PROLOG

759 Words
Cinta berlalu di depan kita, terbungkus dengan kerendahhatian; namun kita lari ketakutan darinya, atau bersembunyi di kegelapan; atau mengejarnya, untuk berbuat culas atas nama cinta. [Khalil Gibran] . === . Hari Minggu. Cewek itu duduk di sebuah kursi menyandar dinding sambil menatap lorong-lorong sekolahnya yang tampak sepi. Tidak ada yang dilakukannya. Hanya duduk manis sambil tersenyum memandang salah satu lorong di depannya. Secara mental dan psikologis, cewek itu normal. Tidak ada satu gangguan kejiwaan yang menyerangnya. Lantas, mengapa justru di hari Minggu—hari di mana sebagian besar pelajar mengambil jatah istirahat dan menghindari mati-matian dari yang berbau “sekolah”—cewek itu justru berada di kawasan sekolah dan tersenyum pada salah satu lorong di depannya? “Feb!” Mendengar suara yang cukup keras memanggil sebuah nama, cewek itu terkejut dan langsung menolehkan kepalanya ke sumber suara. “Sori lama. Gue masih harus ngurusin beberapa dekorasi buat lomba piala bergilir besok. Lo nggak pa-pa?” Cewek itu—yang kini diketahui bernama Febri—kembali melirik sekilas pada salah satu lorong yang sedari tadi mengambil seluruh perhatiannya. Sialnya, lorong itu tidak lagi membuat Febri tersenyum, melainkan membuat cewek itu buru-buru mengalihkan pandangannya kembali pada Erina, sahabatnya yang paling menyebalkan. “Nggak pa-pa apanya? Nggak pa-pa nungguin lo selesai lima jam lagi, atau nggak pa-pa gue dibuat sengsara nungguin lo?” jawab Febri dengan nada malas. “Salah lo sendiri dari tadi ngotot minta ikut gue. Alasannya, sih, nemenin. Padahal ada maksud lain kan? Ya, kan?” tuding Erina sambil menyipitkan mata. Febri tidak menjawab, melainkan melirik lagi pada lorong di depannya. Wajahnya semakin menekuk. Sekarang, lorong itu jadi tampak biasa saja. Tidak ada yang menarik. Andai Erina tidak menghampirinya lebih dulu, pasti lorong itu masih membuat Febri tersenyum. Semakin lebar. “Lo ngeliatin apa, sih?” Erina yang mengetahui arah pandangan mata Febri pun ikut melirik. Kosong. Tidak ada apa-apa. Hanya ada lorong panjang yang tampak sangat tidak menarik. “Enggak. Gue keingat belum bayar utang gue sama ibu kantin,” jawab Febri. Erina tertawa. “Yaudah, gue balik lagi ke ruang OSIS. Kalo lo mau pulang, kabarin gue biar gue nggak bingung nyariin lo.” “Hm.” Febri mengacungkan jempolnya. Tempat di mana Febri berada, menjadi sepi kembali. Hanya ada angin yang terus berembus, bunyi dedaunan yang saling menggesek puffing, dan bunyi ketukan sepatu Febri di lantai. Dia mendesah. Ini benar-benar membosankan. Cewek itu melirik jam tangannya, kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan mengitari sekolahnya yang besar itu. Tak lama sesudah ia berdiri, terdengar langkah kaki yang saling beradu menuruni anak tangga. Febri menoleh ke kanan, tepat di saat kedua cowok asing itu sudah mencapai tangga terakhir. Febri terkejut dan mematung untuk waktu yang cukup lama. Otaknya seperti berhenti berfungsi. Jantungnya berdegup keras dan memforsir darah dengan sangat cepat. Rasanya ingin meledak. Entah betapa tololnya ekspresi yang Febri tunjukkan saat ini. Melihat seorang cewek terbujur kaku sambil menatap kedua cowok itu, membuat mereka menoleh dan membalas tatapan Febri. “Bukannya hari ini harusnya cuma anak OSIS doang yang boleh memasuki kawasan sekolah, ya?” tanya salah satu cowok yang berwajah campuran Pakistan kepada teman di sebelahnya yang hanya memasang wajah heran. Merasa pertanyaannya tidak terjawab oleh temannya, cowok itu berjalan mendekat ke arah Febri sambil menenteng beberapa dokumen di tangannya. “Lo Febriana dari kelas 10 Ipa 4, kan?” tanya cowok itu. Febri tidak memberikan respons apa-apa. Masih diam layaknya seorang mumi. “Maaf, tapi seharusnya non-OSIS dilarang memasuki kawasan sekolah jika tidak ada keperluan apa-apa. Lo temannya Erina, kan?” Tidak ada jawaban. “Lo mau gue sampaikan sesuatu ke Erina?” tanya cowok itu lagi. Masih tidak ada jawaban. Cowok blasteran Pakistan itu mengernyitkan dahinya bingung. Sempat terbesit di pikirannya bahwa cewek ini sedang melakukan aksi Mannequin Challenge. “Ayo deh, balik,” sahut temannya sambil menepuk lengan cowok blasteran tersebut. Setelah kedua cowok itu pergi, barulah Febri bisa melemaskan tubuhnya yang sempat tidak berfungsi itu. Menyadari kebodohan yang dilakukannya, ia merutuki dirinya sendiri. “b**o, b**o, b**o! Kok lo b**o banget, sih?!” umpat Febri pada dirinya sendiri. Betapa memalukannya dia. “Sumpah lo b**o banget!” Febri mengepalkan kedua tangannya gemas melihat tingkahnya sendiri. Hari Minggu ini akan menjadi hari yang tak akan pernah terlupakan bagi Febri. Di mana ia bisa tersenyum sepanjang hari mengingat kejadian di depan anak tangga, di mana ia bisa menatapnya dengan jarak yang dekat, di mana ia merasa menjadi cewek yang paling beruntung karena bisa berada di dekatnya. Ah, Febri tak sabar untuk segera pulang dan menanti hari esok. Hari di mana ia yakin akan bertemu lagi dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD