Chapter 3 : Sintia Anak Ustadz

2033 Words
Setelah 30 menit perjalanan, mobil Elvano berhenti di tempat permainan. Menemani Arumi bermain sementara Amira dan Jayden mengawasi keduanya yang tampak asik. "Jayden," panggil Amira. Pria yang tengah memperhatikan Elvano tak jauh darinya segera menoleh. "Iya bu" sahutnya menanggapi panggilan Amira. "Semalam aman," Seolah tau kemana arah pertanyaan tersebut, Jayden pun menjawab, "Aman bu. Semuanya bersih, anda tidak perlu khawatir." "Baguslah, saya cuma tidak mau nantinya ada wanita yang datang meminta pertanggungjawaban." "Itu tidak mungkin terjadi karena presdir sangat teliti dalam hal tersebut, apalagi menyangkut nama baik dan juga nona kecil." "Saya mau kamu tetap mengawasi El, kalau ada apa-apa atau menurutmu gak masuk akal, beritahu dia langsung. El tidak akan menolak jika kamu memberitahunya. Yang dia percaya hanya kamu begitu juga saya dan Arumi." Jayden Mark 25 tahun selaku kepercayaan Elvano mengangguk merasa terhormat bisa menjadi orang terpenting dari elvano selama pria itu kembali bangkit lagi dari keterpurukan. "Baik bu." jawabnya. Bagaimana pun dia akan selalu berpihak pada mereka sebab kalau bukan karena Elvano membantunya keluar dari keterpurukan juga, dia tidak akan mungkin berada di sini dan menjadi seseorang. Pemuda yang dijadikan petarung jalanan oleh sang ayah, di poles untuk menjadi kepercayaan Elvano ketika hampir mati setelah kalah lalu dibuang oleh ayahnya. Dianggap sudah tidak berguna lagi untuk menghasilkan uang. Bahkan sang ibu harus meregang nyawa demi menyelamatkannya dari amukan laki-laki b******k seperti ayahnya yang kini sudah mendekam dibalik jeruji besi. "Ini berikan pada mereka, saya mau kesana sebentar." Amira memberikan botol air minum untuk Arumi dan juga Fore Pandan Latte milik Elvano. "Baik bu." melihat kepergian Amira, Jayden menghampiri Elvano dan Arumi. Tangannya bergerak membuka penutup botol untuk Arumi. Elvano menoleh menyadari keberadaan Jayden. "Thanks." ucapnya menerima botol lalu memberikannya pada Arumi. "Mama mana?" tanya Elvano, kali ini menerima latte miliknya mengabaikan tatapan-tatapan kagum dari beberapa ibu-ibu atau pun gadis di sana. Siapa yang tidak oleng melihat pria tampan begitu berkharisma, idaman para wanita seperti Elvano tengah menemani anaknya bermain? Benar-benar seperti daddy Hubble yang sering muncul di novel romansa percintaan apalagi mereka tau lelaki ini seorang duda, beh lengkap sudah. Kalau kata gadis jaman sekarang sih, rahimku jadi hangat cuma liat dia. Lah? Belum di apa-apain udah hangat aja tuh rahim. Aneh memang, seperti itulah jaman sekarang aneh. Apalagi kalau udah ada yang ngomong gini, aduh… kalau om-om nya gini mah di perkosa sampe hamil juga aku rela. Hilih otak gila emang. Yakin rela? giliran di perkosa beneran meraung-raung kek orang gila minta pertanggungjawaban, kalau enggak dapat bakal spek up ke publik kalau dia di perkosa sampai hamil sama si ini. Situ waras gak bos? Belum lagi Jayden yang bisa dikatakan punya proporsi tubuh tidak jauh beda dari Elvano bahkan wajahnya pun tak diragukan lagi kadang jadi sasaran. seperti, Gak dapat bos, bodyguard nya pun boleh. Bisikan gadis-gadis di sana melihat kedatangan Jayden. "Ibu lagi jalan sebentar Presdir, mungkin pengen beli sesuatu." jawab Jayden menerima kembali botol milik Arumi. Elvano mengangguk. Arumi mendongak menatap Jayden melambaikan tangan menyapa pria itu yang dengan senang hati Jayden membalas lambaian tangan nona kecilnya. "Om Jay gak mau ikut main? Seru loh hehe." Arumi tersenyum lebar sangat menikmati hari liburnya bersama sang daddy. Jayden terkekeh menggulung lengan bajunya lalu berjongkok, "Arumi aja deh, om jagain di sini aja." katanya mendapat anggukan semangat dari sang nona kecil. "Oke deh. Daddy, Umi mau ke sana boleh?" Arumi menunjuk trampolin tidak jauh dari mereka beristirahat. "Hati-hati tapi ya, daddy sama om Jay di sini." ucap Elvano, setidaknya putrinya mau berbaur dengan orang lain itu juga untuk meningkatkan hasil pemeriksaan spesialis anaknya. Akibat trauma yang ditinggalkan oleh ibu kandung Arumi, meskipun kejadian saat itu Arumi masih berumur seminggu namun perasaan itulah yang ia rasakan. Gadis kecilnya menjadi begitu pendiam jika berada di luar apalagi melihat orang baru, dia hanya akan bersuara jika perasaan aman itu ada dan itu pun jika bersama Elvano, Amira sama Jayden dan tentunya orang-orang rumah. Di luar itu, Arumi akan menghabiskan waktunya dengan diam dan menjauh dari teman-temannya sekolah. Sambil mengawasi Arumi Elvano bertanya, "Bagaimana, sudah di urus?" "Sudah presdir, seperti yang anda bilang saya juga mengirim bonus dengan catatan diberikan pada gadis itu." Elvano mengangguk. "Bisa kamu cari tau dia siapa?" menoleh pada Jayden dan tanpa bertanya Jayden mengangguk. "Baik presdir." "Tidak bertanya untuk apa?" Jayden menggeleng, membuat Elvano terkekeh geli, itu pun masih terlihat datar dan dingin. "Kenapa?" tanya Jayden bingung. "Ini di luar lingkup pekerjaan masih aja kaku. Emang kerja sama saya baru setahun? Kamu sama Arumi aja lebih tua situ." "Hehehe, iyalah tua an saya gimana sih bang," hanya cengiran yang Jayden lakukan. Drrrtt… Getaran handphone di saku celana Jayden mengalihkan pria itu. "Sebentar bang," Elvano mengangguk membiarkan Jayden menerima panggilan tersebut. Sementara di tempat lain tampak Amira tengah kesusahan mencapai sesuatu di atas sana. Tak lama seorang gadis modis berhijab turut membantunya. "Terima… loh bu Sintia 'kan?" seru Amira dengan gembira melihat siapa yang membantunya. Sintia Anastasya 25 tahun guru paud Arumi menoleh kala mendengar seruan seseorang. Sintia ini di kenal sebagai anak seorang Ustadz di daerah komplek tak jauh dari rumah Elvano, Amira tak pernah berhenti mengagumi gadis di hadapannya sebab dia sangat menginginkan gadis sepertinya bisa menjadi menantunya kelak. Keduanya sudah saling mengenal di mana Amira selalu mengantar Arumi ke sekolah. "Loh bu Amira di sini juga, ah maaf bu ini mainannya. Kenapa gak minta tolong sama mas nya, kasian kalau ibu harus ngambil sendiri." ucap Sintia semakin membuat seorang Amira mengagumi keramahannya. "Kan sekarang udah ada kamu." kata Amira sampai Sintia tersenyum lebar. "Hehe, Lain kali minta sama mas nya bu biar gak repot." "Pasti, tadi tuh seneng liat ini soalnya Arumi pengen banget punya ini katanya sih limited edition gitu jadinya takut di ambil orang." Sintia melihat mainan di tangan Amira mengangguk mengerti. "Iya sih bu, anak abang aja sampe nangis-nangis mau ini dan Alhamdulillah udah dapet kemarin." katanya tersenyum. "Ibu kesini sendiri? Kalau gitu sama saya aja, kebetulan jalan sendiri juga biar ada temen hehe." tanya Sintia lagi "Gimana kalau bu Sintia aja yang gabung sama kita?" "Kita? Panggil Sintia aja bu." Sintia tersenyum ramah. "Aduh cantik banget sih," puji Amira, membuat Sintia tersenyum malu memegang pipinya yang memerah. "Jangan di puji Sintia nya bu, takut terbang hehe." lontar Sintia kontras dengan candaannya. "Hahaha bisa aja kamu tuh. Tapi beneran loh kamu cantik banget, pengen deh punya mantu kayak kamu gini. Kalau kata orang ibu-ibu temen arisan tuh kamu ini paket komplit banget." "Ih si ibu makin nerbangin tau, lagian percuma juga paket komplit kalau jodohnya pada lari." "Udah tenang aja soal itu, nanti ibu kenalin sama daddy nya Arumi. Kalian belum pernah ketemu kan," Sintia mengangguk membenarkan hal tersebut. Selama mengajar hanya orang tua dari Arumi yang tidak pernah ia temui, Amira juga sudah memberitahu jika Arumi hanya punya Daddy, dengar-dengar sih dia duda sempurna kata ibu-ibu yang pernah bertemu dengan pria itu. Ia jadi bertanya, sesempurna apa sih pria itu sampai-sampai membuatnya begitu penasaran? "Udah yuk gabung sama kita aja, sekalian makan malam." tanpa menunggu lama lagi, Amira menarik Sintia ke kasir. "Gapapa kan kita jalan-jalan dulu, soalnya Arumi hari ini jadwalnya full sama Daddynya." katanya begitu tiba di depan kasir. "Gapapa sih kalau bu Amira gak keberatan. Saya juga gak ada kerjaan, paling ngecek tugas buat anak-anak aja." Amira mengangguk tersenyum. " Gak akan ke ganggu kok tenang aja. Mas sekalian sama punya mbak ini ya," lontar Amira menunjuk barang-barang milik Sintia. "Eh gak usah bu, saya bawa dompet kok." tolak Sintia halus, bukan apa-apa dia tidak mau terlihat seperti memanfaatkan keramahannya. "Udah gapapa, pokoknya jangan nolak kalau sama ibu. Oke," "Tapi bu, saya jadi gak enak." "Sstt.. gapapa, berapa mas?" tanya Amira tersenyum. Penjaga kasir pun menyebutkan jumlah belanjaan mereka dan Amira mengeluarkan kartu kredit miliknya sesekali tersenyum melihat Sintia dengan wajah tak enaknya. Ah gadis ini benar-benar cocok buat El. Pikir Amira menerima kembali kartunya setelah itu menarik pelan Sintia ke lantai atas dimana Elvano bersama Arumi. * * * Dalam gendongan Elvano, Arumi tersenyum lebar melihat keberadaan sang nenek. Ia pun menunjuk, "Daddy itu nenek," katanya namun senyum itu tiba-tiba luntur melihat keberadaan seseorang yang ia kenal. Meski Sintia guru yang baik, entah kenapa Arumi tidak terlalu menyukainya. Makanya di sekolah ia hanya berinteraksi seperlunya saja, kadang juga sisi trauma itu kembali hanya dengan melihat keberadaan gadis berhijab itu. Jayden melihat hal tersebut diam-diam memperhatikan kondisi Arumi. elvano pun menyadari gerak-gerik Arumi mengerutkan kening menepuk-nepuk punggung sang anak. "Kenapa, hem?" tanyanya. "Kayaknya Arumi gak suka sama gurunya bang." Bukan Arumi yang menjawab tetapi Jayden. Lelaki itu siapa gadis yang bersama Amira sebab dia pernah bertemu sekali saat menjemput Arumi di sekolah. "Guru?" "Yang lagi sama ibu." Elvano melihat lurus gadis yang Jayden bilang, bisa dilihat kalau tak ada yang salah dengannya keliatan juga gadis baik-baik melihat penampilan yang lebih tertutup tapi kenapa Arumi tidak menyukainya? Emm… kalau boleh jujur dia juga tidak suka sih, bukan style seorang Elvano si pejantan tangguh di kasur. Ah sial. Kenapa wajah gadis yang bersamanya semalam terlintas. Lebih sial lagi, miliknya tiba-tiba saja bereaksi. "Bang, jangan bilang kalau… " Jayden merasakan ketidaknyamanan dalam diri Elvano dan ia juga bisa menangkap sesuatu dibawah sana. "Astaga!! Liat tempat napa bang!?" Elvano buru-buru menggeleng cepat. "Bukan dia! Jangan salah paham. Gak tau kenapa saya inget gadis… sial. Ngomongin dia punya saya makin keras!" katanya membuat Jayden melotot. "Ya tapi masa gak bisa tahan sih?! Ini tempat umum astaga!!" "Emang saya mau? Ya nggak lah!" "Nggak sekarang juga kali bang!" Elvano berdecak kesal. Dia juga bingung kenapa tiba-tiba bereaksi hanya karena si gadis bergaun merah seksi itu melintas dalam pikirannya. Arumi yang berada di gendongan sang daddy hanya diam memeluk leher Elvano tak mengerti pembahasan yang tidak seharusnya dia dengar. Elvano berdehem. "Princess sama om Jay bentar ya, daddy mau pipis dulu." kata Elvano pada Arumi, matanya bergerak melempar tatapan pada Jayden. Pria itu pun meraih Arumi membiarkan si boss melepaskan tembakan di dalam toilet umum mungkin? Ia jadi bingung, tidak biasa Elvano seperti itu hanya dengan memikirkan gadis malamnya. "Loh mau kemana?" tanya Amira begitu tiba di hadapan Elvano di ikuti Sintia. "Ke toilet." ucap Elvano berlalu pergi, mengabaikan keberadaan gadis yang tampak diam mengaguminya. Bisa terlihat dari ekor mata jika gadis itu menunduk malu ketika ia melewatinya. Sebelum tiba tadi Amira memberitahunya yang mana Daddy Arumi melihat Jayden bersama Elvano dan setelah tau seperti apa wajah daddy Arumi, dia mengakui omongan ibu-ibu jika pria itu begitu sempurna. Ia bahkan tak bisa mengalihkan pandangan dari Elvano. Sintia tampak malu-malu kucing ketika mereka tiba, namun sayang sebelum berkenalan Elvano lebih dulu pamit pergi walau hanya sebentar saja, rasanya ia tak rela. Astaga! Hanya sekelebat saja, harumnya gak bisa aku abaikan. Astaga! Sintia segera berucap setelah merasa dirinya terlalu tenggelam dalam kekaguman terhadap daddy muridnya. "Hai Arumi," sapa nya lembut tersenyum melihat Arumi memeluk leher Jayden, sayangnya gadis itu seperti sebelum-sebelumnya jika di sekolah, mendapat penolakan dari Arumi. Amira melihat itu pun dibuat bingung, "Sayang gak boleh gitu, bu Sintia kan gurunya Arumi jadi harus jawab. Gak baik loh kayak gitu, namanya gak sopan entar Daddy marah." katanya menegur sang cucu, niatnya kan Sintia mau dijadikan menantu jadi harus mendekatkan mereka berdua biar Elvano tidak menolak nanti kalau seumpama Arumi membutuhkan Sintia sebagai mommy. "Gapapa bu, Arumi habis main ya?" tanya Sintia mencoba berbaur meski sudah mengenal Arumi namun dia memaklumi kondisi anak itu. Arumi hanya mengangguk dalam gendongan Jayden. Tapi gapapa seenggaknya dia menjawab, pikir Sintia. "Wah seru dong, tadi main apa?" sekali lagi Sintia bertanya dan Arumi menunjuk permainan di sana. "Arumi sekarang udah gak… " terhenti kala Arumi memanggil Elvano yang berada di belakang. "Daddy!" Arumi mengulurkan tangan meminta untuk di gendong sang Daddy, Elvano tersenyum meraih Arumi dan diam-diam Sintia ikut tersenyum melihat senyum Elvano. Sintia kembali menunduk saat Elvano menatapnya. Melihat keadaan sedikit canggung Amira pun berkata, "Dia Sintia, guru Arumi. Nak Sintia dia Elvano anak ibu daddy nya Arumi. Gapapa kan, Sintia gabung sama kita? Kasian dia sendirian jadi ibu ngajak sekalian makan malam nanti." tersenyum kecil begitu Sintia mendongak hendak menatap Elvano, sayangnya pria itu lebih dulu melenggang pergi. Amira berdesis canggung merasa tak enak, sementara Sintia juga tersenyum canggung. Sedangkan Jayden hanya diam mengambil alih barang bawaan Amira lalu mengikuti Elvano. "Dasar anak itu." gumam Amira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD