Dia, Mira Leonie.
Hujan baru saja reda ketika Mira Leonie keluar dari kantor, menyusuri trotoar yang masih basah. Langit Palembang masih kelabu, udara lembap menyelimuti kota setelah hujan turun seharian. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi ia baru bisa pulang setelah menutup laporan keuangan bulan ini. Seperti biasa, ia adalah orang terakhir yang meninggalkan kantor.
Ia menarik napas panjang sebelum melangkah menuju tempat parkir kecil di belakang gedung. Di sana, sebuah motor bebek tua berwarna biru kusam menunggunya. Motor itu sudah menemaninya bertahun-tahun sejak awal bekerja. Beberapa kali mogok, beberapa kali hampir membuatnya jatuh, tapi tetap setia membawanya pulang.
Mira menyentuh bodi motor yang catnya mulai pudar. Ia tersenyum miris. Usianya sudah 34 tahun, manajer keuangan di sebuah perusahaan cukup besar, tapi masih naik motor butut. Bukan karena ia tak mampu membeli yang baru, tapi karena setiap kali ada uang lebih, selalu ada hal lain yang lebih penting—biaya kuliah adiknya, obat untuk bapaknya, atau kebutuhan rumah orang tuanya di kampung.
Ponselnya bergetar di dalam tas. Dengan malas, ia merogoh dan melihat nama yang tertera di layar: Mama.
Mira menutup mata sejenak sebelum mengangkatnya.
"Halo, Ma."
"Mira, kamu masih di kantor? Jangan terlalu capek, Nak."
Nada suara ibunya lembut, tetapi Mira sudah bisa menebak akan ada permintaan di belakangnya.
"Tadi Bapakmu telepon, listrik di rumah hampir diputus. Bisa ditransfer sekarang?"
Mira menghela napas, menatap langit yang gelap. Permintaan seperti ini bukan hal baru. Sejak dulu, ia yang selalu diandalkan.
"Iya, Ma. Nanti aku transfer."
Ada jeda sebentar, sebelum ibunya melanjutkan, "Oh iya, Adikmu bilang laptopnya rusak. Dia butuh yang baru buat kuliah. Bisa dibantu, ya?"
Mira menggigit bibir. Laptop? Lagi? Baru beberapa bulan lalu adiknya minta uang tambahan untuk handphone baru.
"Iya, nanti aku pikirkan," jawabnya pelan.
"Jangan dipikirin terlalu lama, kasihan adikmu. Dia juga butuh buat tugas-tugasnya," kata ibunya, dengan nada yang membuat Mira merasa bersalah jika menolak.
Setelah menutup telepon, Mira memasukkan ponsel ke saku jaket dan mengenakan helmnya. Angin malam berembus dingin ketika ia menyalakan motor dan mulai melaju melewati jalanan Palembang yang mulai lengang.
Di lampu merah, ia berhenti, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di kaca helmnya. Jalanan Palembang di malam hari masih cukup ramai, kendaraan berlalu-lalang dengan tergesa, seperti orang-orang di dalamnya yang mungkin juga sedang sibuk mengejar sesuatu—karier, uang, mimpi, atau mungkin hanya pulang ke rumah setelah hari yang panjang.
Di dalam kepalanya, berbagai pikiran berputar.
Kapan ada yang bertanya apakah aku baik-baik saja?
Rasanya keluarganya tak pernah benar-benar bertanya apakah ia baik-baik saja. Kalau pun bertanya, memang ada ujungnya. Biasanya setelah kata, “Mira, kamu sehat, kan?” akan disusul dengan, “Oh iya, Bapak butuh biaya untuk ini,” atau “Adikmu perlu uang untuk itu.” Bukan sekadar menanyakan kabar, tapi memastikan bahwa ia masih bisa menjadi penyokong utama keluarga.
Ia menghela napas panjang saat lampu hijau menyala dan motornya kembali melaju. Tak jauh dari situ, ia melihat mesin ATM di pinggir jalan. Mendadak ia teringat pesan ibunya tadi. Listrik di rumah orang tuanya hampir diputus, dan adiknya butuh laptop baru.
Dengan sedikit enggan, ia membelokkan motor ke parkiran kecil di depan ATM. Mesin ATM ini sudah sedikit usang, dengan layar yang mulai buram dan beberapa tombol yang warnanya memudar karena terlalu sering ditekan. Ia membuka dompet, mengeluarkan kartu ATM, lalu memasukkannya ke dalam mesin.
Saldo yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang. Rp20.578.000.
Hari ini ia baru saja gajian. Gajinya memang besar—dua puluh juta per bulan. Angka yang di mata orang lain mungkin sangat menjanjikan, membuatnya terlihat mapan dan sukses. Pekerjaannya memang keren, di sebuah perusahaan besar milik negara. Jika orang lain mendengar penghasilannya, mereka pasti akan berpikir, “Mira pasti hidup nyaman.”
Tapi kenyataannya?
Sepeser pun ia tak punya tabungan.
Gaji 20 juta itu rasanya hanya sekadar lewat, mampir di rekeningnya sebentar sebelum akhirnya mengalir keluar.
Dengan jemari yang sudah hapal gerakannya, ia mulai memasukkan nominal transfer. Sepuluh juta. Untuk kebutuhan rumah orang tuanya di kampung—makan, listrik, air, biaya perawatan rumah, dan entah apalagi.
Lalu, ia kembali memasukkan nominal lain. Lima juta. Untuk adiknya membeli laptop baru. Adiknya memang kuliah dengan beasiswa, tapi tetap saja, setiap bulan pasti ada saja kebutuhannya. Kadang buku, kadang uang tambahan untuk tugas, kadang biaya transportasi, dan kali ini, laptop.
Sisa di rekeningnya kini tinggal lima juta.
Ia menatap angka itu di layar, mencoba menghitung dalam hati. Lima juta ini harus cukup untuk biaya hidupnya selama sebulan ke depan.
Kosannya di apartemen kecil itu seharga Rp800.000 per bulan. Tidak terlalu mahal, tapi juga bukan yang termurah. Ia butuh tempat yang aman dan nyaman, setidaknya untuk dirinya sendiri setelah seharian bekerja.
Lalu, berapa lagi yang tersisa untuk dirinya?
Rp4.200.000.
Empat juta untuk makan, bensin, uang jajan, dan kebutuhan lainnya selama satu bulan. Jika ia hemat, mungkin cukup. Tapi jika ada kejadian tak terduga?
Ia mengembuskan napas panjang. Seperti bulan-bulan sebelumnya, ia tak bisa menyisihkan uang untuk tabungan. Apalagi untuk sekadar membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Sejak dulu, setiap kali ada uang lebih, pasti selalu ada kebutuhan keluarga yang lebih mendesak.
Ia menarik kartu ATM dari mesin dan memasukkannya kembali ke dalam dompet. Saat hendak beranjak, ponselnya bergetar di saku jaket.
Sebuah pesan dari ibunya.
Terima kasih ya, Nak. Uangnya sudah masuk. Semoga rezekimu selalu lancar.
Mira tersenyum tipis. Doa itu tulus, ia tahu. Tapi tetap saja, rasa lelah itu tak bisa ia abaikan.
Ia kembali ke motornya, menyalakan mesin, lalu melaju ke arah apartemennya.
Di perjalanan, pikirannya terus berputar.
Kapan terakhir kali ia benar-benar menggunakan uangnya untuk dirinya sendiri? Kapan terakhir kali ia bisa membeli sesuatu tanpa merasa bersalah? Kapan terakhir kali ia merasa benar-benar bebas dari tanggung jawab ini?
Jawabannya?
Ia bahkan tak ingat.
Ia melanjutkan perjalanan pulang. Jalanan malam di Palembang cukup lengang, hanya sesekali mobil atau motor melintas di sampingnya. Angin malam menerpa wajahnya melalui celah helm, membawa sedikit rasa dingin yang entah kenapa membuatnya semakin sadar betapa lelah dirinya.
Perjalanan menuju kosannya memang agak jauh, sekitar lima belas menit dari tempat kerja. Tapi ia memang sengaja memilih kos yang sedikit di pinggiran agar mendapatkan harga yang lebih murah dengan ukuran kamar yang agak besar. Ia sudah tinggal di sana hampir dua tahun, sejak pertama kali bekerja di perusahaan ini.
Ia menghela napas panjang, menenangkan diri. Tak ada gunanya mengeluh. Ini hidup yang sudah ia jalani sejak lama. Ia yang memilih ini semua, bukan?
Tapi baru lima menit meninggalkan mesin ATM, mendadak motornya terasa tersendat. Mesinnya seperti kehilangan tenaga, tersentak-sentak, lalu akhirnya mati begitu saja di pinggir jalan.
Mira berusaha menyalakan ulang motornya. Ia menekan tombol starter beberapa kali, tapi tak ada reaksi. Ia mencoba menendang pedal kick starter dengan tenaga yang tersisa, tapi tetap tak berhasil.
Sial.
Ia menepi ke bahu jalan dan turun dari motornya. Menghela napas panjang sebelum akhirnya melepas helm dan menatap kendaraan yang sudah menemaninya bertahun-tahun itu.
Motor butut ini memang sudah berkali-kali masuk bengkel. Bukan sekali dua kali mogok di jalan seperti ini. Usianya sudah lebih dari sepuluh tahun, diwarisi dari kakaknya yang dulu membelinya dalam kondisi bekas. Mira tak pernah mengganti motornya karena, tentu saja, tak ada dana untuk itu.
Ia memeriksa tangki bensin, masih cukup. Jadi bukan karena kehabisan bahan bakar. Mungkin mesinnya sudah terlalu lelah, seperti dirinya.
Mira mengedarkan pandangan ke sekitar. Jalanan ini cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di kejauhan. Tidak ada bengkel terdekat, dan ia juga terlalu malas untuk mendorong motor sejauh itu.
Ia mengambil ponsel dari saku jaketnya, berharap masih ada seseorang yang bisa ia hubungi untuk meminta bantuan. Tapi siapa?
Ia menatap daftar kontaknya dengan hampa.
Ia bisa saja menelepon teman-teman kantornya, tapi siapa yang masih di sekitar sini pada jam segini? Kebanyakan dari mereka sudah pulang lebih awal, atau justru sedang nongkrong di kafe atau restoran mahal yang bahkan tak pernah terpikir olehnya untuk datangi.
Ia bisa menelepon keluarganya, tapi apa yang bisa mereka lakukan dari jauh? Lagipula, percuma memberi tahu mereka masalahnya. Ujung-ujungnya, justru ia yang harus menenangkan mereka, bukan sebaliknya.
Ia mendesah.
Pada akhirnya, ia memilih menghubungi satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya saat ini.
Luna.
Teman baiknya sejak SMA. Orang yang selalu bisa dia andalkan, meski terkadang terlalu blak-blakan.
Mira mengetik pesan cepat.
Motorku mogok di pinggir jalan. Kamu di mana?
Tak butuh waktu lama, centang dua berubah biru.
Buset, motor kamu mogok lagi, Kak? Di mana?
Dekat lampu merah arah ke kosanku.
Otw, tunggu di situ.
Mira mengembuskan napas lega. Setidaknya, ia tak perlu sendirian dalam situasi seperti ini.
Sambil menunggu, ia duduk di atas motor bututnya, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang.
Kadang ia bertanya-tanya, sampai kapan ia harus hidup seperti ini? Sampai kapan ia harus bertahan dengan semua tanggung jawabnya? Sampai kapan ia harus terus mengorbankan keinginannya sendiri demi orang lain?
Ia tak tahu jawabannya. Yang ia tahu, malam ini ia hanya ingin pulang dan tidur.
Beberapa menit berlalu, dan Mira mulai menggigil. Angin malam semakin menusuk kulitnya. Jaket tipis yang ia kenakan sama sekali tak mampu menghalau dingin. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya, mencoba menghangatkan diri.
Sesekali, ia melirik ke arah jalan, berharap melihat lampu motor Luna muncul dari kejauhan. Tapi sejauh ini, yang ada hanya kendaraan orang-orang yang melaju cepat, berlalu begitu saja, tanpa peduli ada seorang perempuan yang tengah terjebak sendirian di pinggir jalan.
Sial. Seharusnya tadi aku naik ojek online saja.
Ia menghela napas panjang, mencoba mengalihkan pikirannya. Lalu, tiba-tiba ponselnya bergetar.
Maaf, Kak. Aku telat. Tadi kena lampu merah. Lima menit lagi nyampe!"
Mira mendesah. Ya, paling tidak Luna benar-benar dalam perjalanan.
Ia mengangkat kepala, menatap kosong ke jalanan. Dari sudut matanya, ia menyadari ada seseorang yang berjalan mendekat. Seorang pria dengan helm full-face masih terpasang di kepalanya, menghampiri dengan langkah santai.
Refleks, Mira menggenggam ponselnya lebih erat. Ini Palembang, dan sudah cukup malam. Meskipun daerah ini masih cukup ramai, tetap saja ada rasa waspada yang muncul.
Pria itu berhenti beberapa langkah di depannya.
"Motornyo kenapo, Buk?" suaranya terdengar cukup ramah, tapi Mira tetap berjaga-jaga.
"Ehm, mogok," jawab Mira singkat, matanya tetap mengawasi gerak-gerik pria itu. Walau agak nyess juga dipanggil ibu-ibu. Tapi ya mau bagaimana? Tampilannya memang seibu-ibu itu.
Orang itu menoleh ke motornya, lalu berjongkok, memperhatikan bagian mesinnya. "Boleh aku cek?" tanyanya.
Mira masih ragu. Tapi sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara motor lain yang mendekat dengan kecepatan lumayan tinggi.
Luna.
Motor matik merah muda milik sahabatnya berhenti tepat di sampingnya, dan tak butuh waktu lama sebelum Luna turun dan berdiri di samping Mira.
"Ya Allah, Kak! Kau dak kenapo-kenapo, kan?" Mata Luna langsung menyapu pria asing di dekat motor Mira, lalu melirik ke arah Mira seolah bertanya, Siapo dio?
Pria itu berdiri dan menatap mereka berdua. "Oh, temannyo sudah datang. Kalau gitu, aku duluan, ya, Buk."
Ia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban, berjalan santai menuju motor sport-nya yang terparkir tidak jauh dari sana. Dalam beberapa detik, ia sudah melaju pergi, menghilang di belokan.
Mira masih terpaku.
"Siapo dio?" tanya Luna dengan alis terangkat.
Mira menggeleng. "Dak tau. Tiba-tiba bae nawarin bantuan."
Luna mendecakkan lidah. "Hati-hati, Kak. Sekarang banyak modus. Tapi kalo dio beneran niat nolong, lumayan jugo, cak mano? Cakep dak?"
Mira mendelik. "Lun! Yang penting sekarang tuh motor aku, bukan cowok asing."
Luna terkekeh. "Iyo, iyo. Yo wis, ayo dorong ke bengkel terdekat."
Mira menghela napas. Malam ini rasanya panjang sekali.
"Lagian Kakak nih, apo dak biso nyicil motor bae?"
Luna melepas helmnya, memperbaiki ikatan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin malam. Nada suaranya terdengar seperti mencela, tapi Mira tahu, sahabatnya itu sebenarnya hanya bercanda.
Mira mendengus pelan. "Enak kali kau ngomong!"
Ia menarik napas panjang, mencoba mengurangi rasa kesal. Bukan karena Luna, tapi lebih kepada dirinya sendiri. Kadang ia pun berpikir, kenapa tidak mencoba mencicil motor baru saja? Tapi setiap kali gajinya masuk, selalu ada prioritas lain yang lebih mendesak.
Luna nyengir, memasukkan kembali helm ke kepalanya. Cewek itu lalu berdiri di samping Mira, membantu agar motor mereka bisa berjalan beriringan tanpa perlu terlalu banyak tenaga untuk mendorong.
"Yo wis, ayo jalan pelan-pelan bae. Bengkel dekat dak?"
"Ado di simpang sanolah, tapi kito harus dorong dikit lagi."
Mira menghembuskan napas panjang. Dingin malam makin menusuk kulit, dan jalanan sudah semakin sepi. Lampu-lampu jalan berpendar, menciptakan bayangan panjang di aspal. Ia melirik Luna yang masih dengan ekspresi santainya.
Dulu mereka satu sekolah saat SMA, meski beda angkatan. Mira masuk dengan jalur beasiswa, berusaha keras agar bisa mendapatkan pendidikan di sekolah terbaik di Palembang. Sementara Luna, sejak awal sudah berasal dari keluarga berada. Meski begitu, Luna tidak pernah memandangnya berbeda.
Dari dulu, Luna memang selalu lebih santai menghadapi hidup. Cewek itu selalu bisa melihat sisi humor dalam segala hal, sementara Mira terlalu sibuk memikirkan tanggung jawabnya. Mungkin karena itu, mereka bisa jadi sahabat. Saling melengkapi.
Mira tersenyum tipis. Meski capek, setidaknya ada Luna yang bisa dia andalkan.
"Kak Mir," Luna tiba-tiba bersuara lagi. "Aku tuh kadang mikir, sampai kapan kau ini hidup begini terus? Gaji gede, tapi motor butut, hp pecah, baju itu-itu bae. Hidup tu untuk dinikmati, Kak!"
Mira terkekeh pelan. "Aku ni masih hidup, kan? Berarti masih aku nikmati, Lun."
"Ah, dak ado seru-serunye!" Luna cemberut, tapi tetap mendorong motor Mira dengan setia.
Mira menggeleng pelan. Ya, inilah hidupnya sekarang. Berat? Pasti. Tapi ia sudah terbiasa.
***