02

2457 Words
Adkey membaca pesan di ponselnya dengan senyuman mengembang. Tadi saat neneknya tahu bahwa ia pulang, neneknya langsung mengirimkan pesan padanya bahwa wanita itu ingin dibelikan bolu dari sebuah toko kue bernama ‘In Luv’, hingga saat ini, jadilah Adkey berdiri di depan sebuah toko itu sambil menatap baik-baik tulisan besar diatas toko agar ia tak salah masuk toko yang dimaksud neneknya. Sesampainya adkey di dalam toko, ia cukup dikejutkan dengan perdebatan yang membuatnya penasaran hingga akhirnya ia memperlambat pemilihan kue agar bisa mengetahui apa yang pemilik toko perdebatkan dengan seseorang yang tak Adkey lihat wujudnya. Ia merasa penasaran ketika dua wanita itu saling menyudutkan dengan mengungkit permasalahan ‘kehilangan keperawanan’. Bahkan beberapa orang yang ada di sekitarnya, yang juga merupakan pellanggan toko, melakukan hal yang sama dengan Adkey karena mereka juga penasaran. "Sudahlah La, kau tidak perlu mencarinya lagi. Kau ini sebenarnya bodoh atau apa? Sudah jelas-jelas dia adalah pria tak bertanggung jawab" dengkus Narisa kesal. Ia bahkan tak lagi peduli dengan beberapa pelanggannya yang terlihat tak nyaman. Jujur saja, ia mulai kesal dengan kebodohan Ela yang terus berusaha mencari pria tak bertanggung jawab itu. Ia sudah bingung bagaimana cara menyadarkan sahabatnya itu. Ela yang duduk dibawah etalase roti dan meja kasir karena sibuk membersihkan isi meja, tak ingin kalah dari Narisa yang terus menyalahkannya. Entah bagaimana, tapi ia memiliki feeling bahwa pria itu juga mencarinya, tapi mereka tidak menemukan waktu yang tepat. "Mau menunggu berapa lama lagi, sekarang sudah minggu keberapa kau mencari?" tanya Narisa seakan mengerti isi hati Ela yang membantah ucapan gadis itu. "Minggu ke-7" jawab Ela lemah. "Sudah minggu ketujuh, dasar bodoh. Kalau aku jadi sepertimu, aku akan menemukannya untuk mencabik-cabik wajahnya, seenaknya saja memerawani anak orang dan meninggalkannya begitu saja" desis Narisa menggebu-gebu sambil mengacungkan pisau bolunya yang membuat pelanggannya meneguk sudah ngeri. Adkey sendiri juga meneguk ludahnya karena merasa tersindir dengan ucapan itu karena ia mengalaminya sendiri. Rasanya seperti gadis itu memang sengaja menyindirnya, bukan kebetulan saja ia bisa mendengar hal itu. Ah, Adkey jadi merasa serba salah karena dirinya sebenarnya berusaha mencari wanita itu, namun tak kunjung menemukan. Lagian ia juga sudah meletakkan sebuah kertas berisi nomor telepon diatas meja kecil disamping tempat tidur, tetapi tak ada panggilan asing menyelinap ke ponselnya. Ia sempat berpikir bahwa wanita itu mungkin saja tak membutuhkan pertanggung jawaban karena mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Flashback On Ela menggerutu kesal mengingat kejadian barusan, saat ia menghampiri studio kekasihnya dan menemukan pria itu sedang mengayunkan pinggulnya maju mundur, menyetubuhi seorang wanita yang mendesah-desah dibawahnya. "Sialan, dasar laki-laki brengsekk" pekiknya cukup kuat ditengah suara dentuman musik yang membuat kata-katanya seolah ditelan oleh keributan. Ya, ia sedang berada disebuah club malam yang cukup populer dikota itu. Menikmati alkohol untuk menghilangkan kekesalannya, tak ada salahnya juga kan. Ia butuh pelampiasan "Aku harus mencari pria yang lebih tampan dan mapan dari si brengsekk Leon" janjinya pada dirinya sendiri. Dalam diam, Adkey mendengarkan ucapan gadis itu dan terkekeh geli. Padahal tadi niatnya hanya meneguk beberapa gelas alkohol lalu kembali pulang, namun kini ia malah seperti tertarik untuk menjadi pria yang memenuhi kriteria yang wanita itu inginkan. Ia memperhatikan kepala gadis itu yang sedari tadi tampak celingak-celinguk, yang Adkey duga sedang mencari mangsa. Mata Ela menjelajahi isi club, melihat bagaimana orang-orang berbaju kurang bahan berlalu lalang dihadapannya. Kebanyakan dari yang berada di dalam club, sepertinya hanya memakai dalaman saja, dilapisi rok yang menunjukkan celana dalam tipis atau berenda. Kalau atasan, sepertinya tak perlu dikatakan lagi, karena ia melihat hampir seluruh dua bukit kembar para wanita didalamnya, keluar dari persembunyiannya. Ia menatap penampilannya lalu melepas cardigan yang menempel di tubuhnya dan menutupi dirinya yang memakai baju crop-top. Matanya masih meneliti orang-orang disekitarnya, persis seperti wanita pakai yang mencari mangsa untuk segera diterkam. Tidak sampai lima menit, seseorang menghampirinya dengan senyum menggoda yang teramat memabukkan bagi Ela. Ela bahkan sampai meneguk ludahnya melihat pria itu merapatkan tubuh padanya saat beberapa orang dari belakang pria itu tampak terburu-buru dan berbondong-bondong menyenggol pria didepannya. Ia mencium aroma kelelakian yang menggairahnya dengan dalam, mencoba mengingat jelas bahwa ia tak salah target meskipun hanya merasakan wangi secara tak langsung itu. "Hai, cantik" sapa Adkey sambil menundukkan kepalanya untuk menatap Ela karena posisi mereka yang sangat dekat. Ela mendongak, menatap Adkey dengan tatapan kagum yang tak bisa ia sembunyikan "Hai" sapanya terbata karena gugup. Adkey terkekeh melihat wajah menggemaskan itu "Mau menjadi teman ranjangku malam ini?" tawarnya, sangat berharap bahwa wanita itu mengangguki ajakannya dengan senang hati. Tadi saat mendengar gerutuan gadis itu, ia langsung tertarik menghampiri dan begitu cardigan yang dikenakan gadis itu terbuka sepenuhnya, Adkey sigap berdiri untuk menyambar targetnya itu karena takut didahului pria lain. Tubuh sebagus dan semulus itu sangat banyak peminatnya, sampai Adkey saja tak bisa menahan air liurnya sangkut ditenggorokan lebih lama. Melihat gadis itu juga terpesona padanya, sepertinya tak ada salahnya juga untuk melancarkan aksinya membawa gadis itu ke ranjang. "Kenapa diam? Apa aku hanya perlu menggendongmu saja keatas tempat tidur?" tanya Adkey lebih agresif. Melihat gadis didepannya itu hanya diam membuat Adkey tak ingin menunggu lebih lama lagi, hingga ia mengulang pertanyaannya lebih eksplisit. "Kau sudah punya kekasih?" tanya Ela dengan ragu, bahkan sampai menggigit bibirnya. Pertanyaannya yang seperti itu berhasil menimbulkan kekehan geli di bibir Adkey. Pria itu merapatkan dirinya ke tubuh Ela dengan tangan yang melingkar ditubuh wanita itu "Aku bukan tipe pria yang ingin menjalin hubungan pacaran" akunya jujur. Ia tak ingin membuat gadis didepannya itu berharap lebih kepadanya. Ela menatapnya dengan lugu "Aku mau diajak menikah" balasnya membuat Adkey menganga tak percaya. Pacaran saja ia tak siap, apalagi menikah. "Kau mengenal siapa aku?" tanyanya cukup bingung. Ia ingin mengetahui alasan gadis itu menawarinya suatu pernikahan. "Tidak" kepala gadis itu menggeleng dengan wajah naif. "Lalu mengapa kau menawarkan diri untuk menikah denganku?" "Aku hanya mengagumi ketampananmu. Dan kalau kau menyentuh ku malam ini, aku ingin hubungan kita lebih jauh. Aku ini tipe wanita yang setia dan tidak banyak protes kalaupun kau tidak perhatian. Yang pasti kau memiliki biaya untuk menghidupiku" jelas Ela "Aku tidak bisa menjanjikan hal seperti itu kepadamu, apalagi ini adalah pertemuan pertama kita” aku Adkey jujur. Ela menganggukkan kepala mengerti “Baiklah, aku tidak akan memaksamu, tapi bisa ku pastikan kalau kau akan mengajakku menikah begitu kita mengusaikan malam ini dengan panas” yakin Ela diangguki oleh Adkey. Adkey bukan pria yang semudah itu untuk jatuh cinta. Ia bukan saudara kembarnya yang sering kali mengalami luka hanya karena cinta. Bahkan untuk mengenal cinta saja, rasanya Adkey ragu, tak pernah ada ketertarikan yang muncul dari dirinya saat berhadapan dengan wanita manapun. Ia sempat ragu bahwa dirinya adalah pria normal, karena tak kunjung mengenal cinta untuk lawan jenis, namun akhirnya ia sadar kalau ia memang normal setelah berhubungan dengan jalang dan merasakan ereksi pada dirinya. Flahback Off Melihat beberapa pellanggan sudah pergi dan hanya menyisakan seorang pria yang termenung didepan etalase rotinya, Narisa menghampiri pria itu dan menyapanya dengan kesan sopan “Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Adkey tersadar dari lamunannya dan menatap wajha Narisa seperkian detik “Ah, maaf, aku hanya ingin membeli rotin ini dan yang itu” tunjuknya pada dua buah roti yang berbeda. Narisa langsung mengambil kotak rotinya dan mengemasnya dengan rapi. “Ini pesanan anda” “Terima kasih” ujar Adkey sambil mengulurkan uangnya pada Narisa. “Nar, sepertinya aku tidak menemukan cardigan ku” teriak Ela dari ruangan disamping tempat produksi kue, tepat dimana matanya muncul dan mengintip kearah Narisa yang kini menatapnya. Sayangnya, Adkey saat itu harus mengangkat ponselnya yang berdering hingga ia tak melihat bahwa Ela adalah wanita yang ia cari dan yang mencarinya. “Oh, ayolah La, ini bukan kontrakan sehingga kau bisa menemukan setiap pakaianmu disini” teriak Narisa kesal. Ela terkekeh sambil mengintipkan kepalanya lebih keluar agar melihat sosok pria yang masih bertelponan di dekat Narisa. Ia tiba-tiba berharap bahwa pria itu adalah pria yang selama ini ia cari. Adkey mengambil pesananya lalu sekali lagi mengucapkan terima kasih pada Narisa yang diangguki gadis itu dengan senyum ramahnya. Kemudian, pria itu menghampiri mobilnya dan langsung membawanya ke tengah keramaian kendaraan. Ia memantapkan hati bahwa malam ini ia harus pergi ke club, tempat dimana ia bertemu dengan gadis yang ia perawani itu. Ia tak bisa membiarkan perasaannya terus merasa gelisah seperti ini karena tak meninggalkan apa-apa untuk wanita itu. Lagipula, tujuannya pulang ke negara asalnya ini, memang untuk mencari wanita itu kan, maka ia tak boleh menyia-nyiakannya, selagi Alva membantunya beberapa hari ini. Tidak sampai 20 menit, Adkey menghentikan mobilnya didepan rumah yang tampak asri karena sekitarnya begitu banyak tanaman bunga dan pepohonan yang cukup tinggi. Jarak rumah disana juga tak begitu dekat satu dengan yang lainnya. Itu adalah rumah neneknya, peninggalan kakeknya sebelum meninggalkan wanita tua itu sendirian dan mengurus ibu dan tante-tante Adkey sendirian. “Ad” sapa gadis muda dengan sumringah menatap Adkey. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Adkey cukup heran karena setahunya, adik perempuannya itu sama sekali tak menyukai suasana rumah neneknya yang terbilang tak cukup ramai dan cukup jauh dari perkotaan. “Aku kesal berada di rumah, Mama terus menyuruhku untuk belajar” keluhnya sambil memajukan bibir dengan cemberut. Adkey merangkul bahu adiknya itu “Kau memang harusnya belajar, bodoh. Kau ini kan akan menjadi mahasiswa” “Siapa yang kau bilang bodoh, Ad. Kau tidak tahu kalau kau lebih bodoh dari Eloy” ujar nenek Adkey yang entah sejak kapan sudah berada di dekat mereka. Adkey mendekatinya neneknya lalu mencium wanita tua ini sambil terkekeh “Kau kan tahu kalau segala kepintaranku sudah diambil oleh Alva. Otakku ini tidak bisa dipaksakan untuk seperti itu, nenek” ujarnya membela diri. Meskipun begitu ia memang mengakui kalau kemampuan berpikirnya berbeda dengan Alva yang rajin dan penuh kemauan, serta Eloy yang pintar tapi malam menggunakan kepintarannya karena tak suka dikekang. “Kau membawa kue yang ku titipkan?” tanya nenek bernama Ginni itu. “Tentu saja, nenek” tanggap Adkey dengan menunjukkan bingkisan yang ia bawa di tangan kanannya. “Kau sendiri, ada urusan apa disini?” tanya Eloy tampak penasaran. Setahunya, kakak ketiganya itu memiliki pekerjaan diluar negeri, bahkan hingga membutuhkan bantuan kakak keduanya yang langsung menyusul dengan sigap. “Something not special” kekehnya sambil mengangkat bahu tak acuh. Eloy hanya menganggukkan kepala dan menyusul langkah kakak dengan neneknya. “Aku mau mandi dulu, Nek, Loy” pamit Adkey, segera berlalu dari ruang keluarga dimana nenek dan adiknya hendak menikmati dua kue beda jenis itu dengan gelas teh masing-masing. *** “Kau mau kemana, kak?” tanya Eloy melihat penampilan Adkey yang lebih rapi dari biasanya. “Hanya mencari udara segar, mumpung aku memiliki waktu dua hari disini” jawab Adkey. “Aku ingin ikut” pinta Eloy dengan wajah tatapan memohonnya. “Kau mau apa?” “Aku bosan dengan makanan di rumah Nenek, semuanya serba tua” desisnya. “Kau lihat gigiku sudah berkurang, bukan?” desis neneknya kesal. “Baiklah, ayo” ajak Adkey berhasil membuat mata Eloy membulat karena bersemangat. Sejak di rumah neneknya, Eloy jadi kesulitan untuk ke kota karena neneknya sama sekali tak punya supir, beda dengan rumah orang tuanya yang apa-apa serba ada dan mudah. Didalam mobil, Eloy sibuk me-list segala keinginannya kepada Adkey dengan alasan ia jarang mendapat apapun dari uang pria itu. Ya, Adkey akui bahwa diantara tiga laki-laki yang merupakan keturunan Antonio Wikler-ayahnya-, Alva adalah yang paling dekat dengan Eloy, sehingga adiknya ini lebih senang meminta apapun tentang uang kepada Alva. Sedangkan dengan Alan Wikler, anak pertama dari Antonio Wikler, Eloy, Alva bahkan Adkey sudah tak terlalu dekat karena kakak pertama mereka itu sudah membina rumah tangga. Adkey sendiri tidak begitu dekat dengan para saudaranya, selain Alva, karena kebiasaannay yang selalu jauh dari keluarganya. Sejak kecil, Adkey memang tinggal terpisah dari orang tuanya. Ia tinggal di rumah nenek dan kakek yang merupakan ayah dari ayahnya. Hal itu terjadi karena nenek dan kakeknya masih terlalu percaya pada beberapa hal yang aneh, seperti ‘anak kembar selayaknya dipisahkan saja agar tak terjadi hal buruk pada salah satunya atau bahkan keduanya’. Neneknya percaya bahwa jika salah satu dari sikembar mengalami hal buruk, maka yang satu lagi akan mengalaminya juga, maka untuk mengantisipasi hal itu, nenek dan kakenya memutuskan untuk memisahkan Adkey dari orang tuanya, bahkan saudara-saudaranya. Sejak itulah, Adkey menjadi terbiasa dengan jarak diantara ia dengan saudara-saudaranya, meskipun mereka masih cukup sering bertemu jika ada waktu berlibur satu sama lain. “Ini restoran yang katamu sangat ramai di kunjungi oleh banyak orang?” tanya Adkey begitu melihat sebuah restoran yang suasananya tak begitu menarik bagi pria itu karena terkesan sangat lebay dengan banyak sekali aksen-aksen yang bisa digunakan untuk berfoto. Adkey bahkan bergidik ngeri melihat ada beberapa orang yang rela mengantri demi mendapatkan waktu untuk berfoto secara bergantian. “Iya. Bagus kan?” “Tidak sama sekali” cetus Adkey. “Tidak apa-apa kalau kau tidak suka. Itu wajar karena umurmu sudah tua” desis Eloy berusaha jujur. “Sialan” umpatnya. Matanya mencari-cari kursi kosong karena ternyata restoran ini benar-benar cukup ramai. Sepertinya yang datang ke restoran ini adalah pasangan kekasih semua karena Adkey tak melihat ada banyak kendaraan di parkiran tadi. “Kita duduk disana saja” tunjuknya pada sebuah meja yang kosong, meskipun masih ada bekas makanan yang tersisa karena meja belum dibersihkan oleh pelayan restoran. “Pesanlah apapun yang kau inginkan” titah Adkey. Eloy mengangkat tangannya kepada pelayan restoran lalu mengatakan “Permisi, bisa tolong bersihkan meja ini” ujarnya yang langsung diangguki oleh pelayan. *** “La, sepertinya hari ini ada terlalu banyak pelanggan. Kau masih bisa melayani?” tanya salah satu pelayan restoran yang bernama Misel kepada Ela yang tampak mengurut kepalanya yang tiba-tiba saja terasa pusing setelah tadi memuntahkan air dari perutnya. Wajah pucat Ela menjadi pertimbangan besar untuk Misel berani mempertanyakan hal itu. Ela menganggukkan kepalanya “Sepertinya ini hanya pusing biasa karena aku masuk angin. Aku yakin bisa membantu” ia mencoba meyakinkan Misel yang sangat ragu. Ela menatap Misel seperkian detik kemudian “Tapi tiba-tiba kepalaku tak bisa diajak bekerja sama” ujarnya sebelum akhirnya terbaring lemah karena tak sadarkan diri. *** “Menurutmu ada apa?” tanya Eloy menatap Adkey ketika melihat para pelayan di restoran tampak panik. Eloy sendiri dapat melihat kepanikan mereka karena posisi duduknya yang menghadap meja kasir yang tak jauh dari mejanya dengan Adkey. “Berhentilah bersikap seperti wartawan yang ingin tahu segala hal, El” dengkus Adkey sembari menggelengkan kepalanya. “Aku penasaran sebagai manusia. Tingkat penasaran manusia itu tinggi tahu” balas Eloy masih berusaha melihat apa yang terjadi di pantry dari tempat duduknya. Ia kemudian menganggukkan kepalanya “Ternyata ada yang pingsan” ujarnya begitu melihat seorang wanita digendong oleh seorang pria menuju luar restoran. Adkey memutar kepalanya dan melihat wanita pingsan itu sambil menyipitkan mata karena ia merasa mengenali wajah itu meski hanya dari sisi kiri saja, tetapi setelahnya ia tak ingin begitu meneruskan hal yang menurutnya hanya khayalan saja karena ia terlalu sering memikirkan wanita itu. “Sepertinya aku pernah melihat wajahnya” Eloy tampak berpikir ketika melihat wajah wanita yang pingsan itu, namun setelahnya ia menggelengkan kepala karena tak ingin terlalu mengingat siapa wanita itu. Lagipula itu bukan hal yang penting menurutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD