“Apa kamu bilang?’ Bastian tampak sangat syok. Ia kemudian menatap sekitar, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar.
“Aku hamil,” ulang Intan.
“Enggak, enggak mungkin kamu hamil. Kita baru dua kali melakukannya, dan selama kita melakukannya, aku selalu menggunakan pengaman, jadi enggak mungkin ....”
“Kamu lupa? Saat pertama kali kita bertemu, kita melakukannya dua kali dalam satu hari, dan saat kedua kalinya, kamu sama sekali tidak menggunakan pengaman atau apa pun itu, kamu sendiri yang menaruh benihmu di dalam sini, Bas,” tukas Intan sembari menunjuk perutnya sendiri.
Bastian terdiam, ingatannya seketika itu meluncur, ia menatap kosong ke depan saat apa yang Intan ucapkan itu benar. Ya, dia sudah ingat semuanya. Tapi seingatnya, dia selalu menggunakan cara aman.
Di dalam memorinya, Bastian ingat kalau dia membuang benihnya di luar. Tapi bagaimana jikakalau waktu itu dirinya memang lalai? Pikiran Bastian pun menjadi kacau, ilusi dan kenyataan beradu di dalam benaknya yang membuatnya merasa pening.
“Kamu yakin itu anakku dan bukan anak dari suami kamu?” lirih Bastian, raut wajahnya tampak terpukul berat. Dia bingung harus bagaimana setelah ini.
“Selama ini aku tinggal di apartemen yang kamu kasih, Bas. Dan udah hampir satu tahun ini aku enggak pernah ketemu sama Dimas,” bohong Intan, caranya berbohong sangat mulus sekali. Padahal baru kemarin dia bertemu dengan suaminya itu.
Bastian menghela napasnya pelan. Kini dia benar-benar seperti terjebak di dunia gelap yang membuatnya sulit untuk menemukan jalan keluar.
“Aku bakal ajuin gugatan cerai ke Dimas, setelah itu kita bisa menikah,” ujar Intan, membuat Bastian terbengong mendengarnya.
“Menikah?” lirih Bastian. “Kamu gila, ya? Aku ini sudah punya istri, enggak mungkin aku nikah sama kamu,” tukasnya.
“Dalam agama dan negara kita, laki-laki berhak memiliki dua istri atau lebih, Bas,” cakap Intan.
Bastian menggelengkan kepalanya. “Enggak, Intan. Aku enggak bisa punya istri lebih dari satu. Tania juga pasti lebih milih cerai daripada dipoligami,” tolaknya.
“Jadi kamu mau sia-siain anak kamu ini?” tukas Intan, mulai mempengaruhi pikiran Bastian. “Aku tahu kamu selama ini pengen banget punya keturunan, Bas. Tapi sayangnya istri kamu itu enggak bisa kasih keturunan buat kamu. Dan siapa yang menyangka kalau justru aku yang saat ini malah hamil anak kamu. Aku pikir, mungkin ini emang udah takdir kita, Bas. Kita enggak bisa menghasilkan keturunan dari pasangan sah kita, tapi kita yang bukan sepasang suami istri justru bisa memiliki anak,” tuturnya.
Embusan napas berat terdengar dari diri Bastian, ia lantas menatap Intan serius.
“Kita nikah siri aja gimana?” tawarnya.
“Nikah siri? Kamu pikir aku ini perempuan bodoh? Aku enggak mau,” tegas Intan, menolak. Karena baginya nikah siri sama saja dengan pernikahan palsu. Jika dirinya dan Bastian menikah siri maka mereka tentu tidak bisa bebas bermesraan di depan umum, dan hubungan mereka pun harus tersembunyi dari hadapan publik karena tidak diakui oleh negara dan bahkan mungkin keluarga.
“Terus kamu maunya gimana? Aku enggak bisa dan enggak mungkin nikahi kamu secara resmi, Intan. Karena keluarga aku pasti enggak akan setuju,” cakap Bastian, mencoba membujuk Intan untuk mau menikah siri saja.
“Mereka mungkin akan setuju kalau mereka tahu aku hamil, begitu juga dengan istri kamu. Dia pasti bakal sadar diri kenapa kamu nikahin aku lagi, dia enggak bisa kasih kamu keturunan dan aku bisa. Jadi kemungkinan dia bakal rela kalau kamu menikah lagi,” kata Intan, sungguh rubah betina yang sangat licik.
Bastian menghela napasnya kasar. “Oke, kasih aku waktu. Aku butuh waktu buat pikirin semua ini,” pintanya, dengan raut pasrah.
Intan tersenyum mendengarnya. Dalam hatinya dia sudah berteriak senang karena rencana keduanya berhasil. Ya, sekalipun setelah ini dia akan bercerai dengan Dimas.
‘Maaf, Dimas. Kamu yang membuatku memulai semua ini. Aku harus menggugatmu cerai karena ternyata aku masih mencintai Bastian. Apalagi dia lebih berguna daripada kamu. Dan terima kasih atas benih yang sudah engkau tabur di rahimku.’
***
“Assalamu’alaikum,” salam Tania saat ia melangkah masuk ke dalam rumah mertuanya.
Lestari, ibu mertuanya itu langsung tersenyum menyambut kedatangan menantu tercintanya.
“Wa’alaikumussalam,” ujar Bunda Tari. “Eh, Tania. Ya ampun, udah lama banget loh kamu enggak main ke sini,” ucapnya.
Tania mengurai senyumnya hangat, lalu menyalami tangan ibu mertuanya itu dengan sopan.
“Ayah di mana, Bun?” tanya Tania, mencari keberadaan ayah mertuanya.
“Jangan ditanya lagi, udah pasti dia sekarang lagi nongkrong di warungnya Bu Ida, lagi ngobrol sama temen-temen seangkatannya,” ujar Bunda Tari, ada goresan kesal yang tergambar di wajahnya.
“Kamu dateng sendiri, Tan?” tanya seseorang dari arah belakang Tania.
Tania dan Bunda Tari pun lantas menatap pada sosok pria yang terlihat setampan Bastian.
“Kak El kok ada di sini?”
“Dia dari minggu lalu nginep di sini, katanya mau awasin Deyana yang bentar lagi mau ujian nasional,” terang sang ibu mertua.
Tania mengangguk paham.
“Em, ngomong-ngomong pertanyaan aku tadi belum kamu jawab loh,” ujar Eldison.
“Oh, itu, Mas Bastian lagi ada urusan di luar, nanti katanya mau nyusul ke sini kalau urusannya sudah selesai,” jelas Tania.
“Dasar anak itu, selalu aja sok sibuk,” keluh Bunda Tari.
Tania hanya menanggapinya dengan senyuman tipis.
“Oh iya, Bunda. Ini Tania ada bawa kue kesukaan Bunda. Kebetulan kemarin Tania buat kue buat Mas Bastian, terus keinget sama Bunda,” cakap Tania seraya menyerahkan sebuah kotak berisi kue kepada ibu mertuanya itu.
“Masya Allah, makasih banyak loh. Bunda sebenernya dari kemarin-kemarin tuh mau hubungi kamu, mau minta ajarin buat kue. Soalnya ayahnya Bastian itu tiba-tiba pengen makan kue kering buatan kamu tapi dia enggak berani bilang sama kamu, takut ganggu katanya,” ujar Bunda Tari.
“Kenapa enggak bilang aja, Bunda. Nanti aku bakal buatin kok,” kata Tania.
“Harusnya Bastian bersyukur punya istri kayak kamu. Selain setia dan bisa melayani suami dengan baik, kamu juga cakap dalam segala hal,” sahut El, yang entah kenapa tiba-tiba memuji Tania.
“Bener kata si El barusan. Bunda aja juga bersyukur karena Bastian menikah sama kamu,” timpal Bunda Tari.
Tania yang tidak tahu harus menjawab apa hanya bisa tersenyum singkat.
Di sisi lain, dalam hati El, ia merasa miris dengan nasib Tania. Perempuan itu sangat lugu dan naif, sungguh sangat mudah untuk membuatnya remuk ribuan kali.
El menghela napasnya berat, lalu ia melangkah pergi meninggalkan Tania yang masih mengobrol dengan Bunda Tari.
Namun tanpa El sadari, saat dirinya melenggang pergi, Tania terlihat terus memperhatikannya, melihat punggungnya yang semakin lama semakin menjauh.
‘Kak El, sebenernya apa yang kamu tahu tentang Mas Bastian? Apa benar ada sesuatu lain yang tidak aku ketahui? Haruskah aku menanyakan perihal foto yang Mas Bastian maksud kemarin? Foto apa yang sebenarnya kamu miliki?’