1. Nasib Sial

1971 Words
> Jakarta, 2012 Bunyi dentuman musik dari bar malam ini begitu memekakkan telinga. Bukannya merasa bising, justru dentuman elektronic dance music itu menjadi bagi gue dan kedua sahabat gue. Beginilah cara gue, Dastan dan Alvin melepas penat setelah seminggu ini dipenuhi oleh kesibukan aktivitas pekerjaan. Kami bertiga memasuki lorong night club dengan iringan tawa sambil mengangkat tangan kami ke udara, dan juga menggerakkan bagian tubuh lain mengikuti alunan musik DJ dari dalam club. "Sinyo, kenapa?" gue bertanya pada Alvin, karena melihat aura berbeda di wajah oriental sahabat gue yang satu lagi. "Abis putus. Sinyo ngeliat ceweknya lagi di atas cowok lain dan parahnya make out-nya di dalam mobil sinyo," jawab Alvin dengan santai. Yang lagi diomongin cuma melirik sekilas, lalu ngeloyor begitu saja. "Anjiiir, seriusan? Gavanya maksud lo?" "Emang siapa lagi ceweknya Dastan? Dah, nanti dicipok Anya juga balikan lagi mereka." Tangan gue seketika menoyor kepala Alvin atas jawaban seenaknya itu. Gue mengekori langkah panjang Alvin mencari meja dengan posisi paling strategis untuk mencari kesenangan malam ini. Dastan sudah terlihat mojok di ruang VVIP. Gue yakin ini bakal jadi malam buruk bagi gue dan Alvin. kalau sudah menghadapi Dastan yang sedang patah hati. s**t. Nah benar kan, baru juga diomongin, Dastan mulai menenggak cairan bening dari dalam botol demi botol vodka yang dia pesan. Mampus dah. "Lo mau ke mana?" tanya gue pada Alvin yang bergerak dari duduknya lalu berdiri. "Ngesot, nyari paha ..." jawab Alvin cuek sambil mengangkat kedua tangannya mengikuti dentuman musik DJ di bar ini. "Taiiik ..., gue gimana?" Alvin nggak memedulikan umpatan gue. Tubuh tingginya menghilang di kerumunan orang-orang yang berjubel di lantai dansa. Sedangkan gue? Gue cuma jadi kambing congek sekarang dan menatap nista sahabat gue yang memancarkan pandangan kosong dari netranya. 'Paha' yang dimaksud Alvin adalah cewek yang bakal dia ajak ONS malam ini, sesuai dengan kegemaran dia sama 'paha perempuan'. Kalau Dastan biasa kasih sebutan cewek dengan istilah 'd**a', karena bagian itu yang selalu menjadi bahan pertimbangan baginya, dia akan ONS sama cewek itu atau nggak. Kalau gue paket komplit. Gue nggak milih, paha-d**a juga gue embat. Beginilah kehidupan b***t gue termasuk dua sahabat gue. Man, gue hanya manusia biasa. Pria mapan di usia lebih dari seperempat abad dan mempunyai kebutuhan biologis, tapi juga mempunyai ketakutan berlebih sama yang namanya komitmen. So, Gue memilih jalur One Night Stand untuk memenuhi hasrat seksual gue. Nggak bermaksud merendahkan nilai sebuah komitmen yang selalu dijunjung tinggi oleh orang bener di luar sana, tapi ini serius, cuma seks yang bisa membuat gue bertahan hidup setelah air, makan dan udara. Malam ini, hati kecil gue memerintahkan supaya gue nggak minum sepuasnya seperti biasa. Dastan sudah kelihatan berada diambang teler. Nggak ada suara keluar dari mulutnya yang sejak sejam lalu sudah dituangi sekitar tiga botol vodka. Gila memang Dastan ini, dia memang tangguh kalau urusan minum alkohol, tapi jangan beri dia bir murahan. Satu gelas bis murahan bisa membuat seorang Dastan sober dengan mudah. Namun setangguh-tangguhnya Dastan, tetap saja ada kemampuan yang harus ditoleransi tubuhnya dalam menerima asupan alkohol. Sekarang tubuhnya sudah menggelepar di sofa dan pandangannya mulai kosong. Gue cuma bisa tersenyum miris melihat sahabat gue ini. Kalau sudah urusan perempuan, mati pun dia mau. Yep, cuma Dastan yang berani menjalin komitmen dengan makhluk berkelamin perempuan. Dan bila sedang menjalani sebuah komitmen agung itu, so gerilya ONS hanya dilakukan oleh gue dan Alvin. "Udahan minumnya, Nyet. Gue juga mau seneng-seneng ini ...." Gue menarik botol vodka dari tangan Dastan. Dastan memandang gue dengan mata sipitnya yang sayu. "Kalo gue berhenti minum, apa lo bisa menghentikan Anya supaya ngga make out sama cowok berengsek itu?" pertanyaan konyol meluncur dari mulutnya yang sedang tidak sinkron dengan otaknya itu. Jadi benar yang dikatakan Alvin tadi. Permasalahan Anya yang membuat Dastan seperti ini. Namun, gue nggak tahu pasti duduk perkara yang lagi dihadapi sahabat gue ini. Cuma Alvin yang mengerti, tapi itu b*****h belum nongol juga dari pencariannya. "Taik! Mending kalo yang Anya naekin CEO kaya, lebih ganteng dan lebih segalanya dari gue. Gue ikhlas. s**t! Cowok itu cuma bartender di Club-nya Anya, Man. b*****t banget!?" Dastan terus mengoceh, mengumpat, menyumpah serapahi kekasihnya itu, cuma satu yang belum keluar dari mulutnya, yaitu isi perutnya. Sekitar setengah jam kemudian, gue lihat Alvin berjalan ke arah ruang VVIP dan dia sudah merangkul perempuan saja. Perempuan berambut ikal sebahu dengan warna cokelat terang dan memakai baju model terusan terbuka warna cokelat muda yang abis bagian pundak dan dadanya. Meski bajunya sepanjang mata kaki, tapi ada belahan mengganggu mata di bagian paha kirinya, bahkan nyaris mempertontonkan underwear cewek itu. Gue cuma bisa menelan ludah. s**t! gue kalah gercep dengan Alvin malam ini. "Gue cabut dulu. Ini kunci mobilnya Sinyo. Gue udah order taksi," ucap Alvin melempar kontak mobil dengan tampang tanpa dosanya, membiarkan gue menghadapi Dastan seorang diri malam ini. "What the f**k!?" umpat gue yang tidak mendapat tanggapan apa pun dari Alvin. Setelah melempar kunci, Alvin berlalu dari hadapan gue. Tangannya melingkar di leher cewek yang memiliki paha seputih porselen di sampingnya. Lagi-lagi gue cuma bisa menelan ludah dengan kelu. Hell s**t ... umpat gue penuh kekesalan. "Alvin mau ke mana, Fan?" tanya Dastan sambil berusaha menegakkan tubuhnya, lalu meraih gelas berisi bir milik Alvin yang belum tersentuh oleh sang pemilik. Tanpa ampun dia meneguk cairan warna kuning keemasan itu hingga tandas. Habis gue sekarang, Dastan sudah memasukkan cairan b*****t itu ke dalam perutnya. "Kita cabut! Gue udah nggak h***y lagi buat nyari paket komplit!" Gue beranjak dari kursi sofa ruang VVIP. Namun, Dastan bergeming dan sama sekali nggak menghiraukan ajakan gue. "Ayo! Apa perlu gue teleponin Nyokap lo?" Setelah gue mengancam, barulah Dastan menurut dan mengekori gue. Kami berdua kembali menyusuri lorong tadi. Dastan mulai sempoyongan. Dia menubruk setiap orang yang melalui kami, bahkan nggak jarang ada yang memaki hingga mendorongnya hingga tersungkur di lantai koridor. Karena kondisi yang sudah diambang batas toleransi alkohol yang bisa diterima tubuhnya, Dastan sama sekali nggak marah diperlakukan seperti itu, dia hanya berusaha untuk bangkit jika sudah tersungkur. Gue membantu dengan membopong tubuh yang jelas lebih tinggi dan lebih besar dari badan gue ini dengan kepayahan. Akhirnya, setelah berjuang sekuat tenaga, gue sampai juga di samping sedan Audi milik Dastan. Dia memuntahkan isi perutnya di samping mobil, kemudian tubuhnya terjatuh begitu saja nggak sadarkan diri. Lengkap benar penderitaan gue malam ini. Udahlah minum cuma sedikit, nggak bisa menyalurkan hasrat seksual, sekarang ditambah lagi gue harus mengurusi orang yang sedang mabuk berat. Biasanya Alvin yang akan menjadi polisi kami, kalau gue maupun Dastan minum terlalu over. Di saat gue sedang mengais tenaga gue, ponsel dari kantong celana gue bergetar. Alvino is calling... "Apa?" sapa gue sarkas, pengin banget nonjokin muka Alvin yang udah ngerjain gue abis-abisan saat ini. "Fan, lo jangan coba-coba ninggalin Dastan di jalanan ...," Honey .... ayo ... Terdengar suara perempuan agak serak dan lirih setelah suara Alvin. "Tai kingkong emang lo ...," maki gue dengan penuh kekesalan. Gue mematikan panggilan dari ponsel detik itu juga. Udah mau 'main' masih saja sempat-sempat-sempatnya Alvin mengancam gue. Emang sih sempat tebersit di benak gue untuk meninggalkan Dastan di sini. Namun, gue nggak se-sadis itu, ditambah lagi ancaman dari Alvin yang menyayangi sahabatnya ini dengan segenap hati dan raganya. Mau nggak mau, akhirnya, gue membopong tubuh Dastan masuk mobil dan merebahkan tubuhnya di kursi penumpang belakang. Coba gue bawa mobil sendiri tadi club ini, gue nggak perlu repot mengurus orang teler kayak gini. Tinggal paketin saja Dastan lewat uber, langsung kirim ke rumah orang tuanya. Biar dihabisi sekalian dia sama nyokapnya. Dastan memang paling takut kalau kelakuan b***t dia sampai ketahuan nyokapnya. Sesampainya di apartemen, gue kembali harus membopong Dastan. Melewati lobi, masuk lift, keluar lift, hingga menyusuri koridor menuju unit apartemen Dastan. Keringat jangan ditanya, kemeja gue sudah basah saja seperti habis jumpalitan di dance floor. Gobloknya, sampai di depan pintu unit, gue lupa menanyakan password apartemen ini pada Alvin. Mengumpulkan tenaga, gue duduk selonjoran di samping pintu. Dastan terlihat menggeliat dan sedikit menegakkan tubuhnya, lalu membuka kedua mata sipitnya yang semakin kelihatan sayu. Gue tanya password sama dia ternyata percuma, dia malah menjawab nomor kontak ponselnya sendiri, itu pun masih salah. Lima menit berikutnya, Dastan mulai mengoceh—kebiasaan buruknya bila sudah mabuk. "Gue tuh cinta sama Anya, tapi dia tega selingkuh, bego kan gue bisa percaya gitu aja sama dia?" "Emang lo bego. Baru nyadar?" jawab gue kesal nggak ketinggalan menoyor kepalanya dengan kesal. "Padahal, gue udah setia sama dia, gue nggak pernah have s*x sama cewek mana pun selama pacaran sama dia. Gue juga udah ngijinin dia mengisi kehidupan dan hati gue selama dua tahun ini. Nyesel gue jatuh cinta sama Anya ...," "Telat, g****k! Lo pasti udah 'merawanin' Anya, makanya lo bisa cinta mati gini, ya kan?" "Iya, mungkin-" jawab Dastan dengan nada menggantung. "Kan udah gue bilang, jangan pernah lo nge-seks sama cewek perawan kalau lo belum siap jatuh cinta dan patah hati. Kena tai nya cinta kan lo!" "Iya ...," jawab Dastan lagi. Shit! Gue ngomong sepanjang Anyer-Panarukan cuma dijawab iya, iya doang. Gue nggak menghiraukan lagi Dastan yang masih nyerocos entah bicara apa. Kesabaran gue sudah sampai ubun-ubun. Membuat jiwa iseng gue muncul ke permukaan. Aksi Dastan yang sedang mengoceh tadi gue rekam dengan kamera ponsel, lalu gue sebar ke media sosial ** dan group BBM kantor. 20 menit gue menunggu, akhirnya Alvin membalas chat gue. Alvin Chakra: Sbb. Gue lupa pswrdnya. Ada Delisha didlm.lo bel aja. Dicha itu adik perempuan Dastan. Remaja 17 tahun yang bikin laki-laki lupa bernapas bila sedang menatapnya—tak terkecuali gue. Tadi saat menjemput Dastan, sebelum berangkat ke club bareng, gue memang nggak ikut naik. Gue memilih flirting dengan resepsionis apartemen ini. Jadi wajar kalau gue nggak tahu Dicha lagi ada di apartemen kakaknya. Me: Taeee....kenapa ngga bilang drtd klo ada Dicha??? Gue sumpahin lo impoten!!! Alvin Chakra: Udah keluar kok om. Me: Emang Babi lo...biawak...monyet... Alvin Chakra: Kangen rekreasi ke taman safari ya om? Udh buru masuk, 5 menit lg muntah itu Sinyo. Udah ngoceh2 kan? Gue menekan bel dengan penuh emosi. Adiknya Dastan belum nongol juga. Perasaan gue mulai was-was. Jangan sampai Dastan muntah pas lagi gue bopong masuk apartemennya. Tepat di saat gue menekan bel untuk yang keempat kalinya, Dicha muncul dengan baju tidur khas anak remaja usia 17 tahun. Setelan piyama bermotif kelinci bugs bunny sedang memakan wortel, bukan lingerie tipis se-b****g yang biasa dipakai pasangan ONS gue. Rambut panjangnya di ikat asal, menyisakan helaian anak rambut nakal yang nggak ikut terikat di leher jenjangnya yang mulus. f**k! "Kak Dastan mabuk, ya Kak?" tanya Dicha dengan nada bicara manjanya yang khas dan sukses membuyarkan lamunan gue. Sial, bisa-bisanya gue membayangkan yang iya-iya sama Dicha di saat yang nggak pas kayak gini. Gue benar-benar butuh pelampiasan malam ini, kalau nggak, hari gue bakal dipenuhi mood buruk selama satu minggu ke depan. Dicha membantu gue membopong Dastan hingga masuk kamar. Baru gue keluar dari kamar dan melangkah sampai pintu, Dastan sudah memuntahkan isi perutnya untuk yang kedua kali. Gue memandang iba pada Dicha karena muntahan dari mulut Dastan mengenai bagian bawahan baju tidur gadis itu. "Lo nggak apa-apa?" Gue kembali masuk dan mendekati Dicha. "Nggak pa-pa. Udah biasa kok. Lo pulang aja, Kak." "Gue tinggal nggak apa-apa?" tanya gue prihatin. "Iya, udah sana." Akhirnya gue keluar dari kamar, lalu mengambil kunci mobil gue yang berada di atas bufet. Inginnya melanjutkan acara senang-senang malam ini, tapi tenaga gue udah ada di titik merah. Gue pun memilih kembali ke apartemen gue sendiri untuk istirahat. Masih ada hari esok untuk cari pelepasan, mengembalikan mood baik gue. Saat mobil berhenti di basemen apartemen gue, baru gue sadar ada sesuatu yang luput dari pandangan gue. Gue meraba seluruh tubuh, dompet dan handphone, semuanya ada. Baru setelah gue meraba leher, ternyata yang nggak ada adalah kalung gue. Oh my God, gue sial banget sih malam ini, asli. --- Dastan adalah tokoh dalam cerita Love At First Sight karya Fy Vee --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD