Bab 2: Juan Jendral Hariez

1016 Words
"Aku benci Om Juan! Jangan mentang-mentang karena aku baru 15 tahun, om bisa berbuat sesukanya!" "Apa yang salah? Om hanya melakukan apa yang enggak bisa om lakukan padamu, Dara." Juan berkata santai. "Lagi pula om juga enggak mungkin melakukan hal ini sama kamu. Kamu terlalu kecil untuk om," tuturnya santai. "Tapi, aku istri om!" "Hanya siri, Dara. Nanti setelah kamu berusia 20 tahun, kita bisa bercerai." Juan berkata dengan santai. "Oh, om juga enggak mungkin hidup tanpa perempuan yang menghangatkan ranjang om." "Enggak perlu tunggu aku 20 tahun. Sekarang juga aku mau kita cerai. Om jangan pernah cari aku. Aku membenci om!" "Juan, aku minta tolong untuk menjaga putriku dengan baik. Dia gadis polos dan manja. Aku tidak ingin melihatnya terluka." "Juan, tolong jaga Adara." "Juan, tolong jaga putriku." "Juan, jangan pernah sakiti putriku." "Juan ...." Juan membuka matanya dengan napas memburu. Pria yang tengah bertelanjang d**a itu mendudukkan dirinya dan mengusap wajahnya kasar. Mimpi itu datang lagi. Selalu datang saat Juan mulai terlelap. Mimpi yang tidak bisa membuat hidupnya tenang. Mimpi tentang Adara dan papa dari gadis itu. Gadis yang merupakan istrinya--Adara--yang saat ini tidak ia ketahui keberadaannya. Juan sudah mengerahkan anak buahnya untuk menemukan keberadaan istri kecilnya itu. Namun, anak buah yang ia bayar bukanlah anggota FBI, CIA, atau detektif terhebat yang muncul di sebuah film. Juan berada di dunia nyata dimana setiap proses yang ia jalani tidak instans. Juan menghela napas berat. Pria itu segera turun dari tempat tidur dan memakai pakaiannya dengan lengkap. Setelah itu, ia berbalik keluar dari kamar apartemen yang selama lima tahun ini ia tempati. Juan tidak bisa tinggal di rumah yang memiliki kenangan dengan Dara. Meskipun baru beberapa bulan menikah dengan gadis itu, Juan cukup dekat dan mengetahui sifat serta kebiasaan gadis itu. Juan melangkah keluar dari apartemen miliknya. Pria itu turun ke lobi kemudian menuju baseman mobil di mana mobilnya berada. Juan memacu kendaraannya membelah jalanan Ibukota yang tidak terlalu padat. Jelas saja karena saat ini Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Juan perlu menenangkan pikirannya dan tujuan untuk menenangkan pikirannya adalah pantai. Setelah tiba di Pantai, pria itu kemudian turun dari mobil dan menyusuri bibir pantai dengan sandal sebagai alas kakinya. Udara dingin dengan santai melahap tubuhnya yang hanya terpasang T-shirt dipadukan dengan celana pendek tanpa mengenakan jaket sebagai penghangat. Entahlah Juan juga tidak paham apa yang membawanya ke pantai dan menikmati udara malam yang begitu dingin. Namun, hanya dengan cara ini ia bisa menenangkan pikirannya. Dua tahun di awal saat Dara meninggalkan rumah Juan tidak merasakan apa-apa. Namun, saat tahun ketiga mimpi tentang tangisan Dara serta ucapan sahabatnya--Angga-- terus menghantuinya setiap malam. Juan menghembuskan napasnya berat. Pria itu terus berjalan di sekitar bibir pantai sampai akhirnya matanya menangkap sesuatu yang janggal tak jauh dari posisinya saat ini berada. Juan berlari kemudian menarik sosok gadis yang berniat untuk bunuh diri dengan cara menenggelamkan dirinya ke air laut. Juan membawa gadis itu ke pinggir pantai dan menghempaskan tubuh yang terus memberontak hingga jatuh tersungkur di atas pasir pantai. "Apa yang kamu pikirkan? Ingin mengakhiri hidup?" bentak Juan marah. Matanya memicing tajam menatap gadis dengan rambut panjang yang juga membalas tatapannya. Terlihat jelas gadis itu menangis sesenggukan di hadapannya tanpa bangkit dari posisi duduk. "Kenapa kamu menyelamatkan aku? Aku ingin mati! Aku ingin bunuh diri. Untuk apa aku hidup kalau laki-laki yang menghamiliku enggak mau tanggung jawab!" Wanita itu balas berteriak. "Kamu enggak tahu beban pikiranku. Aku malu dan sudah diusir dari keluargaku. Enggak ada harapan untuk aku hidup!" "Kamu sudah melakukan satu kesalahan dengan hamil di luar nikah. Terus kamu mau melakukan kesalahan lagi dengan cara bunuh diri dan membunuh bayi yang ada di dalam kandungan kamu? Sinting!" maki Juan. Meskipun dia bukan manusia suci, bukan berarti ia akan membiarkan seorang ibu tega membunuh janin dalam kandungannya sendiri. Maka dari itu Juan selalu bermain aman agar teman tidurnya tidak hamil dan membuat semua rencana masa depannya hancur berantakan. Sayang sekali Juan sudah menghentikan kegiatan petualang ranjangnya sejak 3 tahun lalu. Entah ini karena faktor usia atau apa tapi semangat menggelora-nya untuk berpetualang dari ranjang satu ke ranjang lainnya, mencicipi semua perempuan yang mau diajak bekerjasama di atas tempat tidur hilang tak berbekas. Tidak ada nafsu dan semangat ketika melihat wanita bahkan dalam full naked sekalipun. "Tenangkan pikiranmu. Ayo, ikut saya. Kamu enggak bisa berdiam di sini terus atau besok pagi akan ada berita penemuan mayatmu di sini." Juan kemudian membawa perempuan itu ke dalam mobilnya. Setelah itu ia membawa perempuan itu kembali ke apartemennya dan menyeduh satu gelas s**u hangat yang langsung ia serahkan pada sang perempuan yang belum ia ketahui namanya. "Siapa nama kamu?" "Untuk apa kamu tahu?" Juan berdecap ketika mendengar pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan. Tentu saja ia ingin tahu siapa nama perempuan yang sudah ia tolong tersebut. "Namaku Eva," sebut perempuan itu. "Oke, Eva. Sekarang kamu istirahat di kamar tamu yang di situ." Juan menunjuk sebuah pintu yang tepat berada ada di belakang sofa ruang tamu apartemennya. "Besok kita akan bicara. Jangan bunuh diri karena saya enggak mau ada kasus di apartemen ini. Mengerti?" Juan menatap tajam sosok Eva yang langsung mengangguk patuh. "Kalau begitu istirahat lah. Saya juga mau istirahat." Setelah itu Juan berbalik pergi menuju kamarnya yang terletak di sisi lain ruang tamu tempatnya berada. Kamar luas yang sudah ia tempati beberapa tahun terakhir ini adalah tempat yang nyaman untuk menenangkan diri selain jalan-jalan keluar rumah. Juan mendudukkan dirinya di atas tempat tidur seraya mengambil bingkai foto saat akad nikahnya bersama Dara beberapa tahun yang lalu. Ekspresi wajah pria itu tampak mendung menatap wajah sahabat lamanya yang mungkin sudah kecewa dengannya sebab apa yang sudah dilakukannya pada putri satu-satunya. "Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku enggak melakukan hal itu pada putrimu. Kamu bahkan tahu kalau aku bukan pria yang baik saat itu, tapi kamu masih mempercayakan putrimu padaku." Juan berkata seraya menatap lekat wajah sahabatnya yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. "Aku sudah berusaha untuk mencari keberadaan putri namun nggak ada hasilnya. Tapi, kamu tenang saja, aku akan segera menemukan keberadaan Dara." Juan bergumam kemudian meletakkan kembali bingkai foto tersebut di atas nakas kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD