01 - Tepat Sasaran

1597 Words
Gadis itu tersenyum sambil berputar membentangkan tangannya. Rambutnya yang berwarna cokelat kemerahan bagai riakan ombak yang menarik perhatian siapa pun yang ada di sekitarnya. Kemudian, ia menarik tubuh seorang lelaki ke pinggir sebuah danau, memaksa lelaki itu untuk duduk di sampingnya. Aroma musim semi memenuhi hidung lelaki itu, kicauan burung yang riang mengisi suasana nyaman hutan di mana mereka berdua berada. Gadis itu mengatakan sesuatu, lalu tertawa dengan lembut. Kemudian ia memalingkan wajahnya, tersenyum hangat pada lelaki itu. Namun entah kenapa, lelaki itu tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, seperti ada kabut yang menutupi pandangannya setiap ia ingin menatap manik gadis itu. Seketika, keadaan di sekitar mereka berubah. Pemandangan danau yang disorot oleh sinar matahari yang tertutup awan, kicauan burung, dan juga pepohonan yang ada di sekitar mereka berganti menjadi sesuatu yang mengerikan. Tiba-tiba saja, mereka berada di dalam hutan yang sangat gelap. Tanah yang mereka duduki perlahan-lahan mulai menelan tubuh mereka berdua. Namun, gadis itu tetap tersenyum hangat sambil menyandarkan kepalanya pada bahu lelaki itu, seakan ia tidak menyadari perubahan yang ada di sekitarnya. "Kau akan datang, bukan?" tanya gadis itu sambil mengaitkan jari-jarinya pada jari lelaki itu. Menggenggam dengan keras, namun terasa hangat. "Jangan lupakan aku ... Zeth." . . Zeth terbangun saat kehangatan dari tangan gadis itu mulai menyebar, ia merentangkan tangannya mencoba untuk menggapai gadis itu. Seketika, dadanya terasa sesak, seperti ada lubang besar yang muncul di dadanya, membuatnya merasa tidak nyaman. Kehangatan yang sama setiap malam, kelembutan suara dari orang yang sama. Seorang gadis yang tidak ia kenal selalu hadir dalam mimpinya. Semua gerak geriknya seperti déjà vu, seperti seseorang yang sudah ia kenal sejak lama. Namun kenyataanya, gadis itu tidak pernah ada. Hampir dua tahun terakhir ia memimpikan orang yang sama, dan sampai saat ini ia tidak pernah tahu siapa gadis itu. Zeth mendesah pelan, mengepalkan tangannya ketika kehangatan yang selalu ia rasakan mulai menghilang. Ia menarik tangannya, memukul pelan dadanya yang masih terasa sesak setiap kali memimpikan gadis itu. Lebih tepatnya, ia merasa sedih dan kehilangan. "Zeth! Apa kau sudah bangun?" terdengar sahutan Bibi Et dari bawah, menyadarkannya dari lamunan. "Cepat ke sini! Sarapan sudah siap." "Baik, Bibi!" Jawab Zeth sambil bangun dari kasurnya. Ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi. Matanya menatap cermin yang menempel di atas keran air. Seseorang dengan mata hijau cerah dan rambut berwarna cokelat tua membalas tatapannya, ia merapikan potongan rambut pendeknya yang terlihat berantakan. Setelah mengganti pakaian, ia turun ke lantai bawah. Zeth tinggal bersama Bibi Etna dan Paman Josh. Seperti panggilannya, Bibi Et merupakan adik dari ayahnya. Kedua orang tuanya meninggal dunia saat ia masih kecil karena sebuah kecelakaan kereta kuda yang dinaiki oleh mereka, yang sampai saat ini tidak bisa ia lupakan. Dinding tangga menuju lantai bawah dipenuhi dengan foto bibi dengan pamannya, dan ada beberapa foto Zeth dengan mereka. Namun entah kenapa, ada sebuah foto yang selalu membuat hati Zeth seperti dipukul. Sebuah foto yang hanya ia sendiri berada di dalamnya, tersenyum cerah ke arah kamera tua yang dibawa oleh pamannya saat itu. Ia berdiri dengan tegap sambil menggenggam sebuah buket bunga di tangan kirinya, sedangkan tangannya yang bebas menggantung di udara ... seakan menggenggam sesuatu yang tidak bisa dilihatnya. Zeth menggelengkan kepalanya, dan kembali menuruni tangga. Ia melihat Bibi Et yang sedang menyiapkan perlengkapan makan di atas meja makan. Ada tiga piring yang berisi sup hangat di atasnya. “Bibi, apa paman Josh belum berangkat?” Bibi Et memiringkan kepalanya sedikit bingung. “Sudah, kau perlu sesuatu darinya?” Sepertinya … kebiasaan Bibi Et terjadi lagi, dia selalu menyediakan makanan untuk empat orang, padahal mereka hanya tinggal bertiga di rumah itu. "Bibi, porsi makanan yang kau siapkan lebih satu," kata Zeth sambil tersenyum tipis, membantu Bibi Et merapikan meja makan. Bibi Et tersenyum masam. "Entahlah Zeth, Bibi selalu merasa kita tinggal berempat." Ia mendesah sambil mengambil piring yang berlebih itu."Sudah berapa lama, ya? Tiga tahun?" Zeth sempat khawatir pada Bibi Et, khawatir kalau Bibi Et mulai ... berhalusinasi atau apa. Bibi Et dan Paman Josh tidak memiliki anak, tentu saja Zeth dan seluruh orang yang tinggal di Desa Lyx mengetahuinya. Tetapi Bibi Et selalu berpikir bahwa dia memiliki seorang anak perempuan. Bahkan di rumah ini ada kamar untuknya, tepat di sebelah kamar Zeth. "Oh Zeth, kau dapat surat. Elen menulisnya sebelum kau bangun," kata Bibi Et, memberinya surat kecil. Hanya membaca namanya saja, hati Zeth mulai berdebar kencang, mukanya terasa sedikit panas. Padahal, ia dan Elen sudah memiliki hubungan selama dua tahun sebagai sepasang kekasih. Ia membuka suratnya. Menarik kertas yang ada di dalamnya. Hai Zeth! Aku akan ke taman hari ini. Aku akan menunggumu, sampai nanti! Bibi Et berdeham pelan sambil menaik turunkan alisnya menggoda Zeth. Dengan usaha keras, Zeth mencoba untuk menahan senyumnya. Untuk mengalihkan perhatian Bibi Et darinya, ia menyalakan radio tua yang ada di atas meja kecil di dekat dapur. Seketika suara seorang wanita yang sedang membacakan berita memenuhi ruangan.  "—penyuntikan anti-virus Gregior akan dilakukan besok hari di seluruh pusat kota. Semua penduduk mulai dari umur 10-20 tahun dimohon untuk berada di alun-alun kota mulai dari pukul 10.00. Bagi yang berumur 10 tahun ke bawah dan 20 tahun ke atas, para pekerja dari pusat kota akan menyuntikkan anti-virus pada penduduk di rumah masing-masing yang terdaftar. Kami lanjutkan ke berita selanjutnya.." "Virus itu.." desah Bibi Et, menarik perhatian Zeth, "virus itu sampai saat ini masih belum diketahui berasal dari mana.. dan siapa atau apa yang menginfeksikannya. Zeth, kau pernah disuntik anti-virus itu, bukan?" "Ya Bibi. Aku pernah sekali dengan.. temanku?" Bibi Et mengerutkan kening. "Dengan ... Erik dan Will?" Zeth ingat, dulu ia pernah mengikuti penyuntikan itu dengan ... seseorang. Tapi, siapa? Entah kenapa ia tidak bisa mengingatnya sama sekali. Tidak, ia tidak pergi dengan Erik dan Will saat melakukan penyuntikan Anti-Virus itu. "Baiklah, jika kau ingin pergi ke pusat kota besok pagi, kau boleh pakai sepeda milik Josh.” Bibi Et duduk di kursi meja makan, sambil menyuruh Zeth untuk duduk di depannya. "Ayo cepat makan. Lusa kau berumur tujuh belas tahun, bukan?" katanya sambil tersenyum. "Itu tandanya kau sudah harus memiliki pekerjaan." Perkataan Bibi Et membuat Zeth semangat. Setidaknya, ia bisa melakukan hal lain selain bermain basket dari pagi sampai sore dengan teman-temannya. Semoga saja di ulang tahunnya yang ke tujuh belas ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang menarik. Dengan cepat Zeth menyelesaikan sarapannya, mencuci perlengkapan makannya ketika selesai dan izin untuk pergi ke taman pada Bibi Et. Terik matahari langsung menyengat kulitnya sesaat ia keluar dari rumah. Sambil berlari menuju taman, ia menyapa orang-orang yang mulai bersiap untuk pergi bekerja, beberapa toko yang berada di pinggir jalan utama baru saja buka. Ia menghirup aroma musim semi, dan juga aroma dari roti yang baru selesai dipanggang oleh toko roti milik paman Tom. Setelah beberapa menit berlari, akhirnya ia melihat tempatnya bermain dengan teman-temannya. Sebuah taman kecil yang mengelilingi lapangan basket di tengah-tengahnya. Di pinggiran taman itu, ada kotak yang berisi tanaman kebun seperti tomat, mentimun, dan berbagai macam umbi maupun sayuran lain.  Memang sengaja para warga menanamnya untuk membantu orang lain yang membutuhkan makanan. Desa Lyx berada jauh dari pusat kota, sehingga desa ini berpenghasilan kecil. Zeth melihat teman dekatnya yang sudah mulai bermain di tengah taman itu, Erik dan Will. Ketika sadar bahwa Zeth telah datang, dengan semangat mereka melambaikan tangan padanya. "Zeth!" Sahut Erik dari tengah-tengah lapangan. "Tangkap!" Dia melemparkan bola basket kepada Zeth yang baru saja sampai di ujung lapangan. Dengan sigap, Zeth menangkap bola yang diberikan oleh Erik. Bola itu ia bidikkan ke arah ring, kemudian ia lempar saat dirinya merasa kalau bola itu akan masuk dengan tepat. Benar saja, bola itu masuk tepat ke dalamnya. "Seperti biasa Zeth, tepat menuju sasaran!" Sahut Erik sambil menepuk bahu Zeth. Will berlari mendekati mereka. "Ah … aku tidak ingin kehilanganmu di tim.” Erik mengerutkan kening. "Oh ... lusa kau tujuh belas tahun ya?" Zeth tersenyum, lalu menaik turunkan alisnya. "Ya, aku harus mendapatkan pekerjaan dengan cepat. Aku bosan bermain dengan kalian.” Erik dan Will tertawa. "Benar, kau pasti bosan setengah mati menghabiskan waktu bersama kami."  Will menepuk bahu Zeth. "Ayo ikut kami main, Zeth. " Ia pun berlari menuju lapangan. "Zeth!" Erik melemparkan sesuatu padanya. Ternyata itu kertas bungkus roti dari toko paman Tom. "Tolong buang itu ke tempat sampah! Kau masuk timku, ya?" Erik pun menyusul Will ke tengah lapangan. Zeth melihat sekelilingnya, mencari tempat sampah yang ada di taman, dan melihat tempat sampah itu di dekat kotak yang sedikit jauh darinya. Kira-kira ... lima meter jauhnya dari tempatnya berdiri. Dengan asal-asalan, ia melempar kertas bungkus roti itu. Jika tidak masuk, ia berjanji akan membuangnya nanti setelah selesai bermain. Meski ia percaya diri bahwa kertas itu tidak akan masuk, dengan ajaib kertas roti itu berhasil masuk dengan tepat ke dalam tempat sampah. Memang, orang-orang sering mengatakan kalau lemparannya selalu tepat menuju sasaran. Tapi ... apa melempar kertas yang sangat ringan, tempat sampah itu juga cukup jauh, dan kemungkinan akan ada angin yang menghempaskannya itu sebuah kebetulan? "Zeth! Kami butuh bantuan!" Sahut Erik dari tengah lapangan. Zeth menggelengkan kepala menghilangkan pemikiran itu. Ia langsung berlari ke tengah lapangan, menerobos tim lawan yang menghalangi dirinya. Tiba-tiba hal gila muncul di kepalanya. "Erik! Lemparkan bola itu padaku!" Erik mempersiapkan dirinya, lalu melemparkan bola itu pada Zeth, yang diterima dengan mulus olehnya. Zeth langsung melemparnya dengan asal ke arah ring, dan bola itu masuk tepat ke dalamnya. Padahal, ia melemparnya dari zona tiga poin milik timnya. Apa benar ... tembakan Zeth yang selalu tepat sasaran ini kebetulan? Keahlian? Atau ... "Wow!!" Tiba-tiba Will menyahut, "Kau ... Zeth! Keren!!" Entah harus senang atau apa ...tiba-tiba perasaan Zeth tidak enak. []  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD