Janu telah siap untuk pergi ke acara seminar di Surabaya, ia berhasil pergi setelah semalam berhasil menyakinkan putra kecilnya agar tetap di rumah dan ia akan secepatnya kembali.
Janu dijemput oleh mobil utusan rumah sakit yang akan mengantarnya sampai ke bandara. Sebelum pergi, Janu menyempatkan diri untuk mencium pipi Zean.
"Papa pergi dulu, Papa janji akan pulang cepat dan membawa hadiah untuk Zean." Ucap Janu menatap putranya yang hampir menangis.
"Iya, Papa."
"Jangan nakal dan dengarkan kata Bi Nini, oke?" tutur Janu dijawab anggukan oleh Zean.
Bandara internasional Soekarno-Hatta, rombongan para dokter dari sebagai spesialis telah berkumpul, mereka semua sudah bersiap untuk menghadiri workshop wajib mereka setiap tahun.
Pengumuman keberangkatan terdengar, Janu segera masuk ke pintu gate bersama dokter yang lain. Ia duduk di kursi sesuai nomor tiket nya.
Perjalanan Jakarta-Surabaya memakan waktu yang tidak lama, yaitu kurang lebih 1 jam 30 menit. Ketika pesawat telah landing, ia bertemu dengan Andi yang juga akan workshop tahun ini bersamanya meski akan berbeda tempat.
"Nu, gimana Zean hari ini?" tanya Andi ketika keduanya sudah sama sama keluar.
"Hmmm seperti biasa," jawab Janu dengan nada biasa.
"Kau sudah menyiapkan materi untuk seminar nanti malam?" tanya Andi membuat Janu menatapnya.
"Jangan bertanya hal yang tidak perlu di tanyakan." Jawab Janu ketus.
Kesal sekali rasanya mendengar pertanyaan tidak penting Andi, entah mengapa pria itu suka sekali bertanya hal yang sudah ia tahu jawabannya.
"Nu, menurutmu aku sudah pantas menikah belum?" tanya Andi berbisik.
Janu menoleh, ia tersenyum sambil menepuk bahu Andi pelan. "Sudah, cepatlah menikah agar kau bisa berhenti menggangguku." Jawab Janu merubah nada bicaranya diakhir kalimat.
"Dan kau apa tidak mau menikah lagi?" tanya Andi berhasil membuat Jamu terdiam dengan wajah datarnya.
****
Universitas Airlangga Surabaya, tempat itulah yang menjadi workshop para dokter City Hospital dan dokter lain tahun ini. Materi sudah dipersiapkan oleh pemateri yang akan dipandu oleh dua orang moderator.
Materi tahun ini adalah Respiratorius, ilmu yang wajib diketahui oleh dokter maupun calon dokter tentang pernafasan dalam tubuh. Pemateri menyampaikan dengan detail sehingga membuat para audiens mudah mengerti.
Janu, duduk di kursi belakang. Ia mencatat beberapa poin pertanyaan dari materi yang ia dengarkan secara cermat, sesekali Janu juga akan mencatat beberapa hal penting yang akan menjadi poin nilai tambah di sertifikat nya.
"Baiklah, setelah ini saya akan membuka sesi tanya jawab, kepada para audiens dipersilahkan." Ucap moderator setelah pemateri selesai menyampaikan materinya.
Janu mengangkat tangannya, ia sudah sangat optimis untuk bertanya. Moderator menghampiri Janu lalu memberikan mic pada nya.
"Terima kasih sebelumnya atas materi yang begitu bermanfaat ini, Dokter Wijaya. Izinkan saya bertanya beberapa hal penting kepada anda." Ucap Janu membuka suara sebelum bertanya.
"Seperti yang anda katakan terkait emfisema, Apakah tingkat oksigen seseorang bisa menentukan tingkat keparahan emfisema yang dialami?" tanya Janu dengan tutur kata yang sopan dan baku.
Dokter Wijaya selaku pemateri menjawab pertanyaan Janu dengan singkat tetapi jelas, Janu puas dengan jawaban yang didapatkan, tak lupa ia ucapkan terima kasih sebelum pertanyaan lain datang dari para dokter mana saja.
Setelah selesai workshop, Janu memilih untuk langsung kembali ke hotel, ia sudah cukup lelah dan ingin istirahat sebelum melanjutkan aktivitas esok hari.
Janu pulang menggunakan jasa mobil yang disediakan oleh pihak Unair, kebetulan hotel tidak terlalu jauh hingga waktu yang ditempuh pun tidak terlalu lama.
Ketika di tengah perjalanan, mata Janu tanpa sengaja menangkap sosok seorang wanita yang entah mengapa menurutnya mirip dengan mendiang istrinya, ia terkejut ketika melihat wanita itu menyebrang jalan tanpa menoleh ke kanan dan kiri.
"Pak berhenti!" pinta Janu tiba tiba, hal itu tentu membuat sopir mobil terkejut.
"Ada apa Pak Dokter?" tanya sopir itu namun tidak dijawab oleh Janu.
Janu keluar dari mobil, ia berniat untuk membantu wanita itu tetapi terlambat. Sebuah mobil muatan melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan sedang, wanita itu hanya diam dengan tatapan kosong dan pendengaran yang tuli sehingga tak dapat mendengar suara klakson yang begitu besar.
"Hei, Nona!!!" teriak Janu kencang.
Kecelakaan tak dapat dihindarkan, wanita itu terpental cukup jauh dari posisinya dan tanpa sengaja membentur bahu jalan. Kendaraan mulai berhenti, sebagai seorang dokter tentu ia harus melakukan tugasnya.
Janu menyebrang jalan, ia mendekati korban yang sudah bersimbah darah. Beberapa orang berkerumun mengelilingi Janu dan si korban.
"Tolong telepon ambulance!" pinta Janu seraya mengeluarkan stetoskop dari dalam tasnya.
Dengan hati hati Janu melihat wanita itu, seketika ia terdiam melihat wajah tenang wanita dalam pangkuannya.
"Riana." Batin Janu menatap teduh ke arah korban.
Janu mendadak lemas, entah mengapa wajah wanita itu begitu mirip dengan mendiang istrinya. Matanya mulai berkaca-kaca, tangannya seakan tak bertenaga untuk sekedar memegang stetoskop, dan jangan lupakan jantungnya yang berdetak lemah ketika merasakan kulit mereka saling bersentuhan.
Ambulance datang, dua orang petugas membawa bangsal lengkap dengan beberapa alat medis seperti infus dan alat pacu jantung. Ketika dua orang mengangkat si korban, tangan Janu justru enggan melepaskan tangan wanita itu.
To be Continued