BAB 7 – Menemui Azzam

1607 Words
TAP LOVE dulu sebelum LANJUT, HARUS, wakakaka ... Iya dear's Tap Love dulu dong, dan jangan lupa FOLLOW akun otor juga ya, kiss ... - - Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua siang. Entah mengapa, hari ini waktu terasa berjalan begitu lama bagi Mentari. Baru kali ini, gadis itu merindukan sore hari. Setelah menatap jam dinding, Mentari bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia bersiap menemui pemuda yang sudah mengembalikan kitabnya. Hatinya tidak akan pernah tenang sebelum ia berhasil membalas kebaikan hati pemuda itu. “Mau kemana kau, Nak?”Artha melihat putrinya sudah rapi. “Mau menemui Azzam, Mak. Tari belum akan tenang jika belum membalas kebaikan lelaki itu.” “Sendirian saja? Mengapa tidak ajak si Herty?” “Malas aku, Mak. Mamak tidak lihat, aku sedang asyik bermain ular-ular.” Herty menjawab tanpa diminta. “Hahaha ... biarlah, Mak. Aku bisanya sendiri. Hanya sekali ini, sebagai tanda terima kasihku saja.” “Lalu, apa yang akan kau berikan pada lelaki itu?” tanya Artha. “Aku mau belikan nasi bungkus dan beberapa makanan ringan. Semoga lelaki itu berkenan menerima.” Mentari tersenyum ringan. “Tari ....” Artha tiba-tiba menyentuh bahu putrinya. “Ada apa, Mak?” “Kau tidak menyukai lelaki itu’kan?” Netra Artha menatap putrinya, curiga. “Hahaha ... apanya mamak ini. Aku baru bertemu sekali, mana mungkin aku suka padanya. Lagi pula, dia berbeda, Mak.” “Syukurlah ... Mamak tidak ingin nanti ada masalah. kau tahu’kan bagaimana bapakmu, bisa ditebàs nanti lehermu kalau kau berani menentangnya, hahaha.” Artha adalah seorang ibu yang menyenangkan. Wanita paruh baya yang suka bercanda dengan putra dan putrinya. “Baguslah itu, Mak. Jadi aku tidak perlu lagi dibanding-bandingkan dengan kak Tari, hahaha ....” Bugh ... Sebuah boneka melayang tepat di atas kepala Herty. “Kakak ....” Gadis tujuh belas tahun itu berlari mengejar kakaknya dan membalas memùkuli badan Mentari dengan boneka. “Sudah ... sudah ... kakak harus segera menemui lelaki itu. Kalau tidak, kakak akan selalu dihàntui rasa bersàlah.” “Ya sudah, pergilah ... setelah selesai urusanmu, segeralah pulang.” Artha memberi izin. “Iya, Mak. Mentari permisi.” Gadis itu pun melangkah keluar rumah menuju halte tempat ia menunggu bus. Langkahnya bersemangat dan wajahnya tampah sumringàh. Beberapa menit menunggu, akhirnya bus yang ditunggu Mentari datang. Gadis itu melangkah naik ke atas bus dengan perasaan sedikit berdebàr. Ya Tuhan ... ada apa dengan perasaanku ... mengapa tidak nyaman begini, Mentari bergumam dalam hatinya. Treng teng ... treng teng ... Lima belas menit berlalu, gadis itu pun memukul pegangan bus dengan koin yang ia miliki. Ia sudah sampai di lokasi yang ia tuju. Masjid tempat Azzam mengajar, berada lebih kurang tiga ratus meter dari simpang tempat pemberhentian bus. Jadi, Mentari harus melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki menuju lokasi tempat Azzam mengajar mengaji. Sebelum ke sana, Mentari mampir ke sebuah rumah makàn. Pemilik rumah makan itu adalah seorang muslim dan semua makanannya halal. “Pak Haji, aku pesan nasi bungkus satu pakai ikan bakar. Tapi kuahnya di pisah ya.” Mentari membuat pesànannya. “Baik, Dek ....” Sang pemilik rumah makan, dengan sigap mengambilkan pesànan Mentari. Tak lupa, gadis itu juga membeli beberapa jenis makanan ringàn yang ada di rumah makan itu. “Berapa totàlnya, pak Haji?” tanya Mentari, ramah. “Semua, tiga puluh dua ribu ....” “Ini uangnya, terima kasih, Pak.” “Sama-sama ....” Mentari berlalu meninggalkan rumah makan itu dan mulai melangkahkan kaki mungìlnya menuju lokasi yang akan ia tuju, yaitu masjid Istiqomah. Baru saja netra Mentari menatap megahnya sebuah rumah Allah yang berdiri kokoh di hadapannya, langkahnya tiba-tiba terhenti dan hatinya bergetar hebat. Suara seorang pria begitu merdu mendayu, menyeru panggilan cinta untuk Rabb-nya. Suara yang melìuk indah membuat bulu kuduk gadis itu meremàng seketika. Mentari melihat ada sebuah warung yang berada tepat di depan masjid. Warung yang menjual aneka jajanan dan minuman anak-anak. Pada bagian dalam warung, terdapat dua buah bangku panjang dan sebuah meja kayu persegi panjang, di tengahnya. Sembari menikmati alunan indah panggilan cinta itu, Mentari mampir dan duduk di warung tersebut. Gadis itu memesan segelas minuman rasa buah yang di blender dan di beri beberapa toping di atasnya. “Ini dek, minumannya sudah jadi.” Sang pemilik warung memberikan pesanan Mentari. “Terima kasih, Kak. Maaf, aku numpang duduk di sini, boleh ya, Kak?” Mentari memohon izin dengan ramah. “Tentu saja boleh ... memangnya adek ini sedang menunggu seseorang ya?” “Iya, Kak. Aku menunggu seorang pria, namanya Azzam. Katanya, setiap minggu sore, beliau mengajar mengaji di masjid ini.” “Azzam? Iya, beliau memang mengajar di sini. Yang sedang melantunkan azan itu adalah beliau. Suaranya sangat indah, Masyaa Allah ....” “Benarkah, Kak? Ya Tuhan, suaranya sangat merdu.” Mentari terkesima, wajahnya merona. “Maaf jika kakak lancang, tapi kalau boleh kakak tahu, ada urusan apa adek dengan Azzam?” Sang pemilik warung menatap sesuatu yang terpasang cantik di leher Mentari. Sebuah kalung emas putih berliontin salib. “Saya hanya ingin memberikan sesuatu kepada Azzam. Kebetulan, Azzam adalah teman saya.” Mentari tersenyum hangat. “Owh ... iya, selepas shalat asar, biasanya anak-anak sudah selesai mengaji. Azzam akan keluar sekitar setengah atau satu jam lagi.” “Iya, Kak. Aku akan menunggu di sini. Terima kasih sudah mengizinkan aku menunggu di sini.” Lagi, gadis itu memamerkan senyum indahnya. “Iya ... Oiya, kakak tinggal sebentar, tidak masalah’kan? Sebab kakak mau shalat asar sebentar.” Sang pemilik warung, undur diri masuk ke dalam rumahnya. “Iya, Kak ... tidak masalah.” Sembari menunggu Azzam, gadis itu mengeluarkan sebuah buku n****+. Ia membaca buku, guna menghilangkan kejenuhan. Setengah jam berlalu, Mentari mendengar suara bising dari arah masjid. Puluhan anak-anak berlarian, keluar dari area masjid menuju warung tempat ia menunggu Azzam. Sang pemilik warung tampak kewàlahan melayani puluhan anak-anak itu dengan berbagai macam keinginan dan permintaan mereka. “Bu ... aku mau rasa strawberry ....” “Bu ... aku mau pakai cincau ....” “Bu ... jangan lupa kasih meses ....” “Bu ... kok lama sich? Aku sudah haus ....” Begitu bising dan begitu ramai. Mentari sesekali tersenyum ringan melihat tingkah anak-anak itu. Jiwa keibuannya seketika keluar. Ingin rasanya Mentari turun tangan membantu sang pemilik warung, namun niat itu segera ia urungkan. Ia hanya orang asing di sana. satu hal lagi, ia sadar jika ia berbeda. “AISYAH ... TOLONG MAMA DI SINI, NAK. ANAK-ANAK SUDAH PULANG, WARUNG RAMAI ....” Mentari mendengar sang pemilik warung berteriak memanggil putrinya. Tidak lama, seorang gadis manis yang diperkirakan berusia tiga belas tahun, keluar dari rumah dan dengan cekatan mulai membantu ibunya. Mentari terus memperhatikan dengan senyum merona. Dua puluh menit berselang, akhirnya warung itu kembali sepi. Anak-anak itu sudah pergi. Ada yang pulang sendiri, dan beberapa ada yang dijemput oleh orang tuanya. “Ramai ya, Kak.” Mentari menyapa sang pemilik warung yang baru saja terduduk di hadapan gadis itu. Wajahnya tampak lelah. “Alhamdulillah, Dek. Kalau anak-anak mengaji, di situ pula ada rezeki kami.” “Hhmm ....” Netra Mentari mulai mencari-cari keberadaan seseorang. “Oiya, adek menunggu Azzam, ya? Sebentar, biar kakak suruh Aisyah mengatakannya pada Azzam.” Sang pemilik warung menoleh kepada putrinya, “Aisyah ... tolong sampaikan kepada kak Azzam, ada seorang wanita yang menunggunya di warung mama.” “Baik, Ma.” Aisyah berlalu ke dalam masjid tempat Azzam berada, sementara Mentari semakin berdebar. Ia tidak mengerti, mengapa tiba-tiba ia memiliki perasaan yang demikian. Tujuannya ke sini hanya satu, menemui Azzam dan memberikan buah tangan sebagai rasa terima kasih. Hanya itu, tidak lebih. Tetapi, mengapa debaran jantungnya semakin tidak beraturan? “Mama ... kata kak Azzam, tunggu sebentar. Beliau sedang membereskan semua peralatan mengajar.” Sang pemilik warung mengangguk. “Tunggu sebentar ya, Dek. Nanti juga Azzam keluar.” “Iya, Kak ... terima kasih.” Sepuluh menit berlalu, netra Mentari menangkap sosok gagah, tampan dan begitu memesona, berjalan ringan menuju tempatnya duduk. Wajah pria itu bersih dan bersahaja. Seketika jantung gadis dua puluh empat tahun itu, berdetak kuat. “Assalamu’alaikum, Kak Mila. Kata Aisyah ada yang—.” Ucapan Azzam terhenti tatkala netranya beradu dengan netra bermanik indah serta lentik memesona. “Iya ... adek ini sudah satu jam lebih menunggu Azzam di sini. Katanya ada urusan penting dengan Azzam.” “Oiya ... kak Mila, tolong buatkan Azzam cappucino dingin kak.” Pemuda itu membuat pesanan dan mulai duduk di depan Mentari. Mentari menunduk, ia jengah. “Hai ... apa kabar?” Mentari menyapa Azzam, tanpa menatap pemuda itu. Wajahnya bersemu merah. “Alhamdulillah ... aku baik. Kamu sendiri, bagaimana?” “Puji Tuhan, aku juga baik. Maaf jika sudah menganggu waktumu. Aku ke sini hanya ingin memberikan ini. Jiwaku belum akan tenang jika belum membalas semua kebaikanmu tempo hari.” Mentari memberikan sebuah bungkusan kepada Azzam. “Apa ini?” “Nasi bungkus dan beberapa makanan ringan. Kamu tidak perlu khawatir, aku membelinya di rumah makan yang ada dekat halte. Pemiliknya muslim, jadi dipastikan jika makanannya halal.” “Maaf, maksudku bukan begitu. Tapi terima kasih ... seharusnya kamu tidak perlu serepot ini.” Azzam menerima bungkusan pemberian Mentari. “Tidak, aku tidak repot. Justru sekarang perasaanku lega karena sudah membalas kebaikanmu.” Wajah Mentari masih tertekuk. “Mentari ....” “Ya ....” Gadis itu mengangkat wajahnya ketika Azzam menyebut lembut namanya. Netra abu-abu terang itu kembali beradu dengan netra cokelat pekat nan indah. Bibir mereka kelu, hanya manik itu yang saling berbicara. Ya, manik itu seakan membicarakan sesuatu yang begitu penting dan berharga. Tentang sebuah rasa dan cinta.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD