Kamar hotel itu sunyi. Hanya suara pendingin ruangan yang terdengar samar, berpadu dengan detik jam di dinding yang berjalan lambat. Satu jam sudah berlalu sejak acara usai, dan Khalil duduk di kursi sudut ruangan, punggungnya menegang, wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun. Ia bahkan belum menyentuh minuman yang ditawarkan Nindy. Matanya dingin, kaku, tak sedikit pun terpikat oleh kemewahan kamar yang biasa dipakai untuk tamu-tamu penting itu. Nindy justru bersikap sebaliknya. Ia tampak nyaman, mengisi dua gelas dengan anggur, lalu melangkah pelan seperti sedang menikmati kemenangan kecil. Ia melempar senyum, duduk di tepi ranjang dengan pose santai yang jelas disengaja. Tapi Khalil tak memberi respons sedikit pun. Tidak dengan kata, tidak dengan lirikan mata. "Apa maumu?" ulang Khalil

