Homeless Kids

1121 Words
Bundaku, Eve, mempunyai look and feel yang menyilaukan mata banyak orang. Aku menyukai parfum cendana yang ia kenakan, baunya terasa begitu tajam dan juga hangat di indra penciumanku, dan aku menyukai gemerisik setelan kebanggannya yang saat dia menunduk untuk mencium keningku kala sekolah dasar. Ke mana pun dia pergi, para pria memandangnya dari sudut mata mereka, dan terkadang mereka memandangnya dengan cara yang sedikit menggangguku. Seringkali aku melaporkan perilaku lelaki nakal tersebut kepada ayahku, namun ayah tertawa terbahak-bahak mendengar putrinya mencemburui bundanya. Pun sama hal-nya dengan apa yang dilakukan oleh bundaku, tak terkecuali kedua kakak tiriku. Kematiannya adalah kesalahanku, aku tak bisa membawanya ke tempat pengobatan yang ia butuhkan kala itu. Aku tak bisa memberikan fasilitas terbaik dengan apa yang aku miliki saat itu. Ia jatuh sakit di tengah-tengah krisis ekonomi keluarga kami. Tabungan milik bundaku telah habis untuk biaya pemakaman ayahku dan juga kami tak memiliki ayah yang bisa membantu menutupi pengeluaran kami. Ola dan Filipe sudah sangat berbaik hati membiayai keperluan rumah tangga dan membayar biaya pengobatan bunda di tempat yang sanggup mereka penuhi dengan pendapatan milik mereka pribadi. Orang lain selalu mencoba untuk menghiburku dan meyakinkan diriku bahwa itu tidak benar; dan ya, hanya seorang anak, yang bisa mengetahui, hal-hal mengerikan, nasib buruk yang mereka hadapi. Aku akan berdiri lalu menunduk dan menengadahkan kepalaku sembari melihat mereka dan berkata "Bagaimana jika hal ini terjadi padamu?". Tak ada yang menjawabku, tak ada sepatah kata-pun suara yang terdengar dari mereka. Padahal, hal ini juga bisa terjadi pada siapa saja. Mengapa Tuhan membebankan semua masalah ini padaku secara bersamaan? Aku kehilangan mereka berdua, cahaya hidupku, di saat yang bersamaan. Itu terjadi di Rumah Sakit Kolonial Jerman, 10 April, delapan tahun yang lalu. Bahkan aku menolak untuk mengingat tanggal kematiannya. Jika semua yang terjadi berjalan sesuai rencana, aku tak kehilangan ayah dan bundaku, apakah aku akan bahagia? Apakah aku akan tetap mempercayai bahwa ayahku adalah ayahku? Apakah aku akan menolak bila mereka tak menyisipkan nama ayahku di belakang namaku? Hari-hari menyedihkan di hidupku akan berputar di atas langit-langit pikiran dan ego jauh di dalam titik jenuhku tanpa tanda tanya, semua kebahagiaan tampak tertelan tanpa jejak sejak perayaan malam itu. Kenangan baik macam apa yang harus aku ingat sekarang? Aku tak mempunyai kenangan baik dalam hidupku, sejak kepergiannya. Setelah merasa penat mengurung diri, aku berangkat menuju kereta yang akan membawaku hingga ke Estonia untuk memulai perjalanan yang penuh dengan tanda tanya. Aku bahkan tak tau apa yang akan aku lakukan setibanya di Estonia nanti. Meskipun aku tau, bahwa mereka berbicara menggunakan bahasa yang berbeda denganku dan aku mungkin tak paham apa yang mereka katakan padaku. Tapi, ini mungkin pilihan terbaik bagiku untuk memulai petualangan hidupku dan mencari tau jalan kehidupan yang aku harapkan. Tidak, aku tak ingin hidup lebih lama, setidaknya aku bisa melihat cahaya serta pengharapan yang baik sebelum hari kematianku tiba. Aku percaya bahwa setiap orang mempunyai batasan atas kebahagiaan yang mereka miliki dan rasa sakit yang mereka alami. Pun hal-nya denganku yang tak kunjung bergenti meratapi nasib burukku. Tak begitu buruk di mata sebahagian orang, mereka hanya tak berusaha memahami perasaanku sebagai seorang anak. Aku mengetahui bahwa diriku tak memiliki hubungan darah dengan saudaraku, bahkan kenyataan mengejutkan bahwa aku bukanlah putri dari ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup tanpa mengetahui dengan jelas dari apa dan siapa aku terbuat? Sebelum keberangkatanku, aku duduk di kursi antrian pojok terminal dan melihat beberapa anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung dan tak memounyai tempat tinggi yang sedang merapikan mengumpulkan koran-koran dengan terburu-buru sebagai alas tidur mereka. Mungkin mereka takut akan dimarahi oleh petugas kebersihan. Apakah mereka tak merasa kedinginan? Aku merasa kasihan pada anak-anak itu. Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan sulitnya hidup. Tapi percayalah, tak ada yang menginginkan nasib yang buruk. Pagi ini, hingga nuansa udara yang sangat dingin. Hujan es turun di malam hari, badai salju yang mengerikan di Polandia Utara, toko-toko yang aku kunjungi beberapa hari yang lalu terpaksa tutup karena tiga hari yang lalu hingga malam tadi badai salju yangmenyebabkan salju yang menutupi toko-toko mereka dan kendaraan yang lalu lalang danmembentuk gunung-gunung es yang menyesakkan dan sangat dingin. Beberapa darimereka lebih memilih untuk menyalakan pemanas ruangan lalu beristirahat dibandingkan berjualan di musim dingin. Bukan pilihan yang tepat, kecuali saat natal. Berbicara soal natal, aku merayakan sendirian tahun ini. Aku bahkan meninggalkan telepon genggamku di tempat tidur sebelum meninggalkan rumah sepekan yang lalu agar tak ada yang bisa menghubungiku. Aku merayakannya dengan sangat kesepian dan penuh rasa sakit akibat penyakit paru-paruku yang kambuh saat aku sakit beberapa hari yang lalu. Aku hanya sedang berusaha hidup seperti anak yang tak mempunyai keluarga di dunianya. Aku adalah satu-satunya keturunan di keluarga bundaku yang masih hidup, aku tak mengenal apakah ia memiliki keluarga lain atau tidak. Tapi aku tak pernah mendengar cerita tentang kerabat terdekat yang bisa aku andalkan dari pihak bundaku. Beberapa stasiun kereta bawah tanah tutup dan kedua anak tersebut berdiri di atas alas kaki yang sengaja diletakkan di ujung terminal oleh para petugas pagi tadi. Mereka mungkin merasa sangat kedinginan dan membutuhkan selimut. Aku yang mengenakkan tiga lapis baju dan jacket bulu serta syal dan kaos kaki saja masih merasa kedinginan. Bagaimana dengan anak-anak itu? Aku melihat kedua anak tersebut , aku ragu memanggilnya. Kedua orang tuaku selalu mengajariku untuk bersikap sopan kepada anak-anak yang tak memiliki tempat tinggal. Akan tetapi, mereka selalu melarangku untuk berbicara terlalu lama dengan mereka. Aku tak ingin terus mengedepankan negative thinking-ku dengan terus berpikir panjang apakah mereka adalah anak-anak yang baik dan sopan atau tidak. Aku memanggil mereka berdua dan memberinya dua potong roti lapis isi cokelat. Anak-anak akan menyukai cokelat, tapi ini tentu tak akan baik di konsumsi oleh orang dewasa. Mereka menyimpan beberapa potong terakhir dengan beralasan bahwa mereka telah kenyang. Setelah aku menanyainya dan membujuknya untuk jujur, mereka memberiyahuku bahwa kedua orangtuanya dan adik-adiknya belum makan sejak kemarin sore dan mereka harus pandai berbagi makanan. Aku lantas mengeluarkan lima bungkus roti untuk mereka bawa pulang dan dua potong sandwich yang kubeli untuk kunikmati saat perjalanan nanti. Tak apa, rasa lapar yang aku alami saat di kereta nanti tak sebanding dengan rasa lapar yang anak-anak ini rasakan saat tak punya pilihan menu untuk makan. Kala melihat anak-anak seumurannya mencicipi makanan enak dan bergizi, mereka hanya bisa mengumpulkan koran untuk mencari tempat tidur. Saat kutanyai dimanakah tempat tinggal mereka? Mereka berkata bahwa mereka tinggal dimana saja saat musim dingin, karena jembatan akan di penuhi oleh gunung salju dan tak bisa mereka tempati. Saat musim panas dan gugur, mereka akan menetap di bawah jembatan Most Świętokrzyski di pinggiran sungai Vistula. “Ah, aku kenyang” seru gadis itu padaku. "Terima kasih nona cantik, aku akan selalu mengingat kebaikan hatimu" Seorang anak lelaki berusia 12 tahun menunduk hormat padaku dan tersenyum hangat sebelum aku memasuki kereta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD