Seriously?

1015 Words
Lelaki kaya raya nan sombong itu kini tampak terlelap sangat pulas setelah aku memberikannya obat. Aku tidak percaya bisa-bisanya saat ia terbaring sakit masih sempat-sempatnya mengataiku 'Aku meragukan bahwa kau seorang dokter'. Sepertinya lisannya perlu dibasuh dengan air suci. Tapi, tetap saja aku merasa bersalah padanya. Karenaku lelaki itu merasakan kesakitan, tapi dia juga tidak mengatakan kepadaku bahwa punya riwayat alergi sushi. Atau, apa jangan-jangan ia tidak tau sushi itu makanan apa? Jikalau memang benar, dia pasti sangat kaya raya hingga makanan seenak sushi tak tersentuh olehnya karena harganya yang terlalu murah. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang adalah aku bisa beristirahat dengan tenang setelah seharian berkeliling, 2 hari lagi kami akan meninggalkan Estonia. Jadi, aku berpikir untuk menghabiskan waktu untuk bersantai ria sebelum pergi. Oh jangan lupa, Sofia ternyata telah menyiapkan perlengkapan yang akan kami bawa untuk persiapan hiking selama beberapa bulan kedepan. "Jadi, bagaimana kau bisa mengenal lelaki tampan itu?" Sofia datang dengan wajah sumringah setelah membantuku memapah lelaki yang di sebutnya sebagai 'lelaki tampan' yang konon adalah kriteria pria idamannya. Saat kutanyakan padanya, 'Memangnya lelaki sperti apa yang kau idam-idamkan?' Dan tau apa jawabannya? 'Kaya, tampan, tinggi, setia, penyabar, dan tidak patriarki' Tunggu-tunggu darimana ia tau lelaki itu kaya dan tidak patriarki? Katanya, 'Lelaki itu terlihat seperti anak manja yang dibesarkan dengan harta. Dari merk bajunya saja kau sudah bisa menilai bahwa dia bukan manusia kelas bawah' Ya ampun berarti kami ini tergolong sebagai manusia kelas bawah? ya baiklah-baiklah, mau membeli handphone saja kami memilih yang paling murah dan paling lama rusak. Percayalah aku tak ada keinginan untuk hidup kaya dalam artian sampai-sampai harta itu sudah tak ada artinya bagiku. Aku tak pernah merasa iri hati dengan mereka yang hidup dengan gaya hedonisme-nya. "Dia tersasar dari rombongan, dan memintaku untuk mengantarnya pulang" jawabku malas karena sudah terlalu capek "Lalu?" tanya sofia "Ya begitulah, aku memintanya untuk menemaniku makan sushi baru aku akan mengantarnya karena perutku sudah sangat lapar. Kau tau, lelaki itu alergi sushi! Berakhirlah aku harus memapahnya hingga ke hotel" Jawabku sambil tersenyum miris "Ah, dia pasti sangat kaya raya. Bisakah kau menyomblangi aku dengannya?" tanya Sofia dengan penuh harapan "Bukankah kau punya James?" Tanya heran. Sekedar info, Sofia mempunyai kekasih bernama James yang juga bekerja sebagai pemilik rumah duka. Sangat cocok bukan? Tapi sedikit mengerikan, mereka menghabiskan waktu dengan mengurusi mayat-mayat. Tapi juga sangat keren karena membantu manusia yang sudah tidak ada setidaknya mendapatkan keadilan di akhir hidupnya dengan cara jasadnya yang di urus dengan baik. Apalagi mereka mengurusi mayat yang tak punya keluarga, lansia yang dibuang oleh keluarganya, mayat-mayat dari forensik, dan banyak lainnya. Tapi aku masih belum berani mempertanyakan kepadanya apamah dia resign dari pekerjaannya itu? Jika tidak, siapa yang mengurusi mayat-mayat itu selama ia pergi. Dia adalah wanita yang hebat, tetapi sebagaimana naluri wanita hiasa juga punya sisi wanitanya sendiri. Sofia muda terhasut dengan lelaki tampan nan kaya, yang menurutnya itu seksi. "James ya? Hmm dia tetap menjadi kekasihku, aku cuman mencari simpanan saja saat James tak ada disampingku" Jawabnya sembari tersenyum tanpa dosa. Aku yang melihatnya hanya bisa memutar bola mata lalu mengatakan padanya bahwa aku ingin beristirahat dulu. Sofia memutuskan untuk keluar berjalan keluar mencari udara segar karena sudah menghabiskan waktu tidur siangnya di dalam kamar hari ini. Aku dibangunkan oleh Sofia karena lelaki tajir itu mencariku. Aku tak mau untuk menghampirinya, pasalnya ada kejadian tak mengenakkan saat kami akan pulang tadi. "Apakah kau pantang terhadap sushi?" tanyaku pelan "Bukan, aku hanya tak bisa memakan ikan. Makanan itu, aku baru memakannya lagi sejak usia 5 tahun." "Astaga kenapa kau tak memberitahuku sejak awal! Kalau begini kau yang kesusahan" "Bukankah kau yang mememaksaku tadi?" "Ya, tapi aku tak tau jika kau alergi ikan. Jika sudah begini bagaimana aku akan mengantarmu ke hotel?" "Sst diamlah, kau punya benda modern itu?" "Benda modern?" tanyaku memastikan, apa maksudnya? "Ya, benda modern yang bisa menyala dan kau gunakan untuk memanggil kawanmu tadi" Ah ponsel ternyata. Aku mengambilnya dari tasku lalu memberi kepadanya. Dia mengambil sebuah kartu nama dan terlihat mengetik sesuatu dan melakukan panggilan. "Jemput aku di rumah sushi" katanya. Lalu kau tau? Aku hanya bisa menganga melihat hal itu. Apa-apaan ini? "Hey, kenapa tidak dari tadi saja kau mengatakannya kepadaku? Dengan begitu aku tak perlu repot-repot" "Kau tak menawariku tadi? Jika kau menawariku sudah tentu aku tak akan merepotkanmu." Aku menghela nafas dan tersenyum kepadanya. "Kau terlihat manis dengan tersenyum begitu. Jangan terlalu sering marah-marah, kau tau aku bingung saat melihat wanita marah" Ucapnya dengan mata tertutup. Tunggu, dia mengataiku manis? Ah mungkin kecap sushi yang manis. Aku berusaha membuat diriku terlihat biasa saja. "Jika kau tak menyebalkan aku tak mungkin marah-marah. Lisanmu itu perlu dicuci dengan air suci." Dua menatap kepadaku dengan bibir yang berkedut, "Sungguh? Bagaimana jika kau saja yang mencucinya?" "Ya, aku akan mencucinya dengan air dari toilet. Diamlah, kau membuat mood-ku buruk" ucaoku dengan sedikit kesal "Aku tak percaya kau seorang dokter" "Ya sudahlah kalau kau tak percaya. Kau mau apa?" Aku bertanya kepadanya saat meliatnya duduk padahal dia merintih kesakitan. "Sini, duduk di sampingku" Aku yang mendengarnya hanya menuruti perkataannya. "Lalu?" tanyaku penasaran apa yang dia akan lakukan "Mana peralatan doktermu tadi?" Aku memberikan kotak P3K kepadanya. "Coba periksakan diriku sekali lagi, baru aku akan percaya aku adalah seorang dokter" "Kenapa kau harus percaya? Jika kau mau aku punya kartu identitas sebagai dokter, tak perlu repot-repot" jawabku ngasal dan sedikit malas meladeninya. "Sudah, lakukan saja." Aku hanya menurutinya, dan dia memintaku memeriksa detak jantungnya. Aku merasa bahwa detak jantungnya normal, tak ada yang salah. "Tak ada apa-apa, kau terlihat sangat sehat. Alergimu tak akan berpengaruh dengan jantungmu" kataku padanya menasihati untuk tak terlalu khawatir. Pikirku mungkin dia takut mati dengan keadaan harta yang terlalu banyak. "Kau tak mendengarnya?" Dia bertanya seolah-olah yang baru saja aku katakan adalah fiktif belaka. "Detak jantungku berdetak dua kali lebih cepat sejak aku bersamamu." Dia mengatakan itu tepat di hadapanku dan menatapku. Siapa yang tidak dibuat salting jika sudah begitu? Dia kemudian berdeham kecil lalu duduk bersandar dan mengatakan kepadaku "Aku curiga kau adalah titisan kolestrol, membuat jantungku berdebar-debar" Aku yang mendengarnya menjadi sangat murka dan memgomelinya hingga pelayannya datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD