar itu membuat Elise mencak-mencak. Yeah, mereka tidak searah. Elise yang hiperaktif, Luna yang introvert. Dalam hal apa pun, mereka tak pernah sejalan. Jangan tanya kenapa mereka bisa tetap berteman selama lima tahun. Luna sendiri merasa heran. Apa lagi Elise.
“Omong-omong, kita satu kelas lagi?” tanya Luna ketika melirik papan pengumuman dikerubungi siswa. Mengecek kelas mana yang akan mereka tempati masing-masing.
“Kenapa? Kau tak suka sekelas lagi denganku?” Elise merapikan anak rambutnya, “Aku tak pernah mengganggumu di kelas. So, bear with me, will you?”
“Oh oh, hidupku akan kacau lagi,” ujar Luna meledek Elise.
“Whatever! Yang jelas—“
“WHOA, BRIAN!”
“IT’S BRIAN, GUYS!”
“FINALLY I CAN SEE THEM AFTER A LONG WEEKEND. BLESS MY EYES!”
Netra Elise dan Luna segera tertuju pada segerombol lelaki jangkung dengan wajah keren mereka yang berhasil menghipnotis siswi satu sekolah. Tak ada yang spesial, mereka hanya berjalan santai sambil berbincang layaknya anak biasa. Tapi anehnya, keberadaan mereka membuat para siswi menjerit histeris.
“Here we go again, the seven ‘princes’ of Poly Prep Country Day School,” cibir Elise tak suka.
“Mereka tim basket sekolah, ‘kan?” tanya Luna datar, tak sedikit pun terhipnotis oleh pesona ketujuh lelaki tersebut.
“Yap. Jika saja mereka bukan anak yang suka buat onar, aku sudah pasti jatuh hati pada mereka. Bad boys it’s not my type at all.”
Luna melanjutkan langkahnya menuju kelas. “C’mon, Elise. Aku tak mau bilang ke Mr. Jonny alasan kita terlambat di kelasnya hanya karena melihat gerombolan itu.”
***
“Good morning, everyone! Kumpulkan tugas kalian yang sudah saya berikan kemarin,” titah Mr. Jonny, guru Matematika, dengan wajah tidak bersahabatnya seperti biasa.
Para murid lekas mengumpulkan buku tugas mereka dengan cepat. Sedangkan di bangku pojok kelas, Luna kelabakan. Ia mengeluarkan seluruh isi tasnya dengan kasar serta terlihat panik. Buku tugasnya tak ada.
“Is something wrong, Luna?” tanya Elise setelah mengumpulkan tugasnya di meja guru.
Luna menyentuh keningnya, gusar. “Sepertinya, aku lupa membawa tugasku. Great, I’m gonna death.”
Elise melotot. “What?!”
Teriakan Elise membuat seluruh murid menatap Luna serta Brian yang sejak tadi bolak-balik bongkar tas masing-masing. Iya, Brian Westlake, kapten tim basket sekolah yang terkenal keren. Lelaki keren itu sekelas dengan Luna. Tempat duduk mereka pun bersebelahan.
“Miss Handerson, Mr. Westlake, what’s wrong? Sepertinya tugas kalian tak ada di meja ini,” tegur Mr. Jonny dengan wajah makin tidak bersahabat.
Brian mengembuskan napas kasar. “Sorry. I forgot my task.”
Luna menghela napas. “Me too.”
Seketika satu kelas dibuat melongo termasuk Mr. Jonny. Tidak pernah menyangka jika dua siswa paling jenius di sekolah itu bisa melakukan kesalahan sepele tersebut. Hal ini tak pernah terjadi sejak Brian dan Luna menginjakkan kaki di High School. Dengan otak jenius mereka, tak ada satu pun kelemahan di semua mata pelajaran dalam catatan sekolah mereka.
Tapi sekarang, dengan mengejutkannya, mereka kompak lupa tidak bawa buku tugas.
“Saya tidak pernah berpikir kalian berdua bisa bersikap tidak disiplin seperti itu. Berdiri di lapangan sampai jam istirahat tiba!” perintah Mr. Jonny tak terbantahkan.
Dengan langkah gontai, dua siswa jenius itu keluar dari kelas menuju lapangan atletik. Mereka berdiri di tengah lapangan saat panas matahari mulai menyengat. Sebenarnya yang melangkah gontai hanya Luna, sementara Brian justru santai-santai saja menerima hukuman itu tanpa terlihat bersalah.
Sesuai perintah Mr. Jonny, Brian dan Luna berdiri di tengah lapangan atletik. Hal itu akan berlangsung selama satu jam menuju bel istirahat makan siang. Untungnya Luna sudah sarapan, jadi kemungkinan ia bisa pingsan tak terlalu besar.
Suasana sungguh hening dan awkward di antara Brian dan Luna. Dua siswa paling jenius itu memang tidak akrab meskipun duduk bersebelahan di kelas. Sekadar basa-basi saja tidak.
Brian yang dasarnya gampang bosan pun mencoba memulai obrolan. Hitung-hitung mencoba melupakan panasnya matahari menyengat kulit.
“Hei, Luna. Kita duduk bersebelahan tapi belum pernah mengobrol, ya,” ujar Brian sesantai mungkin.
“Hei.” balas Luna. Sesingkat itu.
Buntu sudah. Inilah satu hal yang membuat Brian tak bisa akrab dengan Luna. Sifat mereka berbanding terbalik. Brian si rusuh, ekstrovert, dan humble. Sedangkan Luna si dingin, introvert, dibilang nerd juga bisa, dan serba datar.
Kalau saja Brian seorang perempuan, mungkin saja tanggapan Luna lebih bersahabat. Seperti sikap Luna terhadap Elise yang sifatnya tidak berbeda jauh dengan Brian.
“Aku tak menyangka kita bisa kompak lupa membawa tugas. Jujur saja, ini kecerobohan pertamaku sejak masuk sekolah ini,” ujar Brian masih berusaha mengajak Luna mengobrol.
Luna menoleh sejenak pada Brian. “Kurasa hari ini Dewi Fortuna tidak memihakku. Aku tak pernah mau terjebak hukuman bersamamu.”
Brian cukup tercengang mendengar penuturan Luna yang terkesan tajam. Padahal ini pertama kalinya mereka mengobrol meski hanya berbasa-basi.
“Oh, I see. Anyway, you don’t have any other friend besides Elise Redgard? Sejauh ini, aku belum pernah melihatmu berbicara dengan anak lain selain Elise,” tanya Brian mengubah topik. Dengan harapan tanggapan Luna lebih bersahabat dari sebelumnya.
“Yeah, she’s my bestfriend since junior high school.” jawab Luna seperlunya lagi.
Brian berdecak kesal. Merasa percuma mengobrol dengan Luna untuk melupakan sengatan sinar matahari. “Ck, Pak Tua beruban itu memang s****n. Panas ini membunuhku.”
“Berhenti menggerutu. Tak akan ada yang berubah sekalipun kau terjun dari atap sekolah, hukuman ini berlaku satu jam.” Tukas Luna kemudian menundukkan kepalanya. Menghindarkan wajahnya dari terpaan sinar matahari.
Brian tidak pernah suka suasana hening seperti ini. Ia ingin mengajak Luna mengobrol dengan santai hingga membahas apapun yang mereka inginkan, nyatanya susah sekali dilakukan. Brian seperti sedang berbicara dengan robot manusia yang tak punya perasaan.
“Say, Luna, kenapa sifatmu sedingin ini? Pantas saja tak ada murid yang mau mengobrol denganmu,” tanya Brian pada akhirnya. Tidak mampu menahan rasa gemasnya pada sikap tak acuh Luna.
“Penting bagimu untuk tahu? Kurasa aku tak punya kewajiban untuk memberitahumu.” jawab Luna tajam.
Brian cemberut, agak kesal dengan jawaban tajam Luna. “Tak bisakah kau bertingkah lain selain dingin?”
“I guess not.”
Lelah dengan tanggapan Luna, Brian mendengus kesal. “Yeah, whatever, miss cold.”
***
“You know what? Aku tidak berpikir bahwa Dewi Fortuna tidak memihakmu. I mean, c’mon, he’s Brian, guys! Brian Westlake! Orang zaman mana yang tidak mengenalnya?!” seru Rebecca berlebihan.
“Agree. Semua perempuan rela menukarkan kepalanya demi bisa dekat-dekat dengan pria atletis itu,” timpal Bianca sambil menyeruput lemon tea.
“Kalian tahu sendiri bagaimana reaksi perempuan satu kelas setelah Luna dan Brian keluar dari kelas. Dewa Neptunus, sangat berisik!” keluh Elise sambil memakan sandwich favoritnya.
Luna hanya diam mendengarkan obrolan ketiga sahabatnya. Saat ini memasuki jam istirahat, jadi ia bisa pergi ke kantin bersama ketiga sahabatnya sekaligus menyudahi hukuman dari Mr. Jonny.
Tentang Brian, lelaki atletis berwajah baby face itu sekarang sedang duduk di sudut kantin bersama keenam sahabatnya. Satu geng berisi anak basket, laki-laki keren, jenius, dan tentu saja most wanted. Sempurna. Nafsu makan Luna menghilang seketika.
Teringat satu jam hukumannya bersama Brian yang amat menyebalkan.
“Dari dulu aku selalu bertanya-tanya, kita ini perempuan normal, nggak? Aku yakin seratus persen hanya kita saja yang tidak tertarik dengan geng itu,” celetuk Rebecca.
Bianca, Elise, dan Luna mendesah malas seraya memutar bola mata jengah. Itu fakta. Dari awal mereka bersekolah di Poly Prep, bertemu geng cowok-cowok sempurna itu, tidak ada reaksi berarti dalam diri mereka. Netral. Tanpa ada kesan tertarik atau menyukai.
Berbeda dengan ratusan perempuan di sekolah yang justru bertekuk lutut melihat ketujuh cowok tersebut. Luna yakin, mereka akan menyerahkan diri begitu saja jika ketujuh cowok itu meminta berhubungan s**s.
“So, what a big deal? Kita masih perawan di umur hampir 18 tahun, Barack Obama akan protes? Nope.” Tukas Elise santai.
“Yeah, right,” timpal Luna dan Bianca bersamaan.
Keadaan kantin yang ramai karena keberadaan geng nomor satu itu pun membuat Luna dkk lekas menghabiskan makan siang mereka. Tak nyaman bagi mereka untuk makan di tempat seberisik itu. Jadi, setelah menghabiskan makan siang, mereka segera melangkah keluar dari kantin dengan perasaan sedikit jengkel.
“Hei, Brian. Luna yang berambut brown itu, ‘kan?” tanya Steven yang sedari tadi memerhatikan gerak-gerik Luna dan kawan-kawannya.
Brian berdeham. “Ya. Aku berani bertaruh kalian tidak akan tahan dengan sifat dinginnya.”
Thomas terkekeh pelan. “Wah, wah, sejak kapan kau peduli dengan seorang perempuan? Terlebih, ini si nerd yang kita bicarakan, Luna Robertham Handerson.”
“Setidaknya itu lebih baik ketimbang aku yang selalu bertengkar dengan Rebecca. Perempuan berambut cokelat kemerahan yang bersama Luna barusan.” Celetuk Steven.
“How about Isabelle? Jangan katakan jika kau benar-benar membuangnya,” tanya Jeff.
Brian tertawa sinis. “Kalian sendiri yang mengira aku punya hubungan dengan perempuan itu. Tidak sama sekali, bodoh.”
“Hah, dasar kau baby face bermuka dua,” ledek Samuel.
“Kita semua pun tahu jika di antara kita, kau yang paling diincar seluruh perempuan Poly Prep.” Tutur Jack.
“Atau lebih tepatnya sembilan per sepuluh saja. Dilihat dari sini saja aku sudah tahu bahwa Luna dan kawananya itu sama sekali tidak tertarik pada kita,” ralat Brandon.
Ralatan dari Brandon membuat seluruh sahabatnya langsung menoleh.
“What? That’s the fact. Kilatan mata mereka saja sudah membuatku yakin,” ujar Brandon.
“Gara-gara ucapan bodohmu, aku mulai penasaran dengan Luna,” tukas Brian sambil menyeringai.
“Apa lagi? Jangan bilang kau ingin mengambil hatinya,” tanya Steven.
“Nope. Kalian lihat saja bagaimana kelanjutannya.”
Keenam sahabatnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah usil Brian kumat.
***
Pelajaran Fisika oleh Mrs Stephanny. Luna dengan kelompok belajarnya sedang mempresentasikan hasil kerja kelompok mereka yang diberikan oleh Mrs Stephanny minggu lalu.
Seisi kelas terfokus pada layar proyektor yang menampilkan slide show hasil tugas kelompok Luna. Luna sendiri sedang menjelaskan materi presentasi dengan serius. Tampangnya sangat kaku dengan bibir yang terus mempresentasikan hasil penelitian. Berbeda dengan batinnya yang merasa muak.
Di pojok sana, bersebelahan dengan bangkunya, Brian terus menatapnya dengan intens. Terlihat dengan jelas bahwa lelaki itu tidak memedulikan penjelasan panjang lebarnya tentang penelitian Fisika. Hal itu mengganggu konsentrasi Luna.
“Hei, apa ini hanya perasaanku saja atau memang Brian terus menatap Luna seolah ingin menelanjanginya?” tanya Rebecca sedikit mencondongkan diri ke kanan, berbisik pada Elise.
Elise melirik Brian sejenak. “I dunno. C’mon, bahkan kita tahu bahwa Brian memang tipikal laki-laki usil. Dan perlu ditegaskan lagi bahwa dia straight, m***m itu wajar.”
“Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Brian cukup cocok dengan Luna,” tukas Rebecca yang membuatnya mendapat tatapan tajam dari Elise.
“Don’t be ridiculous. Mereka jauh, bagaikan langit dan bumi.”
“Miss Redgard dan Miss Huntley, jika kalian berdua tidak berminat pada pelajaran saya, silakan keluar. Pintu terbuka lebar.” Tegur Mrs Stephanny dengan delikan tajam dilemparkan pada Rebecca dan Elise.
Bianca memutar badan ke belakang, manatap kedua sahabatnya bergantian. “Jangan berisik. Luna sedang berperang batin di depan sana dan kalian ramai di sini? Setelah ini Luna pasti akan mencincang kalian.”
Elise dan Rebecca mendengus sebal sebelum kemudian membenarkan posisi duduk mereka, kembali terdiam mendengarkan Luna yang seperti tidak lelah berpresentasi di depan kelas hampir selama sepuluh menit.
Laki-laki cerewet itu kemasukan iblis? Sejak awal aku berdiri di sini dan dia tidak berhenti menatapku secara m***m. Oh My God, lindungi aku, batin Luna.
***
Bianca, Elise, dan Rebecca berdiri berdampingan sambil melirik Luna dengan ekor mata mereka. Bingung bagaimana menghadapi situasi awkward sekaligus penarik perhatian di koridor sekolah. Luna sendiri hanya berdiri menatap ke depan dengan wajah super datarnya seolah tak terjadi apa pun.
“So? What do you want?” tanya Luna memecah keheningan.
Di hadapannya, tengah berdiri ketujuh lelaki most wanted Poly Prep. Singkatnya, Brian dan para sahabatnya.
Steven menampakkan cengiran khasnya. “Jangan kaku begitu, Handerson. Kami ke sini tidak berniat aneh-aneh.”
Rebecca melempar tatapan tajam pada Steven. “Aku meragukan itu, Steven Sorensen. Semua kelakuanmu selalu disertai niat aneh seperti otak miringmu itu.”
“Whoa, whoa, kau yakin sekali, bayi Chihuahua. Lebih baik jangan mengajakku berdebat untuk saat ini, sweety,” Steven tergelak begitu saja. Suara tawanya memuakkan Rebecca.
Elise menghela napas panjang. “For God sake, bisakah kalian lebih cepat? Kami benci menjadi pusat perhatian seperti ini, bodoh.”
Brian terkekeh. “Kami hanya ingin memberitahu bahwa besok aka nada turnamen basket antara Poly Prep dengan sekolah lain. Kami ingin memberikan tiket gratis ini pada kalian.”
Alis Elise naik sebelah, raut sinis terpampang di wajah imutnya. “Atas dasar apa kalian memberi kami tiket penonton turnamen kalian secara gratis? Yang bahkan seingatku, kami tak pernah berhubungan apa pun dengan kalian sejak awal menginjakkan kaki di Poly Prep,” Elise menyibakkan rambutnya yang menutupi bahu kanannya, “aku yakin tiket itu sangat mahal.”
“Lalu apa masalahnya kalau kami memberikannya secara cuma-cuma pada kalian? Kalian tinggal pilih terima atau tidak. Jika terima, besok kalian harus datang menonton. Jika tidak, tentu tidak perlu datang. Take it or leave it, simple right?” celetuk Thomas yang sedari tadi memantulkan bola basket di tangan kanannya.
Bianca merapat pada Luna dengan wajah takut-takut. “Luna, I’m scared. Let’s get out of here.”
Luna juga sudah jengah sejak awal. Ia merasa heran. Kenapa gerombolan most wanted ini tiba-tiba sok akrab dengannya dan para sahabatnya pun ikut terseret. Padahal mereka tidak pernah mengganggu gerombolan itu. Sekadar basa-basi saja tidak sudi. Sungguh aneh.
Luna menyapu pandangannya ke sekitar mereka. Dirinya dan yang lain sudah menjadi pusat perhatian karena didatangi gerombolan paling s****n—baginya—itu.
“Sorry, we don’t have anytime for that. Step aside.” Tolak Luna tegas.
“Sudah kuduga Luna akan menolaknya mentah-mentah. Brian, what should we do now?” tanya Brandon dengan nada menjengkelkan.
“Listen you stupid seven boy! Kami tidak mau menghabiskan waktu di sini hanya untuk melihat tingkah menjijikkan kalian! Step. Aside.” Geram Rebecca yang sudah tidak tahan berlama-lama dipermainkan oleh ketujuh lelaki jangkung itu.
“Take it or leave it, sweety. Apa ketampanan kami membuat jalan pikiranmu melambat nona…, Huntley?” balas Thomas agak lama karena membaca nametag Rebecca yang terjahit rapi di bagian atas d**a kiri perempuan itu.
Samuel lantas menjitak kepala Thomas. “Bodoh. Tujuan awal kita tidak membiarkan mereka pergi tanpa membawa tiket itu.”
Thomas meringis kecil sambil mengusap kepalanya. “I knew that, flat face!”
Brian maju selangkah, mempersempit jaraknya dengan Luna. “Kau dengar ucapan Sam? Ambil ini dan kami akan membiarkan kalian pulang.”
“Pe-pemaksaan!” seru Bianca dengan raut takut bercampur malu. Perempuan pendek itu masih betah bersembunyi sekaligus merapat di punggung Luna.
Brian tersenyum miring. “Just shut up your mouth, little shy girl.”
‘Perintah’ dari Brian membuat Bianca kembali tutup mulut dan semakin bersembunyi di belakang Luna. Semua siswa Poly Prep pun tahu bahwa anak dari Menteri tersebut memang sangat pemalu dan penakut. Lihat saja, bahkan dia tidak berani berhadapan dengan laki-laki sebayanya.
Luna merasa sakit kepala menghadapi sikap pemaksa dan keras kepala para lelaki di hadapannya. Setelah berpikir keras dan menimbang-nimbang, Luna memutuskan menerima empat tiket turnamen itu dengan sangat terpaksa.
Luna mengambil tiket-tiket itu dengan kasar. “Oke, kami terima. Sekarang, menyingkir.”
Luna mulai berjalan setelah gerombolan itu membuka jalan. Tidak ragu berjalan dengan dikelilingi para cowok rupawan di sisi kanan-kirinya.
Rebecca dan Elise mengikuti Luna dan Bianca yang sudah berjalan lebih dulu menuju tempat parkir. Sedangkan ketujuh cowok tampan itu saling ber-high five ria dengan senyuman puas di wajah mereka.
***
“ARRRGGHH!! f**k for them!” teriak Elise dan Rebecca kesal.
Malam hari. Bianca, Elise, dan Rebecca datang menginap di rumah Luna untuk menumpahkan segala kekesalan mereka terkait ketujuh lelaki tengil tadi sore.
Mereka bisa puas berteriak sekeras mungkin. Di rumah sebesar itu, hanya ditempati oleh Luna, Lauren, dan beberapa asisten rumah tangga. Tak heran bila rumah Luna sering menjadi sasaran menginap. Luna sendiri sudah terbiasa dengan ketidakhadiran sosok ibu di rumah. Ibunya sangat workaholic hingga tak pernah ada di rumah.
“Diamlah kalian berdua. Lauren tidak menoleransi teriakan melengking,” tegur Luna yang serius membaca novel di atas ranjangnya.
Elise memukul boneka kelinci milik Luna dengan gemas. “Persetan dengan mereka! Aku tidak sudi datang menonton pertandingan basket tim s****n itu!”
“Setelah apa yang mereka perbuat tadi di sekolah dan menyuruh kita datang? f**k no!” Rebecca memakan roti isi dengan kesal, “lebih baik aku mati terbunuh oleh Matematika dari pada melihat pertandingan itu!”
“Kalian mengumpat sekasar apa pun, hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa besok kita harus datang menonton,” celetuk Bianca yang asyik menonton TV ditemani segelas cokelat panas.
Dan sekali lagi, dua perempuan yang paling terlihat urakan itu kembali berteriak kesal.
***
Suara berisik terdengar di salah satu rumah elite pada malam hari. Rumah Brian menjadi markas perkumpulkan bagi ketujuh cowok pemain basket di Poly Prep. Hal itu sudah biasa, apalagi jika hari libur. Rumah Brian akan langsung beralih fungsi menjadi hotel bintang lima.
“Seharusnya aku memotret wajah marah mereka. God, they’re so cute,” ujar Steven disertai tawa kecil.
“Jangan berani-berani, i***t. You don’t want to be hateful by them, right?” sahut Jeff sambil fokus bermain video game.
“Sungguh. Aku masih belum mengerti dengan rencanamu sekarang, Brian. Did you fall in love with that nerd, Handerson? Is that your reason for starting disturb her?” tanya Steven.
Brian menggeleng dengan tawa cukup keras. “No, I don’t like her. Maksudku, tidak suka dalam arti tidak jatuh cinta padanya maupun sejenisnya. Aku hanya mulai penasaran dengan perempuan itu. Yeah, you know what I mean.”
Sebaris kalimat sederhana yang mungkin menjadi awal kisah rumit mereka dimulai.
I don’t like her.