2. Lokomotif Logawa

1908 Words
KIA: Seorang perempuan berusia lebih dari seperempat abad dengan segudang aktivitas setiap harinya, seharusnya mandi pagi itu adalah hal biasa. Namun tidak berlaku bagiku. Sampai detik ini, aku masih juga tidak terbiasa mandi terlalu pagi. Sebelum pukul setengah tujuh pagi masuk kategori terlalu pagi bagiku. Mandi di jam sepagi itu pasti akan membuat perutku ditimpa masalah. Seperti yang terjadi saat ini, setelah mandi, perutku mulai bermasalah. Gedoran pintu di kamar mandi bahkan tidak aku pedulikan sama sekali. "Sabar dong, Dra, Mbak kamu itu lagi sakit perut, nanti kalau dia sakit di tengah jalan gimana?" Syukurlah selalu ada Mama sebagai malaikat penolongku, yang bisa menyumpal mulut bawel adik laki-lakiku yang bernama Andra itu. "Mbak Kiky lama banget, Ma. Nanti kalau kita ketinggalan kereta gimana? Aku lagi yang kena." Adikku terdengar mulai menggerutu. Aku bergegas keluar kamar mandi setelah membereskan masalah perutku sambil berusaha tersenyum manis pada Andra, agar dia tidak marah-marah terus padaku. "Yuk, dek, berangkat, Mbak udah siap nih," ucapku tak acuh dan hanya dibalas dengusan kasar oleh Andra. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi sikapnya yang seperti itu. Aku mencium punggung tangan Mama dan juga kedua pipinya, Andra melakukan hal yang sama sepertiku. "Ma, berangkat dulu ya, assalamualaikum," salam kami bersama-sama pada Mama. Andra masih melancarkan aksi diam selama perjalanan dari rumah menuju stasiun. Sesampainya di stasiun, seperti biasa, mobil dititipkan di lapangan parkir yang disediakan. "Untung kita nggak telat, Mbak. Mana tiket sama KTP kamu." "Emang nggak telat, keretanya aja belum datang, tuuuh," tunjukku dengan kedua bibir yang dimajukan ke arah lintasan rel kereta yang masih kosong. Aku lalu memberikan apa yang Andra minta. Setelah melewati petugas pemeriksaan, kami berjalan memasuki ruang tunggu khusus penumpang. Tidak lama kemudian kereta datang dan berhenti dengan sempurna di hadapan kami. Aku mengikuti langkah panjang Andra untuk memasuki gerbong sesuai dengan yang tertera di tiket. "Eh, kita salah gerbong, Mbak," ujar Andra sambil menyeringai bodoh. Aku mendengus kesal, tetap mengikuti langkah Andra menyusuri gerbong kereta yang tengah bergerak perlahan keluar dari stasiun, untuk mencari gerbong yang sesuai dengan tiket. Andra menunjuk sebuah bangku penumpang di sebelah kiri, saat menyusuri lorong gerbong yang masih terlihat lengang ini. Keretanya tidak begitu ramai. Mungkin karena ini hari biasa, bukan hari libur atau weekend. Andra sudah duduk terlebih dahulu di dekat jendela. Aku menyusul duduk di hadapannya. Setelah duduk di posisi nyaman, aku memasang earphone di telinga dan mulai mendengarkan lantunan musik dari ponsel. Aku memejamkan mata dan terlelap begitu saja karena pagi ini aku masih mengantuk akibat begadang semalaman untuk mendengarkan curhatan sahabatku, Nadine, tentang suami dan keluarga barunya. Dia baru menikah beberapa minggu yang lalu. Tujuanku ke Surabaya kali ini bukan untuk tugas kenegaraan alias meeting dan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Mama mendadak memaksaku untuk mengunjungi Om Salman--adik Mama--yang katanya sedang sakit keras. Agak sangsi awalnya karena Mama tahu betul seperti apa sibuknya pekerjaanku. Terus setahuku juga, Om Salman tidak punya riwayat penyakit yang cukup berat. Tetapi karena Mama memaksa dan ada Andra yang menemani, akhirnya aku bersedia mengambil cuti selama dua hari, Kamis dan Jumat, karena kemungkinan aku akan tinggal di Surabaya selama empat hari sampai hari Minggu. Sekitar setengah jam kemudian, aku merasakan lokomotif Logawa jurusan Jember-Surabaya tengah berhenti. Kulihat dari kaca jendela, ternyata baru sampai stasiun Tanggul. Perhatianku kini tertuju pada seseorang di deretan bangku sebelahku. Kepalanya menyandar pada kaca, kedua tangannya dilipat di depan d**a, duduknya agak meringkuk dan matanya terpejam. Sepertinya dia sangat kelelahan dan mengantuk. Kelihatan dari tidurnya yang sangat tenang dan tidak terganggu sama sekali, meski kereta sedang berhenti dan juga ada seorang balita berteriak histeris di dalam gerbong ini. Kereta mulai melaju kembali, perlahan tapi pasti. Aku menoleh lagi ke arah laki-laki yang sedang tidur itu. Wajahnya sudah berpindah menghadap ke arahku. Lakilaki yang tampan, kulit wajahnya bersih terawat, rambutnya hitam kecoklatan, ya ampun itu alisnya hitam dan rapi. Aku membayangkan Nadine kalau melukis alis sampai menggunakan penggaris supaya terlihat simetris. Hidungnya mancung dan bibirnya agak tipis untuk ukuran seorang laki-laki. Aku terkejut karena laki-laki itu tiba-tiba menggeliat. Astaga, apa mungkin dia menyadari jika sedang aku perhatikan dari tadi. Tak lama, kulihat laki-laki tadi sudah bangun dan sedang mengobrol dengan pria dan wanita paruh baya yang duduk di hadapannya, mungkin pasangan suami istri. Aku bisa mendengar dengan baik percakapan ketiganya dari sini, karena posisi bangku kami memang bersebelahan. "Permisi, Pak, sekarang sudah sampai stasiun mana ya?" tanya laki-laki itu dengan ramah pada pria paruh baya di hadapannya. "Baru sampai Tanggul, masih di wilayah Jember, Mas," jawab bapak itu ramah dengan logat Jawa yang kental. Setelah mengobrol, laki-laki tersebut mengedarkan pandangan di sekelilingnya dan berhenti saat beradu tatap denganku. Crap!!! Sepertinya aku ketahuan memandanginya dari tadi. Dia tersenyum dan mengangguk dengan santun. Aku berpaling seolah tidak melihatnya dan memilih untuk melanjutkan kembali tidurku. Berharap tidak terbangun di setiap stasiun, seperti kebiasaanku saat bepergian dengan kereta api. Sepertinya kebiasaan tetaplah menjadi kebiasaan, susah untuk diubah dalam waktu singkat. Aku kembali terbangun saat kereta berhenti di stasiun Klakah. Dari sudut mataku, kulihat laki-laki tersebut sepertinya sedang mengobrol dengan temannya melalui sambungan telepon, tepatnya melalui video call. Aku bisa menebak karena pandangannya menatap ke arah ponsel. Namun aku tidak bisa mendengar jawaban orang di seberang sana karena laki-laki itu berkomunikasi menggunakan handsfree. "Bisa aja lo, thanks ya. Eh, titip Alvin, jangan lupa antimonya diminum sebelum take off. Kasian dia, semalam bingung nyari obat anti mabuknya, gue tau lo yang sembunyiin itu obat di laci kamar mandi 'kan, nyet?" Laki-laki itu kemudian tertawa diakhir percakapannya. Menampakkan lesung pipit di pipi kanannya. Laki-laki yang tampan menurutku, lebih tampan dari perkiraanku tadi saat melihatnya sedang tertidur. Kalau Nadine ada di sini, pasti dia akan mengomeliku habis-habisan karena tidak memedulikan pria itu. Di usiaku yang ke-28 tahun ini, aku memang sudah mulai malas bersikap manis pada makhluk yang namanya laki-laki. Apalagi mengingat kegagalanku menjalin hubungan dengan laki-laki di masa lalu, membuatku semakin enggan rasanya. Mama sudah berulang kali mengenalkanku pada anak kenalannya, tapi tidak satu pun yang mengena di hati. Padahal pria-pria yang disodorkan oleh Mama bukan laki-laki yang biasabiasa saja. Seorang Kepala Cabang sebuah bank swasta, supervisor, wirausahawan yang sukses. Ah, tapi yang namanya cinta tidak bisa dipaksakan. Daripada berbuah ketidaknyamanan akibat memaksakan diri terlibat dalam suatu hubungan, aku memilih untuk mundur. Kata Nadine, aku terlalu mematok harga tinggi pada laki-laki yang ingin memperoleh cinta dariku, pernah juga dibilang aku susah move on. Masih ingat Nadine pernah bilang, "Kamu mau cari laki-laki macam Fachri nya Ayat-Ayat Cinta atau sosok seperti Azzam-nya Ketika Cinta Bertasbih di dunia nyata? Stoknya udah abis, Kiara, karena di dunia ini kamu harus berebut dengan Maria, Aishah dan Ana lain, yang jumlahnya melebihi penduduk wanita di kota Jember." Mulutnya memang minta dirujak dia. Padahal, sebenarnya aku tidak mempunyai kriteria khusus untuk laki-laki yang aku inginkan mengisi hatiku. Cukup laki-laki yang bertanggung jawab dan menerimaku apa adanya. Namun, mendapatkan laki-laki yang tepat sebagai pendamping hidup di zaman sekarang hampir sama seperti membeli kucing dalam karung, salah pilih malah dapet kucing garong nantinya. Aku mencari seorang laki-laki yang memang sedang mencariku dan kita bertemu secara tidak sengaja di tempat yang tidak pernah terduga-duga. Memang agak asal sih, tapi begitulah yang aku inginkan. Keinginan itu tidak terlalu muluk-muluk menurutku. Kembali pada laki-laki tadi. Uch, dia masih saja memandangiku. Apa yang menarik, sih, dariku sampai dia memandangiku segitunya. Padahal aku sudah terangterangan memberi kode cuek padanya. Jangan-jangan dia menganggapku perempuan yang aneh saat ini. Baguslah, aku memang patut dipandang aneh oleh pria seperti Anda, Bung. "Mbak, psstt ...." Andra memanggilku lirih dan memberiku isyarat melalui matanya kalau aku sedang dipandangi oleh seseorang. Aku hanya menaikkan kedua bahuku, lalu memalingkan wajah ke kaca jendela di sampingku. Ternyata risi juga dilihatin terus. Memang dia tampan, tapi aku bukan tipe perempuan yang bisa langsung flirting dengan seorang pria asing. Ponselku bergetar sekali, tanda ada pesan masuk. ANDRA G.Y: Tuh cowok mupeng banget mbak ngeliatin kamu. Jangan cuek-cuek lah, senyum kek dikit KIARA CAVITRI: MLZ BEUT ANDRA G.Y: Kamu kalo cuek gitu mana ada cowok yang mau deketin kamu! Trus aku kapan kawinnya kalau kamu pacar aja gak punya? Aku tertawa menatap layar ponsel dan sempat mencuri lirik ke arah laki-laki yang tidak aku ketahui namanya itu. Dia sedang tersenyum melihatku tertawa saat ini. KIARA CAVITRI: Kampret kamu dek. Nyumpahin mbakmu jadi perawan tua ya? Andra tidak membalas lagi dan memasukkan ponsel ke saku celana jeans-nya. Sepertinya dia mencoba untuk tidur kembali. Aku memalingkan wajah ke kaca jendela, sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaanku. Sepertinya, aku sudah tidak bisa lagi memejamkan mata memaksa untuk terlelap, jatuhnya kepalaku malah pusing. Akhirnya aku memilih membuka mata dan memandangi pemandangan yang tersaji di sepanjang lintasan rel kereta api. Kereta terus melaju. Sesekali terdengar jeritan panjang dari lubang uap lokomotif. Pikiranku melayang menerka-nerka apa tujuan Mama memaksaku untuk menjenguk Om Salman. Kalau memang adiknya itu sakit, kenapa tidak Mama sendiri sebagai kakaknya yang datang menjenguk. Kulihat Andra sudah terjaga dan sedang memandang serius ke arah tablet yang berada di tangannya. Andra kemudian pamit ke gerbong kafetaria. Setelah Andra menghilang dari gerbong ini, tiba-tiba laki-laki asing itu sudah berada di sebelahku, karena memang bangku di sampingku saat ini kosong. "Kamu mau ke mana?" tanyanya ramah. "Mau ke Surabaya," jawabku datar. Padahal dalam hati deg-degan tidak keruan. "Asli Surabaya?" dia bertanya lagi. "Iya," jawabku singkat, kemudian memasang earphone kembali ke telingaku. Sepertinya laki-laki itu mengerti kode keras yang aku lemparkan dan memilih untuk kembali ke bangkunya lagi. Dia juga melihat kedatangan Andra dari jauh, makanya memilih berhenti untuk menanyaiku lagi. Beberapa jam kemudian kereta api sudah memasuki Stasiun Gubeng, Surabaya. Aku dan Andra memilih turun menunggu semua penumpang turun. Saat aku keluar dari bangku, laki-laki itu juga akan keluar, tapi aku telat untuk mundur, membuat kami hampir saja bertubrukan. Tubuhnya tinggi, atletis, tidak terlalu besar tapi tidak kurus. Padahal aku sudah menggunakan wedges setinggi lima senti, tapi masih saja kepalaku hanya sebatas pundaknya. Aku segera menundukkan wajah karena dia terus saja menatapku. Aroma maskulin dan elegan menguar dari tubuhnya. "Silakan, Mbak," ujarnya ramah sambil tersenyum memikat. Ugh, Mama, heeellpp!!! "Makasih, Mas," jawabku sambil tertunduk dan bergegas mengejar Andra yang sudah lebih dulu melangkah meninggalkan gerbong. Tatapannya tadi membuat jantungku berdetak tak menentu dan juga membuatku menjadi salah tingkah. "Auwww ...!" Aku memekik kaget karena kakiku salah memijak anak tangga saat menuruni tangga gerbong. Untungnya ada sebuah lengan kokoh menahan tubuhku dan menyelamatkanku, sehingga aku tidak jadi jatuh tersungkur di atas lintasan rel kereta api. "Kamu nggak apa-apa?" Suara berat itu terdengar sangat khawatir saat menanyakan keadaanku. "Nggak apa-apa," jawabku singkat dan segera melepas pegangan laki-laki itu dari tangan dan pinggangku, setelah sebelumnya dia membantuku turun dan memastikan aku baik-baik saja. "Mbak, kamu kenapa? Jatuh ya? Makanya jalan tuh, hati-hati. Mata itu dipakai untuk ngelihat, ck," gerutu Andra yang bukannya menolong malah mengomeliku. Nenek-nenek juga tahu, kalau mata itu gunanya untuk melihat, dumelku dalam hati. "Mbak-nya nggak apa-apa cuma hampir jatuh aja," laki-laki itu menjawab dengan ramah omelan tukang jamu ala Andra. Laki-laki itu membantuku sekali lagi melewati lintasan rel kereta api. "Makasi ya, Mas, sudah nolongin Mbak saya. Ayo, Mbak, Om Salman udah nungguin tuh." Aku menundukkan kepalaku sopan dan tersenyum pada laki-laki itu. Dia membalas senyumku, mempersilakan kepadaku untuk melangkah terlebih dahulu. Sekarang aku percaya bahwa sebuah senyuman bisa membuat orang lain tersipu tanpa sebab, karena saat ini aku sedang tersipu akibat senyuman yang dia berikan padaku tadi. Kami lalu berpisah begitu saja, tanpa perkenalan seperti adegan di film-film drama yang sering aku tonton ataupun seperti di novel-novel romance kebanyakan, tapi aku dapat merasakan bahwa di belakangku, dia terus memandangiku. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD