V

1934 Words
Abimata dan Abidan mematung tepat di depan pintu, memperhatikan dengan seksama pintu berwarna putih itu, itu nampak seperti pintu biasa. Namun ada aura yang terasa berbeda, membuat keduanya takut untuk mengambil risiko dan memutuskan untuk menunggu Atreya. “Ngapain?” tanya Afrak dengan nada yang tidak rama. Abidan mendengus, enggan menjawab. “Rex, Lo aja yang buka pintunya.” Begitu Atreya sampai, Abimata langsung mendorong pelan bahu Atreya untuk semakin maju ke pintu putih itu. Atreya menatap semuanya sebelum meraih gagang pintu. Qq “Buruan Rex,” bisik Abidan. Atreya menekan gagang yang terasa dingin, sama seperti tangannya yang entag kenapa juga dingin. Krek .... Pintu itu terbuka, baik Atreya dan yang lain masih mematung di tempat, belum berani untuk masuk. Atreya mengamati ruang kosong balok itu, kening Atreya berlipat, ekspetasinya mengenai segala hal-hal di menarik atau menakutkan, tidak terbukti sama sekali, ruangan itu benar-benar hanya balok kosong yang luas tanpa apa pun. Selamat datang di Bissmilah Game. Awali dengan bissmilah saat melangkah. Atreya dan yang lain terpenjat kaget, mendapati suara tiba-tiba yang entah dari mana. Mata Atreya menjelajah mencari sumber suara itu, namun tidak ia temukan. “Rex kayaknya aman deh,” bisik Abidan. “Masuk aja kali.” Atreya setuju, ia mengayun langkahnya, belum langkahnya menginjak ruangan itu, suara kembali mengagetkan Atreya, Atreya langsung menahan kakinya di udara. ‘Jangan lupa ucapkan Assalamualaikum saat masuk. Agar para setan tidak ikut masuk.’ “Setan?” bulu kuduk Abidan meremang mendengar satu kata itu. Kepalanya bergerak patah-patah kanan kiri, memastikan keadaan. “Kalian harus masuk sesuai arahan tadi,” kata Abimayu yang baru sampai. “Kalian ikut?” tanya Afrak. “Hem, tergantung, jika kalian perbolehkan,” Arlan menjawab singkat. “Tentu saja boleh. Kalian juga bagian dari kami sekarang,” sahut Atreya. Afrak berdecak. Sekali lagi Atreya membuat keputusan tanpa persetujuan yang lain. Dia berlaku seolah dia ketua yang seenaknya mengambil keputusan. “Kami akan masuk bersama kalian,” kata Abimayu. “Ya, kami akan masuk,” tambah Arlan. “Kalo begitu, ayo kita masuk,” kata Atreya. “Ya, ayo,” sahut semuanya kecuali Afrak. Afrak berada di langkah paling akhir. “Assalamualaikum,” ‘Waalaikumsalam. Ahlan Wa Salam, semoga Allah menjaga kita semua. Selamat datang di bissmilah game.’ Suara itu muncul setelah pintu bercat putih itu tertutup sendiri dengan suara decit nyaring. ‘Silahkan tekan tombol biru untuk memulai permainan.’ Dinding polong kuning itu, tiba-tiba membela kecil di bagian atas, menampilkan timbol merah besar di sana. Atreya kaget, ‘mulai?’ bagaimana bisa mereka tidak tahu apa pun. Afrak maju, terlalu malas untuk menunggu, jika Atreya bisa mengambil keputusan sesuka hati, kenapa dia tidak boleh? Afrak menekan tombol merah itu membuat semua terbelalak. “Lo! “Atreya menarik leher baju kokoh Afrak. “Kenapa?” Afrak balas dengan tatapan tajam. “Gak suka gue ambil keputusan sepuhan? Ha?” Atreya menggeram, belum selesai dengan rasa kesalnya sesuatu terjadi. Langit-langit balok bergetar, mereka seperti di dalam balok yang di kocok. Tapi anehnya mereka sama sekali tidak terombang-ambing, ke atas, ke bawah, mereka hanya merasakan getaran itu. “Tenang, tombol itu yang akan memberi tanda hijau di tangan kalian. Kalian tidak perlu cemas. Setelah menekan tombol itu, kita tidak akan langsung main, kita akan di bahwa ke ruang petunjuk,” Abimayu menenangkan Atreya dan yang lain. Afrak juga bernafas lega karena penjelasan itu. ** Peraturan : 1). Satu tim memiliki lima heart. Heart yang bisa berfungsi sesuai keadaan. 2). Mereka harus mencari gembok untuk membuka setiap pertanyaan. 3). Hanya ada dua kali kesempatan salah menjawab pertanyaan, jika mereka sudah menggunakan semuanya maka mereka harus menyelesaikan tantangan agar mendapat box untuk menjawab. 4). Mereka harus mengumpulkan lima berlian di setiap babak. 5) Mereka tidak boleh mengambil apa pun di arena permainan, jika mengambil maka waktu mereka di arena game akan dikurangi. 6). Mereka harus menundukkan pandangan dari jin wanita, jika mereka melanggar mereka akan kehilangan penglihatannya selama game berjalan. 7). Mereka tidak boleh bersalaman dengan jin wanita, jika melanggar mereka akan diberi bara api di tangannya. 8). Mereka diwajibkan berwudu sebelum masuk arena permainan. 9). Saat di arena game mereka tidak boleh berbohong, berbuat licik, dan melalaikan waktu. 10). Mereka tidak boleh meminta bantuan setan penggoda jika mereka melakukannya mereka akan langsung diskualifikasi yang artinya terjebak selamanya di dunia game. Setelah mendaftar menjadi pemain, mereka mendapatkan tempat yang di sebut ruang luar arena, di sana mereka bebas melakukan apa, seperti istirahat, makan, mandi dan sebagainya, layaknya kehidupan normal biasa. Tapi tentu saja berbeda, di sana memiliki fasilitas yang sangat manjakan mereka. Misalnya, mereka memiliki pohon terbalik satu orang satu, mereka juga punya awan khusus yang bisa mereka gunakan saat keluar ruangan arena, sejenis seperti payung dalam bentuk canggih. Dan jangan lupakan api unggun yang hanya perlu di pompa untuk muncul bak api unggun sungguhan, dan ya, mereka hanya perlu mengatakan dalam hati apa yang mereka inginkan, dan semua akan datang, seperti langit berbintang yang bisa di liat dari atap tertutup. Mereka seperti berada di langit terbuka padahal berada dalam ruangan. Di depan mereka terhidang makanan beragam macam, sesuai selera mereka. Mulai dari lokal sampe interlokal, Atreya yang sangat rindu pizza meminta sekotak pizza keju mozarela dan segelas soda, Afrak meminta buah segar, apel, anggur dan pear sedangkan Abimata dan Abidan kompak memesan makanan rumah seperti ikan tongkol, dan es tebu. Abimayu dan Arlan hanya meminta makanan ringan untuk mengisi obrolan malam sebelum beristirahat. Mereka bisa meminta apa saja, dengan syarat mereka tidak boleh meminta berlebihan dan mubazir. “Peraturan sebanyak ini? Bagaimana bisa kamu mengingatnya?” cemas Afrak. “Saya ingat poin-poinnya,” sahut Abimata seraya menyuapkan satu potong daging ikan tongkol yang baru ia lepaskan dari tulang. Afrak memicingkan matanya, masih enggan percaya, bagaimana bisa preman pasar seperti Abimata bisa mengingat semua itu. Afrak masih berpikir Abimata dan Abidan, hanya dua preman yang tidak mengerti cara menggunakan otak. “Ya, Abimata memang pintar dalam mengingat,” sambung Arlan tiba-tiba, dengan senyum khasnya, tanpa sadar kalo Atreya, Abidan, dan bahkan Abimata menatapnya dengan alis naik. Semenit berikutnya Arlan baru sadar, dan seketika jadi salah tingkah. Dia berdeham dua kali, melihat ke arah Abimata, lalu menampilkan senyum menutupi ekspresi lain di wajahnya, dengan tangan refleks mengaruk tengkuk kepalanya. “Ya, karena biasanya orang bernama Abi itu pintar mengingat,” tambahnya tanpa perlu di tanya. “Tidak pernah ada teori seperti itu.” Afrak mengingat-ingat. “Jika mengingat itu dipengaruhi faktor nama, maka akan banyak nama Abi di dunia ini, manusia mana yang tidak suka, jika ia memiliki ingatan yang kuat.” Arlan membalas argumen Afrak dengan tawa kecil, hal yang tidak Afrak harapkan, dia suka berdebat dan juga diskusi, Afrak berpikir argumennya akan di balas dengan argumen tajam, tapi itu nihil. Arlan malah terlihat ingin menyudahi pembahasan yang diangkat sendiri, terutama setelah melihat sorot mata datar Abimayu yang nampak sedikit gelisah dalam duduknya. “Atau jangan-jangan ada argumen lain kenapa bung bisa menyimpulkan kalo orang bernama Abi memiliki ingatan yang kuat? Misalnya ada dua nama Abi.” “Ha? “Arlan makin terlihat gelisah. “Udahlah, si Rak ini emang kaku banget hidupnya. Ngapain malam-malam gini bahas argumen, bikir pusing aja. Kita santai ajalah, lagian ini juga udah malam, ngapai coba bahas yang berat-berat, mending kita cerita tentang tempat ini dan gimana permainan besok,” sambung Abidan. Yang tentu saja langsung mendapat anggukan setuju dari mayoritas suara, siapa lagi kalo bukan Abimata dan Atreya. Afrak selalu kalah suara dan hanya bisa diam. “Mau?” Arlan menyodorkan snack ringan, yang sejak tadi suara kunyahannya terdengar crunch di telinga Afrak, karena posisinya duduk di sebelah Arlan. “Suka banget buah ya? “tanyanya dengan senyum rama. “Hem.” “Rasanya asem? “ “Kenapa? Mau? “ketus Afrak. Arlan terkekeh. “Saya tidak terlalu suka buah.” “Oh,” Afrak menuju dengan jelas ketidak tertariknya dalam obrolan ini. Afrak melihat yang lain, mereka tenggelam dalam obrolan seru, Atreya bahkan tertawa, hal yang sangat jarang atau tidak pernah Atreya lakukan di pondok. Berbeda sekali dengan di sini, harus Afrak akui, Atreya tidak tidak terlalu menyebalkan seperti di pondok. “Duh, mulut rasanya kayak gak enak,” Abidan meneguk segelas air tebu miliknya. “Eh, di sini boleh minta rokok gak sih ?” kata Abidan dengan nada rendah, semi berbisik, namun mampu mencapai semua daun telinga yang ada. “Gak boleh!” sentak Afrak langsung bangkit. “Asap rokok, bisa nyebar di ruangan ini! Gue gak mau paru-paru gue terkontaminasi rokok gak jelas Lu! “ “Ck!” Abidan membuang muka kesal. “Minta permen mind aja,” sahut Atreya. “Nanti aja kita ngerokoknya.” Afrak merasa senang, karena ia merasa menang kali ini. “Rangking satu terus ya? “ Arlan kembali membuka obrolan. “Ya, selalu juara satu,” sahut Afrak, tidak seketus tadi. “Gak mau coba jadi anak nakal? “ Afrak menoleh. “Kalo terlihat baik disukai banyak orang, kenapa harus jadi anak nakal? “ “Nakal belum tentu jahat.” “Kalo jahat bukan nakal, lantas apa? “ Arlan tersenyum tipis. “Jadi kamu mau terlihat baik?” “Selalu.” “Kenapa tidak menjadi baik, bukan hanya terlihat? “ . . “Belum tidur?” Abimayu menghampiri Atreya yang sedang duduk termenung di bawah atap tertutup yang menampilkan banyak bintang. “Iya, masih belum ngantuk.” Tanpa sengaja, retina mata Abimayu melihat sebatang rokok terselip di tengah jari Atreya. “Sekalian ngerokok? “ “Eh ?” Atreya mengikuti arah pandang mata Abimayu, lalu mematikan api yang tersisi di putung rokok. “Bung kenapa belum tidur? “ “Kamu belum jawab pertanyaan saya tadi.” Abimayu tersenyum kecil sembari menengadah ke atas melihat bintang. “Sedang cemas? “ “Hem,” Atreya bergumam pelan, “Mungkin.” Abimayu terkekeh. “Kenapa? Afrak bilang kamu biang onar di pondok, kenapa permainan ini malah buat kamu cemas? “ Kali ini Atreya yang tertawa, kata bang onar selalu terdengar lucu di telinganya. Dia harus berusaha keras untuk mendapat gelar itu. “Tapi kali ini bukan hanya tentang saya. Tapi juga tentang yang lain.” “Sahabat kamu? “ Atreya mengangguk samar. “Kamu lebih khawatir dengan keadaan orang lain ketimbang nasib kamu sendiri? “ Atreya menoleh, “Saya sudah biasa dengan rasa sakit, saya tidak mau yang lain juga terbiasa dengan rasa sakit itu.” Atreya mengakhiri kalimatnya dengan senyum miris yang coba dia bungkus seolah dia baik-baik saja. “Sesayang itu kamu sama sahabat kamu? “ Atreya tertawa pelan. “Wajar, keluarga saling menyayangi. Bagi saya, mereka seperti keluarga saya.” “Biang onar kayak apa yang sayang keluarga,” Abimayu terkekeh. “Bung, selain biang onar, Afrak kasih tahu gelar apa aja buat saya? “ “Ha?” Abimayu terkekeh. “Kalian memang rival abadi.” “Abadi, maksud, Bung?” “Kata Afrak, kalian sering adu pendapat di pondok. Kalian sekamar udah bertahun-tahun, tapi kalian kayak minyak dan air. Afrak bilang, reputasinya selaku ketua angkatan selalu terancam karena ulah kamu.” Bukannya tersinggung Atreya malah tertawa keras, sampai memegangi perutnya yang keram, kelepasan tertawa. “Bung, di sini gak boleh berlebihan. Termasuk tertawa.” “Eh, iya.” Atreya mencoba mengatur dirinya, agar tawa tidak kembali mengucap, Atreya menepuk-nepuk pelan wajahnya. “Bung gak marah ?” “Buat? Semua yang dikataka Afrak itu benar. Saya emang selalu nyusahi anak emas ustadz.” Atreya tersenyum membayangkan ulah-ulah jailnya yang kadang juga membuat satu angkatan di hukum, meski bukan itu niat Atreya. Dia hanya ingin memperoleh gelar biang onar. “Afrak tuh sebenarnya baik, tapi emang kita memiliki tujuan beda. Jadi wajar kalo kita kayak air dan minyak. Dia air, saya minyak yang terus berontak di dalam kolam air.” **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD