Titik Awal

848 Words
"Atreya, kamu akan kami kirim ke pesantren." Remaja berusia 15 tahun yang bernama Atreya refleks membesarkan matanya. "Gila! Reya gak mau, Ma, Pa! Reya gak mau! " protesnya. "Kami mengatakan hal itu bukan untuk meminta persetujuan kamu. Ini sudah diputuskan," kata Abraha, ayah Atreya. "Gak, Pa. Tolong jangan kirim Reya ke pesantren." Atreya memohon, ia bahkan bersujud di kaki Abraha. Abraha tidak bergeming. Ini jalan terbaik untuk membenarkan kehidupan putranya itu. Kekayaan membuat Atreya tumbuh menjadi orang yang egois, sombong dan semaunya saja. Bahkan di usianya Atreya yang sudah menuju remaja, Atreya tidak pernah mau menunaikan salat atau pun puasa. "Keputusan ini sudah bulat. Papa tidak akan mengubahnya meskipun kamu menangis di hadapan papa." "Ini gak adil! Kalian mau buang Reya kan! " teriak Atreya, murka. "Turunkan nada suara kamu, Reya! "tegas Abraha. "Kamu salah, Reya. Keputusan ini kami ambil untuk kebaikan kamu juga. Di sini, kamu terlalu seenaknya, kamu terlalu bebas. Mama dan papa takut kalo kamu malah terjebak lingkungan gak benar." Fatimah, ibu Atreya, merangkul pundak putra semata wayangnya itu. Sejujurnya sulit bagi Fatimah untuk mengirim anaknya di pelosok desa, di bawa kaki gunung. Jauh dari pantauannya, hatinya sakit, tapi keputusan Abraha, suaminya sudah benar. Mereka harus memberikan lingkungan yang baik untuk anaknya. "Gak! Mama dan Papa mau buang Reya!" Atreya menepis kasar lengan ibunya. "Mama dan Papa bencikan karena ada Reya di rumah ini? Baiklah biar Reya pergi aja dari sini! Reya gak akan ganggu kehidupan kalian lagi. Anggap saja Reya sudah MATI! " PLAK Sebuah tamparan mendarat sempurna di wajah bocah itu. Atreya meringgis, memegangi pipinya yang merah karena tamparan Abraha, ayahnya. "Jaga mulut kamu, Reya!” seru Abraha tegas. Nafas Abraha naik-turun menahan marah, Fatimah menangis melihat pertengkaran ayah dan anak. Atreya diam seribu bahasa, ia menatap Abraha dengan mata yang menyalak tajam namun dipenuhi kristal bening yang siap jatuh kapan saja di pipinya. "Tidak ada diskusi lagi! Kamu akan kami kirim ke pesantren sekarang! Fatimah, tolong bantu Reya membereskan semua barangnya. Selepas Isya kita akan mengantar Reya." *** Dua tahun kemudian, "REYA!” Teriakan itu membuat sang pemilik nama tersenyum lebar. Baginya itu seperti lantunan suara merdu di telinganya, atas prestasi barunya tadi. "Atreya! Kamu sudah keterlaluan! " pria muda berusia sekitar dua puluh lima tahun mendesah kesal atas apa yang telah Atreya lakukan di kolam ikan. Atreya mencuci baju di sana, membuat semua ikan mati. "Apa salah saya, Ustadz? Saya hanya mencuci baju, salah sendiri kenapa pondok yang miskin ini kurang memberikan pasokan air." "Bukannya sudah jelas, kalo kamu harus mencuci baju sekitar pukul lima sampai enam pagi, jam segitu air sedang banyak. Semua santri mencuci di jam segitu." "Ustadz pikir saya ini sama bodohnya dengan yang lain? Jam segitu, hewan aja gak mau nyentuh air, terus kenapa saya harus nyuci jam segitu? Kalo saya sakit, emang pondok ini bisa ambil sakit saya?” "Atreya!" "Itu nama saya, Ustadz." Atreya tersenyum miring seraya mengangkat sebelah alisnya naik ke atas. "Kamu ustadz hukum!" Atreya tersenyum. Kata-kata yang sejak tadi ia nantikan. "Senangnya mendengar kata-kata itu lagi. Ustadz tahu, saya sudah mendapat dua puluh hukuman selama satu bulan ini. Rekor yang baguskan, Ustadz?" kara Atreya berbangga diri. Ustadz muda bernama Ismail itu menggeleng tidak habis pikir. Rasanya semua hukuman tidak lagi mempan untuk Atreya bin Abraha. Malah mereka semua kebingungan akan memberi hukum apa untuk Atreya. Rasa-rasanya semua hukuman di pondok sudah diberikan semua pada Atreya, tapi tidak ada satu pun hukuman yang membuat Atreya jera. Atreya malah semakin berani melawan semua ustadz di pondok. "Jadi apa hukumannya, Ustadz?" Benar-benar tidak ada rasa menyesal pada wajah Atreya. "Kamu ini sebenarnya kenapa sih, Reya? Sudah dua tahun kamu di sini. Tapi perilaku kamu tidak berubah sedikit pun." Ustadz Ismail melembutkan suaranya berharap mampu menyentuh titik lembut seorang Atreya. Atreya mendesah, perkataan ustadz Ismail mengingatkannya pada wajah kedua orang tuanya, seketika rasa sakit merembes memenuhi hati remaja yang kini berusia 17 tahun. "Tidak ada ustadz," jawab Atreya datar. "Kalo kamu merasa sedih, jangan berpikir kamu sendirian berbagilah ceritamu dengan yang lain. Kamu bisa menceritakannya pada orang yang kamu percaya. Jangan simpan kesedihan di dalam hatimu sendirian, itu tidak baik Atreya." Atreya tersenyum kecut. Ia tidak punya seorang pun untuk dipercaya. Kepercayaannya sudah layu bahkan mati, semenjak berada di sini. "Ustadz, kenapa mendadak Ustadz jadi mirip emak-emak rumpi yang berusaha menggali kehidupan orang lain? " Atreya tersenyum mengejek. Ia lebih senang melihat wajah marah ustadznya ketimbang melihat wajah iba untuknya. Atreya bukan orang perlu iba dari siapa pun. "Reya, ustadz menyerah menangani kamu," ustadz Ismail, mendesah lelah. "Untuk hukuman kamu, datanglah ke ruangan para Ustadz, biar mereka saja yang menghukummu." Ismail berbalik, hendak pergi. "Ustadz maafkan saya." Ismail kaget mendengar perkataan itu keluar dari mulut Atreya. Sudah dua tahun, tidak pernah kata maaf keluar dari mulut Atreya. Ini Sulit di percaya, Ismali kembali memutar tubuhnya menghadap Atreya. "Kamu serius mengatakan itu? " Atreya mengangguk kecil. "Saya minta maaf karena saya akan terus merepotkan ustadz Ismail. Saya akan terus membuat onar, agar para ustadz muak dan mempertimbangkan kembali permintaan saya untuk di keluarkan dari tempat ini." Atreya kembali menarik senyum miringnya. "Mungkin ustadz Ismail bisa merekomdasikan hal itu pada pak kiyai?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD