2 | Pria Terkutuk

1022 Words
"Ayo! Aku antar kamu ke kamar." Barra bangkit berdiri dengan membawa serta map berisi surat perjanjian. Diraihnya jas yang sejak tadi teronggok di atas kursi sofa. Annisa pun menurut tanpa banyak bicara. Ia memang butuh istirahat karena seharian ini terus berdiri sebagai pengantin yang paling bahagia di muka bumi ini. Di mata orang lain ia adalah wanita paling beruntung yang berhasil dipersunting oleh seorang Elbarra Adriano Prasetya—pewaris dari seorang konglomerat bernama Irawan Prasetya yang punya banyak usaha di berbagai bidang. Kekayaannya pun tidak akan habis tujuh turunan, delapan tanjakan ataupun sembilan belokan meski Barra dan keluarganya hanya ongkang-ongkang kaki sepanjang hidup. Ia pun pernah berpikir seperti itu tetapi setelah menikah, ia baru menyadari bahwa nasibnya begitu tragis karena ternyata pria yang menjadikannya sebagai istri, hanya berniat memanfaatkan. Hanya rahim miliknya yang diinginkan oleh suami. "Ini kamar kamu," ujar Barra sambil membuka pintu sebuah kamar. "Kamar punya aku ada di sana," tunjuknya ke arah pintu tinggi nan kokok yang berdiri tegak tepat di depan kamar yang diperuntukkan bagi istri. Annisa tidak tertarik untuk bicara apa-apa saat ini. Jangankan menjawab, menanggapi dengan ekspresi wajah pun ia enggan melakukannya. "Istirahatlah, Annisa. Kamu harus selalu sehat fisik dan mental. Karena kamu adalah calon ibu pengganti untuk anakku nanti. Besok kita ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan." "Hah? Secepat itu?" Anisa yang sejak tadi abai dan membiarkan suami bicara sendiri, akhirnya menanggapi. "Lebih cepat lebih baik, bukan? Jadi, baik aku atau pun kamu, akan segera terbebas dari ikatan yang membelenggu. Dan kamu pun bisa meneruskan hidup. Aku tidak akan mengganggu kamu lagi setelah kamu melahirkan nanti dan aku mendapatkan anak yang aku inginkan," jawab Barra dengan enteng, terdengar tanpa beban sama sekali. Annisa benar-benar tidak habis pikir dengan isi kepala pria itu. "Kenapa Anda tidak mencari wanita yang dengan suka rela mau melakukan apa pun demi uang? Kenapa harus menipu saya dengan cara seperti ini?" "Karena bukan hanya rahim kamu yang aku perlukan, Annisa. Aku juga membutuhkan sel telur kamu untuk menanam benihku tanpa harus melakukan hubungan suami istri. Karena itu aku menikahi kamu. Aku juga ingin anakku nanti lahir dari hasil pernikahan yang sah di mata negara. Dia butuh status jelas yang diakui." Seringai mengerikan kembali Barra ukir di wajah. Annisa diam ketika mendengar hal itu. Awalnya ia berpikir Barra akan menggunakan sel telur milik perempuan lain dan hanya menggunakan rahimnya saja. Tetapi ternyata sel telur yang digunakan berasal darinya. Yang ia tahu cara yang akan Barra gunakan adalah menempelkan cairan pria di rahimnya dan itu berarti anak yang nanti harus ia tinggalkan adalah anak kandungnya. Seketika saja lututnya seperti melunak hingga tidak mampu menopang tubuh. Ia mundur dan bersandar pada dinding. Cairan bening telah menggenang di pelupuk mata. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamnya, bicara pada diri sendiri. "Tentu saja mengikuti semua yang aku perintahkan. Itu yang harus kamu lakukan. Karena kamu sudah menandatangani surat perjanjian. Kamu tidak bisa mundur, Annisa!" Barra menjawab pertanyaan Annisa meskipun ia tahu wanita itu tidak bertanya padanya. Anissa menoleh pada sang pria dan menatap nyalang. Kebencian kini memenuhi hati. Ia membenci pria yang berdiri di hadapannya. Pria yang memberinya banyak harapan tetapi pada akhirnya menghempasnya ke jurang yang paling dalam. "Oh, iya. Jangan lupa. Kalau orangtuaku menelpon. Jaga bicara kamu. Jangan sampai keceplosan." "Kalau saya tidak mau?" "Ya gak apa-apa sih. Itu berarti kamu menumbalkan anak-anak panti demi kepentingan pribadi kamu," jawab Barra dengan santai seraya mengangkat bahu acuh. Dengan kesal Annisa menatap nyalang pria itu. Giginya bergemeletuk dengan kedua tangan terkepal. "Elbarra Adriano Prasetya, ingatlah! Suatu hari nanti Anda akan mendapatkan rasa sakit lebih dari yang pernah Anda torehkan pada orang lain," geramnya. "Oh. Apa itu sebuah kutukan? Aku takut! Aku merasa jadi pria terkutuk sekarang," sahut Barra dengan raut wajah takut yang dibuat-buat. Karena geram Annisa mendekati pria itu, sedikit membungkuk kemudian melepaskan sepatu hak tinggi yang masih melekat di kaki lalu memukulkannya pada kepala Barra hingga pria itu terhuyung dengan cairan kental merah mengalir dari kepalanya. "Istirahat lah. Aku tidak mau kamu sakit dan meru'sak semua rencanaku." Suara Barra, mengembalikan Annisa pada kesadaran. Ia melihat pria itu sedang berjalan menjauh darinya. Ternyata adegan ketika ia memukul kepala Barra hanyalah halusinasinya semata. Gambaran dari emosi yang kini tengah memenuhi hati. Tanpa peduli dengan tatapan sang istri , Barra terus melangkah. Yang ia pikirkan saat ini adalah segera memiliki keturunan agar bisa mendapatkan hak waris atas kekayaan keluarganya. Dengan langkah angkuh, Barra berjalan menuju kamar yang terletak tidak jauh dari kamar Annisa. Sebelum masuk, sekali lagi ia menoleh pada sang istri yang masih menatapnya dengan keki. Barra melanjutkan langkah hendak masuk ke dalam kamar. Tetapi, "Aduh!'' Lupa ternyata pintu itu belum ia buka hingga keningnya terbentur daun pintu yang kokoh. Dengan rasa malu, pria itu bersikap seolah tidak ada kejadian memalukan yang terjadi. Segera membuka pintu dan masuk secepat yang ia bisa. Dengan ekor mata ia melihat sang istri masih berdiri sembari menatap ke arahnya. "Pake acara kepentok pintu segala—lagi. 'Kan malu. Annisa juga kayaknya lihat. Ah! Dia pasti lagi ngetawain aku sekarang," keluh Barra saat sudah berada di dalam kamar, meraba kening yang terasa berdenyut nyeri. "Aduh ... mana kepentoknya kenceng pula. Sakit 'kan jadinya!" Sang pria merogoh saku jas bagian dalam saat mendengar suara dering telepon. Menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan dari seseorang. Sementara Annisa, masuk ke dalam kamar setelah menyaksikan kejadian di mana suaminya yang menyebalkan itu terbentur pintu. "Kena karma juga dia. Benjol, benjol deh itu jidat, biar dia tahu rasa. kalau perlu benjolan yang besar sekalian biar dia juga malu ketemu orang lain," gumamnya, mengumpat. Wanita itu duduk di tepi tempat tidur kemudian berbaring terlentang, menatap langit-langit kamar dengan tatapan sayu. Dihelanya napas panjang lalu dihembuskan dengan perlahan. Sesaat kemudian kedua matanya terpejam, diiringi oleh tetesan bening yang mengalir dari sudut netra. Ingin ia menyesali semua, tetapi sadar bahwa apa yang sudah terjadi tidak untuk disesali tetapi untuk dijalani. "Pa, Ma ... Papa sama Mama gak perlu khawatir, aku di sini baik-baik aja. Aku gak sendiri kok. Papa dan Mama selalu ada di sini." Annisa meletakkan telapak tangan di atas da'da seraya tersenyum. "Meski Papa dan Mama jauh di mata, tapi akan selalu dekat di hati aku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD