4. Nathan

1286 Words
Pesawat mendarat dengan sempurna di bandara Changi. Gue pun mengambil koper gue dan mulai antri untuk turun. Ternyata setelah turun dari pesawat, gue mesti naik bus yang telah disediakan oleh pihak bandara. Gue enggak terlalu begitu memperhatikan kemana arah bus ini berjalan. Bus berhenti dan gue pun turun dari bus. Gue memeriksa kembali barang bawaan gue yang paling utama yaitu paspor. Karena di depan gue adalah bagian imigrasi dan antriannya coy panjang bener. Tapi ya gue enggak heran sih ya mengingat kalau negara Singapura sering dijadikan bandara transitnya gitu. Jadi wajar kalau ramai kayak gini. Gue pun ikut antri, kayaknya ada empat gate yang buka. Gue ngelihat ke arah sekeliling gue. Hanya beberapa yang gue dapat kenali sebagai orang Indonesia. Selebihnya orang Eropa, Amerika ada juga warna Jepang. Gue rada bosan menunggu kayak gini sebelum gue mati kebosanan, lebih baik gue hubungi Ryo. Ryo adalah salah teman gue yang kerja di Singapore. Gue juga enggak tahu itu anak kerjanya ngapain tapi entah kenapa tuh bocah betah amat kerja hampir tiga tahun lamanya. Bisa jadi gajinya lebih besar kan. Tapi menurut gue gaji besar di Singapura sebanding dengan biaya hidup yang dikeluarkan untuk sehari-hari. Ah sial no ponselnya enggak aktif pula lagi. Padahal dia udah janji mau jemput gue di bandara. Gue mengedarkan pandangan gue dan menemukan lagi gadis di ruang tunggu bandara Sultan Syarif Kasim. Lah tujuan kami ternyata sama tapi kening gue mengernyit ketika mendapati gadis itu tengah membidik apapun benda yang bisa di tangkap oleh kamera ponselnya. Gue perhatiin tingkah laku si cewek, astaga gue malu ngelihat kelakuan dia yang benar-benar katrok banget. Syukur aja tuh cewek enggak nekad meminta foto bareng dengan bule-bule yang tengah ikut antri di bagian imigrasi. Cepat-cepat gue palingkan wajah gue. Moga aja gue enggak ketemu sama tuh cewek. Amit-amit banget. **** Setelah menggantri sekitar tiga puluh menit lebih akhirnya gue keluar dari gate imigrasi. Gue mengecek ponselnya gue kembali. Aishh enggak ada notifikasi apapun yang masuk. Ryo emang benar-benar melupakan gue kayaknya. Jelas-jelas gue hanya bawa uang pas-pasan sisanya gue mau porotin Abang ipar gue yang tercinta itu. Ponsel gue berbunyi dan gue lihat tenyata Ryo yang menelpon gue. Tanpa menunggu terlalu lama, gue langsung menjawab panggilan itu. "Lo enggak jemput gue?!" Gue langsung menyembur Ryo dengan tak sabar. "Sorry banget Nat, gue enggak bisa jemput lo. Kerjaan gue enggak bisa di tinggal," ucap Ryo dari sebrang yang tentunya enggak sepenuhnya gue percaya begitu saja. Gue hapal watak Ryo luar dalam. "Honey, come here please. I wanna kiss you again." Shit man. Sibuk apaan coba, gue mendengus dalam hati ketika mendengar suara cewek dari kejauhan. Kerjaan yang satu lagi dan persahabatan gue yang terjalin sejak lama kalah karena seorang cewek. Brakk Kaki gue menabrak sesuatu dan ternyata gue menabrak sebuah koper. Gue kaget koper siapa yang gue tabrak. Gue memandang sejenak cewek yang di bandara tadi. "Gua naik grab aja kalau gitu," putus gue karena mulai terdengar suara-suara mistis di sana. Lalu gue matikan sambungan telpon gue. "Sorry gue nabrak koper lo." Gue sebenarnya ogah sih bilang maaf kaya gini. Cewek itu masih belum merespon apapun. Gua yakin dia terpesona dengan ketampanan gue yang hakiki. "Iya enggak apa-apa mas. Koper gue juga enggak kenapa-kenapa," sahut cewek itu pada gue dan dia menampilkan senyum senatural mungkin. Tapi yang gue tangkap malah senyumnya lebar banget. Mungkin dia ngerasa hoki kali ya bisa lihat cowok secakep gue dari jarak dekat. Gue pun menggaruk tengkuk gue. "Oke, gue duluan." Gue pamit ke cewek itu dan menggeret koper gue keluar dari bandara sambil memesan grab. Pesanan gue di tangkap oleh salah satu driver grab terdekat. Berhubung gue pakai nomor ponsel Indonesia yang panjang enggak kayak no ponsel di Singapura. Jadi si supir driver meminta deteksi wajah ke ponsel gue. Gue mah maklum aja ya takut itu adalah orderan fiktif yang marak terjadi belakangan di Indonesia. Setelah orderan gue di verifikasi, gue pun menunggu grab gue datang. Gue akui sih kalau negara Singapura ini kecil jadi sekitar lima atau tujuh menitan gitu grab gue sampai. Saat mobil grab datang, gue mencocokkan dengan nomor polisi yang ada di plat nya dan ternyata sama. Supir grab turun dan membantu mengangkat koper gue. Setelah koper gue beres, gue pun masuk ke dalam mobil. Gue langsung aja beri tahu dimana gue bakalan turun. Sepanjang perjalanan menuju hotel yang letaknya tak jauh dari daerah Bugis, kepala gue mikirin gimana caranya supaya gue bisa ketemu dengan Abang ipar gue. Secara kakak gue kirim email ke gue posisi terakhir Abang ipar gue ada dimana. Gue heran deh, kakak gue ini spy atau apa ya? Posisi terakhir suaminya aja bisa tahu, kalau gitu mending kakak gue aja kak yang seret Abang ipar gue biar mereka honeymoon yang kesekian kalinya. Entahlah gue kadang bingung dengan drama ala Korea yang mereka ciptakan. Satu tukang ngambek satunya lagi tukang kabur kayak anak abege. Parah emang. Gue udah sampai di depan hotel dan gue pun turun setelah membayar ongkos grab gue. Gila ongkos yang mesti gue keluarin buat grab aja delapan belas dolar. Gue mesti masukin ke anggaran tak terduga kalau begini dan nuntut ganti rugi ke kakak gue. Setelah mobil grab telah menjauh, gue melihat jalan north bridge rood masih terlihat sama saat terakhir kali gue ke sini. Gue pun masuk ke dalam hotel dan di sambut oleh resepsionis yang udah hapal banget dengan wajah gue. Secara kalau gue ke Singapura selalu nginap di hotel ini. "Welcome back mister," sapa resepsionis pada gue dengan senyum ramahnya. Gue pun mengembangkan senyum. Gue menunjukkan reservasi hotel yang telah gue buat dan resepsionis dengan sigap memberi gue kunci hotel. "Enjoy your night, mister Nathan." Gue tertawa kecil. "Thankyou miss," sahut gue sambil menuju lift. Kamar gue terletak di lantai dua dengan nomor tujuh belas. Gue menyerat koper gue dengan ogah-ogahan dan membuka pintu kamar hotel. Gue meletakkan di sembarang tempat koper gue dan gue merebahkan badan gue. Nyamannya kasur kamar hotel. Baru aja sekitar sepuluh menit gue merebahkan badan gue. Panggilan masuk dari Ryo buat gue mengernyit. Gue pun menjawab panggilan Ryo. Entah kenapa kerongkongan gue haus dan pengen minum yang ada es batunya. Sambil menerima panggilan Ryo, gue keluar dari kamar hotel. "Lo dimana sekarang? Kerjaan gue udah kelar," ucap Ryo dari seberang. Gue mendecih kesal. Apa-apaan itu dia bilang kerjaannya udah kelar, di saat duit gue udah melayang delapan belas dollar buat grab. "Astaga gue baru sampai, lo argghh," rutuk gue sambil mengacak rambut dengan gemas. Gue sebal pengen makan orang rasanya saat ini juga. Saat gue membalikkan badan ternyata gue melihat cewek itu lagi. Gue tahu Singapura itu kecil, masa gue udah lihat ini cewek empat kali dalam waktu yang berdekatan. "Apa lo lihat-lihat," sembur gue galak karena gue dalam mood yang kacau karena Ryo. "Set dah, lo cowok tapi jutekan. Gue sumpahin enggak ada cewek yang mau sama lo," sembur si cewek enggak mau kalah. Malah si cewek menatap gue seolah menantang gue. Gue berdecih dalam hati. Mau nantangin rupanya. "Bagus gue juga enggak tertarik sama cewek," ucap gue kalem sambil menatapnya. "Cewek modelan kayak papan triplek maksud gue," imbuh gue dalam hati. "Bagu-" Gue memperpendek jarak tubuh gue dengan si cewek. Sumpah ini cewek bawel amat. Nyebelin kalau gue bilang. Gue menyeringai senang ketika melihat wajah paniknya dengan jelas. Siapa suruh dia pancing gue yang lagi kesal. Gue pun menempelkan bibir gue di bibir dia agar dia tuh diam, enggak berisik. "Bibir lo flat banget," cibir gue setelah gue melepaskan ciuman gue ke bibirnya. Gue menaikkan sebelah alisnya gue melihat ekspresinya. Sebelum dia meledak, gue lebih dulu masuk ke dalam kamar hotel. Setalah gue masuk ke dalam kamar hotel, gue baru sadar kalau gue sama Ryo masih saling telpon. Oh sial, Ryo pasti dengar semuanya dan gue jadi bahan olokan dia entar. Menyebalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD