BAB 6 – Perasaan Aneh

1579 Words
Seminggu sudah Alkitab Mentari kembali kepadanya. Gadis itu sangat senang dan semakin bersemangat mendalami isi buku suci miliknya. Mentari berharap, suatu saat nanti, ia bisa mengabdi kepada masyarakat melalui ilmu agama yang ia miliki. Ia terbangun dengan perasaan luar biasa bahagia. Ia sudah berencana akan menemui pemuda yang sudah mengembalikan barang berharga miliknya. Mentari ingin memberikan se rantang makanan untuk Azzam. Awalnya, ia berniat memasak sendiri makanan yang akan ia berikan kepada Azzam sore nanti. Namun, Mentari sadar, Azzam berbeda. Ia tidak ingin Azzam menolak masakanannya hanya karena perbedaan yang mereka miliki. Akhirnya, Mentari memutuskan akan membeli makanan halal untuk pria yang sudah mengembalikan kitab suci miliknya. pagi ini, gadis cantik ber mata lentik itu, tampak sibuk membantu ibunya di dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia tidak punya cukup banyak waktu, sebab ia juga harus segera menuju gereja demi memunaikan kewajibannya sebagai guru kelas minggu untuk anak-anak. “Kak, masak apa untuk makan pagi?” Herty—adik Mentari yang tengah duduk di kelas tiga SMA—menggoda kakaknya di dapur. “Bertanya sajanya kau, tolonglah kakakmu itu, Herty ....” Artha memukul lembut bahu putri ke duanya dengan lembut. “Malas, Mak ... aku kan anak bungsu, anak bungsu itu memang untuk di sayangnya, bukan untuk di suruh-suruh, hahaha ....” Herty menyambar sebuah potongan kentang yang ada di atas piring yang sedang di pegang kakaknya. “Herty ... kau ambil pula kentang itu. Ah, kau ini, bukannya menolong, malah menggolong.” Mentari menatap kesal adik perempuan satu-satunya. “Herty, pergilah kau mandi. Bau kalilah badan kau itu. belajarlah kau sama kakakmu untuk mengabdi kepada agama kita. Ini, beribadah saja kau malas.” Sahat—kakak Mentari dan Herty, 27 tahun—mengacak-ngacak rambut adik bungsunya. “Suka-suka akulah, Bang ... Aku masih kecilnya. Nanti, kalau aku sudah sebesar kak Mentari, barunya aku juga rajin beribadah, hahaha.” Gadis setengah tomboi itu beranjak masuk ke dalam kamarnya. “Lihatlah, anak gadis bapak yang satu itu. Susah sekali diaturnya. Gayanya juga kej@ntan-j@ntanan. Kapanlah si Herty itu berubah.” Artha mendengus kesal seraya membuatkan kopi untuk suaminya, sementara Goklas—ayah Mentari—tengah asyik di depan televisi menonton berita pagi. “Biarkan sajalah dulu, Mak. Selagi dia tidak berkelaluan yang buruk. Pelan-pelan nanti, dia akan berubah.” Goklas lebih tenang menghadapi anak-anaknya di banding Artha. Bagi pria itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan kecuali masalah keyakinan. Goklas tidak akan memberi toleransi jika anak-anak atau keluarganya ada yang merubah keyakinan mereka. “Bapak ini, selalu saja memanjakan si Herty. Hahhh ....” Artha kembali mendengus kesal. Wanita empat puluh tujuh tahun itu memberikan kopi kepada suaminya dan kembali ke dapur, membantu Mentari menyiapkan sarapan. “Lihat tu bapakmu, terlalu memanjakan si Herty. Sudah tujuh belas tahun, tapi masih malas kalau di ajak ke gereja. Giliran natal dan paskah, dia lebih dulu minta-minta uang kepada sanak keluarga.” Artha meluapkan kekesalannya kepada Mentari. “Hahaha ... sabarlah, Mak. Suatu saat nanti juga si Herty akan berubah. Nanti biar aku ajak pelan-pelan.” Mentari mencoba menghibur ibunya. “Kau sama saja dengan bapakmu, selalu membela si Herty. Huft ....” Mentari tersenyum ringan. Ibu dan adik bungsunya memang jarang terlihat akur. Tapi walau demikian, Herty begitu menyayangi ibunya. Terbukti ketika Artha sakit dan di rawat di rumah sakit selama tiga hari, gadis tujuh belas tahun itu tidak pernah sedikit pun pergi dari sisi ibunya. “AHH ... BODOH KALI LAH ....” Semua orang dikejutkan oleh teriakan Goklas yang tengah asyik menonton televisi. “Ada apa, Pak?” Mentari bertanya. “Itu, ada artis yang rela berpindah keyakinan hanya karena cinta. Kalau bapak, bapak tidak akan sudi dan tidak akan membiarkan anak-anak bapak untuk berpindah agama dengan alasan apa pun. Ingat itu Mentari.” Goklas berbicara tegas. Deg ... Tiba-tiba jantung Mentari berdegup kencang. Perkataan ayahnya seakan mencambuk jiwanya. Entah mengapa jiwa itu merasa tidak tenang. Padahal, bukan untuk pertama kalinya Goklas mengatakan hal itu kepada dirinya dan saudara-saudaranya yang lain. Namun kali ini, perasaan Mentari seakan menolak pernyataan ayah yang begitu ia cintai. “Tari ... ada apa dengan kau. Lihatlah, kentang kau sudah hitam dalam penggorengan.” Artha menyentak lamunan Mentari. “Ya Tuhan ... maaf, Mak.” Gadis itu segera mengangkat kentang gorengnya yang memang sudah berubah warna menjadi cokelat pekat. Perkataan Goklas tadi, berhasil mengusik jiwa terdalam Mentari. Jika ditanya mengapa? Gadis itu juga tidak tahu apa penyebabnya. Yang ia tahu, kini ada sesuatu yang mengganjal di jiwanya. Ada perasaan yang lain yang mengusik relung hati terdalam Mentari. Setelah menyelesaikan tugasnya dan semua anggota keluarga itu melaksanakan sarapan bersama, Mentari bergegas menuju gereja tempat ia biasa mengajar anak-anak di setiap minggunya. Sementara ibu dan ayah Mentari memilih jadwal yang berbeda, sebab pagi ini biasanya jemaat sangat ramai.   Herty? Jangan ditanya. Gadis setengah tomboi itu tidak akan pernah menginjakkan kakinya ke rumah Tuhan kecuali dipaksa oleh ayahnya. Gadis itu lebih senang menghabiskan hari di depan televisi atau bermain game ular-ular dari ponselnya. Baru saja kaki ramping itu turun dari bus, Mentari segera mempercepat langkah menuju gereja. Ia sudah telat, jemaat sudah mulai berdatangan. “Pagi, Pak.” Mentari dengan ramah menyapa satpam yang menjaga gereja. “Pagi, Tari ... Tumben terlambat.” “Iya, Pak. Mentari tadi pagi menyiapkan sarapan dulu. Oiya, Tari segera masuk ke dalam ya, Pak. Permisi.” Sang satpam menjawab dengan senyuman. “Kakak ....” Beberapa anak-anak yang sudah berdatangan memeluk Mentari dengan hangat. Gadis manis berambut panjang itu, memang begitu menyukai dan disukai anak-anak. Sikapnya yang ramah dan sifatnya yang penyayang, membuat ia selalu jadi idola dibandingkan guru yang lainnya. Di tambah, parasnya yang sangat menawan dan berperawakan lembut, menambah daya tarik tersendiri bagi anak-anak didiknya. “Mentari, mengapa terlambat?” Roslina yang tengah menyiapkan bahan ajar, menyapa sahabatnya yang baru saja berada di sana. “Tadi aku membantu mamakku dulu di dapur.” “Rajin kalinya, Kau ... Eh, siapa lelaki yang ku lihat bersamamu minggu lalu, ha?” Roslina mulai menggoda sahabatnya. “Lelaki mana?” “Halah ... masih saja kau tutupi, Tari ... kau pikir, minggu lalu aku tidak melihat. Asyik sekali makan soto hingga tidak mengajak-ngajak aku.” “Owh, itu, hahaha ... pria itu namanya Azzam. Dia yang sudah menemukan kitabku. Kemarin itu, ia mengembalikan kitabku dan sebagai ucapan terima kasih, aku mengajaknya makan.” “Muslim?” “Iya, memangnya kenapa?” “Tidak, aku pikir itu pacarmu. Sudahlah, ayo kita bersiap, anak-anak sudah ramai.” Roslina dan Mentari meninggalkan obrolan mereka dan memulai aktifitas mereka mengajar anak-anak para jemaat gereja yang tengah melaksanakan ibadah di rumah Tuhan itu. - - - Pagi sudah berlalu dan matahari sudah mulai meninggi. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh. Mentari dan Roslina baru saja menyelesaikan tugas mereka mengajar anak-anak para jemaat gereja. Anak-anak itu sudah kembali ke dekapan orang tuanya masing-masing, meninggalkan guru mereka yang begitu mereka cintai. “Kak Tari ... sampai ketemu lagi minggu depan ya. Gisel senang kalau berada di dekat kakak.” Gadis lima tahun itu, seakan enggan melepaskan diri dari pelukan gurunya. “Iya, Sayang ... Minggu depan kita bertemu lagi.” Mentari membelai lembut puncak kepala Gisel. “Kak, kenapa kakak tidak mengajar di Sekolah Gisel saja? Biar Gisel bisa bertemu setiap hari dengan kakak.” Gadis itu masih enggan meninggalkan Mentari. “Kak Tari’kan harus bekerja, Sayang ... nanti jika ada acara keagamaan, kak Tari akan ajak Gisel main drama. Jadi, kita bisa sering ketemu.” Mentari memeluk hangat gadis kecil bermata sipit itu. “Gisel, ayo dong ... kita harus segera pulang. Nanti sore kita akan jalan-jalan ke mall.” Orang tua gadis kecil itu berusaha membujuk putrinya. “Kak Tari ... Gisel pulang dulu, sampai ketemu lagi minggu depan. Gisel sayang sama kak Tari.” Gadis manis berkulit putih itu, kembali merangkul gurunya. “Iya ... kak Tari juga sayang ... sama Gisel.” Akhirnya, gadis manis itu pun pergi meninggalkan gereja bersama ke dua orang tuanya. Mentari hanya bisa menatap murid kesayangannya dengan hati nelangsa. Mentari memang sangat mencintai anak-anak. Betapa inginnya gadis itu memiliki anak sendiri dari rahimnya. Tapi sayang, sampai saat ini, Mentari masih belum menemukan pria yang pas untuknya. Tidak lama, Mentari pun beranjak meninggalkan rumah Tuhan menuju kediamannya, setelah ia membereskan semua peralatan mengajarnya. Ia sudah tidak sabar menunggu sore. Mentari ingin segera membayar hutang budi kepada pemuda yang sudah menolongnya. Dengan langkah pasti, Mentari segera berlalu menuju halte tempat ia biasa menunggu bus, kembali ke rumahnya seraya menunggu sore. Sore pertama yang akan merubah jiwa dan debaran dalam hati gadis dua puluh empat tahun itu. *** *** *** Hai, Kesayangan ... Makasih lho buat yang udah mampir dan baca cerita ini. Buat teman-teman yang mampir ke sini, jangan lupa ya, intip ceritaku yang lainnya juga ... jangan lupa FOLLOW agar teman-teman dapat notifikasi setiap aku up cerita baru atau Up bab baru. Ada banyak pilihan cerita lho. #Romance (Mas Rei Series) 1. Hubungan Terlarang (Best Seller) (TAMAT) 2. [Bukan] Hubungan Terlarang (Sekuel Hubungan Terlarang) - TAMAT 3. Bukan Hubungan Terlarang 2 (Coming Soon) #Romance (Cinta beda agama) 1. Mentari Untuk Azzam (TAMAT) #Komedi Romantis Asyik 1. When Juleha Meets Bambang (On Going) #Romance (Kekuatan Cinta & perselingkuhan) 1. Bukan Mauku (TAMAT) 2. Bukan Mauku 2 (Sekuel Bukan Mauku) - Coming Soon 3. Menikahi Mantan Suami (TAMAT) 4. Putrimu Bukan Anakmu (TAMAT) 5. CEO'S Secret Marriage (Coming Soon) #Thriller (seru & mendebarkan) 1. EYES (TAMAT) 2. TERROR & OBSESSION (coming soon) #Fantasy 1. Pandora Kingdom (Coming Soon) Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ... ## Vhie ##
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD