Luna duduk dengan punggung tegak, berusaha menampilkan ekspresi netral sambil mendengarkan pria di hadapannya bicara.
Seharusnya ini menjadi malam yang menyenangkan. Ia sudah memilih gaun yang manis, berdandan secukupnya, dan datang tepat waktu ke kafe yang mereka sepakati. Semua itu karena ia ingin memberikan kesan baik di kencan pertamanya dengan pria yang ia temui di aplikasi online.
Tapi entah sejak kapan, obrolan ini berubah menjadi sesi curhat sepihak.
“Jadi, dia ninggalin aku gitu aja, ngerti kan? Padahal aku udah banyak berkorban buat dia…”
Luna mengaduk-aduk kopinya, menahan keinginan untuk mendesah. Ini sudah lebih dari tiga puluh menit, dan topiknya masih sama: mantan pria ini yang menikah dengan sahabatnya sendiri.
“Lima tahun pacaran, Luna. Lima tahun! Aku udah kenal keluarganya, bahkan udah rencana mau lamar, eh tiba-tiba dia malah nikah sama orang lain.”
Luna mengangkat alisnya. Dari awal pria ini memang langsung memanggilnya Luna, bukan Mbak atau Kamu. Seolah mereka sudah akrab. Tapi anehnya, ia tak tahu banyak tentang pria ini. Yang ia tahu hanyalah kisah cintanya yang tragis.
Ia melirik ponselnya sekilas. Sudah hampir satu jam.
“Terus menurut kamu, aku harus gimana?”
Luna tersentak. Oh, jadi sekarang ia diminta pendapat?
Ia meminum kopinya pelan, memberi dirinya waktu untuk berpikir. Sejujurnya, ia ingin bilang: Harusnya kamu ke psikolog, bukan ngajak aku kencan cuma buat dengerin curhatan ini.
Tapi tentu saja, ia tak akan seblak-blakan itu.
“Hmm, mungkin… kamu butuh waktu buat move on?” jawab Luna hati-hati.
Pria itu mengangguk-angguk, lalu menghela napas berat. “Iya, sih. Aku juga tahu. Tapi susah banget, Luna. Kadang aku masih kepikiran dia. Kayak, apa aku kurang baik? Apa aku kurang usaha?”
Luna tersenyum tipis. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Mau menenangkan, tapi ia bukan teman dekat pria ini. Mau jujur, tapi ia tak ingin menyakiti perasaannya.
Ia melirik menunya. Baiklah, setidaknya ia harus mendapatkan sesuatu dari kencan ini.
“Eh, kamu udah pesan makanan?” tanyanya, mencoba mengganti topik.
“Oh, iya! Aku sampai lupa.” Pria itu tertawa kecil, tapi kemudian wajahnya kembali muram. “Dulu mantanku suka banget ke sini. Kita sering makan steak berdua…”
Luna ingin menampar dahinya sendiri. Sial, dia malah membuka kesempatan untuk topik ini muncul lagi.
Akhirnya, ia memilih tak banyak bicara lagi. Ia memesan makanan yang paling mahal di menu sebagai bentuk ‘ganti rugi’ atas waktu yang terbuang. Sementara pria di hadapannya tetap melanjutkan kisah masa lalunya dengan penuh perasaan.
Saat makanannya tiba, Luna makan dengan lahap, mengangguk-angguk seadanya setiap kali pria itu berbicara. Dalam hati, ia hanya ingin malam ini segera berakhir.
Tuhan, ini pertama dan terakhir kalinya ia kencan dengan pria yang belum move on.
Saat suapan terakhirnya habis, Luna melirik jam tangan. Hampir dua jam ia duduk di sini, mendengarkan pria di depannya meratap tentang mantan. Rasanya seperti sedang jadi konselor gratis, bukan peserta kencan buta.
Pria itu masih sibuk bercerita. Kali ini tentang bagaimana ia dulu sering mengantar jemput mantannya, membelikan hadiah-hadiah kecil, bahkan sempat berencana menabung bersama untuk masa depan.
Luna tidak tahan lagi.
Ia meletakkan garpunya dan menegakkan punggung. “Mas, kayaknya kamu masih sayang banget sama mantan, ya?”
Pria itu mengangkat wajah, sedikit terkejut. “Ya… mungkin. Tapi kan wajar, lima tahun itu waktu yang lama.”
Luna tersenyum tipis. “Terus kenapa ngajak aku kencan?”
Pria itu terdiam.
“Apa kamu benar-benar ingin kenal orang baru, atau cuma butuh tempat buat curhat?” lanjut Luna dengan nada lembut tapi tegas.
Pria itu tergagap, jelas tak menyangka Luna akan seblak-blakan seperti ini. “Ehm… aku pikir… ya, aku mau coba kenalan sama orang baru, gitu.”
Luna mengangguk. “Tapi dari tadi yang aku dengar, cuma cerita tentang mantanmu. Aku hampir nggak tahu apa-apa tentang kamu selain kisah cinta yang gagal.”
Pria itu semakin salah tingkah. “Maaf, aku nggak sadar udah ngomongin dia terus…”
Luna menyesap minumannya, kemudian tersenyum. “Nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Move on memang nggak gampang.”
Pria itu menghela napas panjang. “Iya. Susah banget.”
Luna mengangguk pelan. Ia tak ingin memperpanjang pembicaraan. Ia sudah kenyang, sudah mendengarkan cukup banyak cerita yang tak relevan dengan kehidupannya, dan sekarang ia hanya ingin pulang.
“Kalau gitu, aku duluan, ya?” katanya seraya mengambil tasnya.
Pria itu tampak kaget. “Oh, eh… iya. Aku anterin?”
Luna tertawa kecil. “Nggak usah, makasih. Aku naik ojek online aja.”
Ia berdiri, memberikan senyum terakhir sebelum melangkah keluar dari kafe.
Begitu sampai di luar, ia menghembuskan napas panjang. Udara malam terasa lebih segar dibanding atmosfer kencan tadi. Dengan cepat, ia memesan ojek online dan menunggu di pinggir jalan.
Ponselnya bergetar.
Luna, gimana kencannya?
Itu pesan dari Mira. Luna mengetik cepat.
Aku butuh teh hangat. Dan mungkin terapi mental.
Tak butuh waktu lama, Mira membalas.
Waduh. Segagal itu?
Parah sih lebih tepatnya. Aku belum pernah ketemu cowok kayak gini!
Ojeknya tiba sebelum Mira sempat membalas. Luna naik ke motor dengan hati lega. Setidaknya, malam ini akhirnya berakhir.
Di sepanjang jalan, ia tak berhenti memaki cowok tadi. Luna menghela napas panjang, masih setengah ingin membanting ponselnya ke jalanan.
Ia bersumpah, ini terakhir kalinya ia menemui pria dari aplikasi tanpa penyaringan yang lebih ketat.
Sialnya, ini bukan pertama kali ia terjebak dalam kencan buruk. Tapi yang satu ini… sungguh di luar dugaan. Ia tidak percaya sudah menghabiskan hampir dua jam dengan pria yang lebih tertarik membicarakan mantannya daripada mengenalnya.
"Serius, apa-apaan tadi? Dia ngajak ketemu, tapi isinya cuma curhat?!" gumamnya sambil mengetik pesan cepat ke Nayla.
Tebak, aku baru ketemu cowok kayak apa?
Belum sempat ia menunggu balasan, kepalanya sudah penuh dengan ingatan tentang kencan menyebalkan tadi.
Lima belas menit kemudian, Luna turun dari ojek online, membayar dengan cepat, lalu melangkah menuju gerbang rumah Nayla. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi nyaman dan asri, dengan pagar besi hitam yang sedikit berderit ketika ia membukanya.
Begitu masuk ke halaman, ia langsung berteriak, “Naaaay!” suaranya menggema di malam yang mulai sunyi.
Tak ada jawaban.
Luna melirik jam tangan. Baru jam delapan malam. Masa Nayla sudah tidur?
Ia menghela napas, lalu berjalan ke pintu depan dan mengetuk dengan agak keras. “Nay, aku pulang!” katanya lagi.
Tetap tidak ada jawaban.
Dahi Luna berkerut. Jangan-jangan Nayla pergi? Tapi biasanya kalau mau pergi, pasti kasih tahu dulu.
Luna mencoba menarik gagang pintu. Terkunci.
“Haduh, Nayla, kemana sih?” gumamnya sambil mengeluarkan ponsel. Ia mengetik cepat.
Nay, aku udah di depan rumah. Kamu di mana?
Tiga puluh detik. Satu menit. Dua menit. Tidak ada balasan.
Luna mulai tidak sabar. Ia mengendap-endap ke samping rumah, mencari celah untuk mengintip ke dalam. Lampu ruang tamu menyala. Berarti Nayla di rumah, kan?
Ia kembali ke depan dan mengetuk pintu lebih keras.
“Nay! Aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!” teriaknya lagi.
Akhirnya, suara langkah mendekat terdengar. Kunci diputar, pintu terbuka sedikit, dan wajah Nayla muncul dari baliknya.
Luna langsung masuk tanpa menunggu dipersilakan. “Nay, kamu kenapa sih?”
Begitu melihat wajah sahabatnya, Luna langsung tahu ada yang tidak beres. Mata Nayla bengkak, hidungnya memerah, dan rambutnya sedikit berantakan. Ia baru saja menangis.
Luna menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Nayla tajam. “Oke, spill. Ada apa?”
Nayla menghela napas, berjalan ke sofa, lalu menjatuhkan diri di sana. “Gak ada apa-apa.”
Luna menyipitkan mata. “Nayla Kiran, jangan bohong sama aku.”
Nayla menatapnya sejenak, lalu menunduk, memainkan ujung bajunya.
Luna ikut duduk di sampingnya, menepuk bahunya pelan. “Mantan suami kamu lagi bikin ulah?”
Nayla menggeleng.
“Terus?”
Hening.
Luna menunggu dengan sabar. Sudah lama ia berteman dengan Nayla, dan ia tahu kalau sahabatnya itu butuh waktu untuk berbicara.
Akhirnya, Nayla menarik napas dalam dan berkata pelan, “Aku... baru aja ketemu sama ibu mertuaku.”
Luna mendengus. “Mantan ibu mertua.”
Nayla tersenyum miris. “Iya. Mantan. Tapi tetap saja rasanya...”
“Dia ngomong apa?”
Nayla mengusap wajahnya sekali lagi, menekan rasa sesak yang perlahan kembali memenuhi dadanya. Ia sudah menduga bahwa percakapan dengan ibu mertua eh mantan ibu mertua tadi tidak akan berjalan mulus, tapi ia tidak menyangka kalau mantan suaminya itu akan setega ini.
“Dia ngomong apa?” Luna bertanya, nada suaranya sudah mulai naik.
Nayla menelan ludah, merasa tenggorokannya kering. “Dia minta supaya aku gak bawa apa pun dari harta gono-gini itu. Bahkan… semua usahaku."
Sejenak, ruangan terasa sunyi, lalu—
“Apa?!” suara Luna nyaris melengking.
Nayla mengangkat kepala, melihat bagaimana ekspresi sahabatnya itu berubah drastis. Luna menatapnya dengan mata membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Enak aja! Gak bisa gitu dong! Kamu kan bikin usaha hijab itu sendiri, Nay! Itu modalnya juga dari orangtuamu, bukan anaknya dia! Enak aja!”
Luna sudah berdiri dari duduknya, gesturnya penuh kemarahan. Ia berkacak pinggang, sementara wajahnya merah padam.
Nayla tersenyum tipis, meski matanya masih dipenuhi kelelahan. Ia tahu, Luna pasti akan bereaksi seperti ini. Sahabatnya itu memang selalu lebih marah atas ketidakadilan yang menimpanya dibanding dirinya sendiri.
Tapi apa yang bisa ia lakukan?
Arman bukan hanya sekadar mantan suami. Lelaki itu adalah seseorang yang pernah ia cintai, seseorang yang pernah ia percayai sepenuhnya. Dan kini, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa cinta dan kepercayaan itu tak hanya dihancurkan, tapi juga diinjak-injak tanpa belas kasihan.
“Aku gak tahu lagi harus gimana, Lun,” suara Nayla bergetar. “Aku cuma… lelah.”
Luna mendesah keras, lalu duduk kembali. Ia menatap Nayla lekat-lekat, matanya menyiratkan kemarahan dan kepedulian sekaligus.
“Dengar, Nay,” katanya dengan nada lebih tenang. “Kamu gak boleh nyerah. Kamu gak boleh biarin dia dan keluarganya itu seenaknya. Itu usaha kamu, jerih payah kamu. Dia gak berhak sama sekali.”
Nayla menatap kosong ke depan.
Ya, ia tahu itu. Tapi menghadapi Arman dan keluarganya terasa seperti perang yang tidak akan pernah ia menangkan. Mereka punya segalanya—koneksi dan pengaruh. Sedangkan ia?
Ia hanya seorang perempuan yang baru saja kehilangan pernikahannya, kehilangan sebagian besar hidupnya, dan kini nyaris kehilangan dirinya sendiri.
“Apa aku harus fight?” tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Luna menepuk tangan Nayla dengan lembut, namun dengan genggaman yang penuh keyakinan.
“Kamu gak harus fight sendirian,” katanya mantap. “Kamu punya aku, Mira, dan semua orang yang sayang sama kamu. Kita gak akan biarin kamu dijahatin gitu aja.”
Nayla menatap sahabatnya itu, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan tadi dimulai, hatinya terasa sedikit lebih ringan.
Mungkin… mungkin ia memang harus berjuang. Kali ini, untuk dirinya sendiri.
Nayla terdiam, menatap kosong ke cangkir teh di hadapannya. Kata-kata Luna bergema di pikirannya. Cari pengacara. Cari bukti. Seharusnya memang begitu, kan? Seharusnya ia tak membiarkan Arman dan keluarganya semena-mena.
Tapi Nayla sudah terlalu lelah. Ia sudah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya dalam bayang-bayang pernikahan yang terus menekan, dalam hubungan yang lebih sering membuatnya menangis daripada tertawa. Dan kini, setelah semua itu berakhir, ia masih harus berjuang untuk sesuatu yang jelas-jelas adalah miliknya?
Luna, yang masih berdiri dengan tangan bertolak pinggang, menatapnya dengan penuh tekad.
"Nay, orang gila kayak mereka itu gak bisa kami diamin aja. Kamu harus balas," katanya, suaranya dipenuhi kemarahan yang membara. "Ayo besok kita cari pengacara. Cari bukti kalau semua usaha hijab yang kamu bangun itu memang milik kamu. Pasti ada kan buktinya?"
Nayla mengerjapkan mata, masih mencoba mencerna semuanya.
"Bukti..." gumamnya lirih.
"Iya, bukti! Pasti ada kan bukti transfer, catatan modal, atau apa pun yang bisa nunjukin kalau semua ini usaha kamu?" Luna semakin bersemangat. "Kamu kan dari awal bangun ini sendiri, Nay. Dari sebelum nikah sama si b******k itu, kan?"
Nayla mengangguk pelan. Benar. Usaha hijab ini adalah mimpinya sejak lama. Sejak ia masih kuliah, ia sudah merintisnya dari nol, dengan uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari kerja sampingan dan tabungan yang diberikan orang tuanya.
Ketika menikah dengan Arman, usahanya semakin berkembang. Tapi itu bukan karena suaminya membantu, melainkan karena Nayla sendiri yang bekerja keras. Arman bahkan tak terlalu peduli, selama Nayla tetap menjalankan tugasnya sebagai istri yang ‘baik’ menurut standar keluarga mereka.
"Harusnya ada," Nayla akhirnya bersuara, meski masih terdengar ragu.
"Tuh kan! Kalau ada bukti, kita bisa lawan mereka! Jangan kasih mereka kesempatan buat ngerampas apa yang udah kamu bangun, Nay," Luna menepuk meja dengan semangat.
Tapi Nayla tetap diam. Ia memikirkan konsekuensinya.
Arman dan keluarganya bukan tipe orang yang akan tinggal diam jika ia melawan. Selama ini mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan ia tahu, jika ia menantang mereka, pasti akan ada balasan.
Tapi…
Jika ia membiarkan mereka mengambil semuanya, bukankah itu sama saja dengan membiarkan mereka menang?
"Nay?" Luna menatapnya cemas.
Nayla menghela napas panjang. Ia menutup matanya sejenak, merasakan lelah yang menumpuk di tubuh dan pikirannya.
Lalu, ia membuka mata dengan sorot yang sedikit lebih tegas.
"Oke," katanya, suaranya lebih mantap dari sebelumnya. "Besok kita cari pengacara."
Luna tersenyum lebar. "Nah, gitu dong!"
Untuk pertama kalinya sejak percakapan ini dimulai, Nayla merasa sedikit lebih ringan. Mungkin ini awal dari pertarungannya. Tapi kali ini, ia tak akan sendirian.
***