Jangan Nethink dulu

1481 Words
Satu minggu setelah kejadian tersebut, Nayna tak pernah lagi menampakan wajahnya di hadapan Gibran, hari-harinya terasa sangat sangat hambar, walaupun beberapa kali Dewa mengajaknya kembali. Namun, Nayna terlanjur menutup hati untuk pria manapun. Untuk saat ini dia ingin fokus pada tugas akhirnya saja. Hubungan Nayna dan Aksa kembali membaik. Dia akan menuruti apa kata Aksa, dia masih percaya jika apa yang Aksa lakukan untuknya adalah yang terbaik.  Perlahan Matahari mulai terasa menghangat, ia menepikan mobilnya di sebuah kafe yang masih tampak lenggang, karena kafe dengan suasana klasik itu baru saja dibuka. Nayna yang merupakan pengunjung pertama kafe tersebut, segera memesan secangkir kopi vanilla latte dan roti bakar dengan topping keju double di atasnya.  Dia membuka laptop untuk beberapa tugas yang dia tunda selama beberapa hari, karena ketidak fokusannya membuat semua tugas kuliahnya terbengkalai. Jari-jemarinya sibuk menari di atas keyboard laptopnya. Cangkir keramik dengan motif biji kopi terkesan begitu klasik dan elegan, lipstik peach dari bibir Nayna tertinggal di tepian cangkir, ketukan cangkir beradu dengan piringan kecil sebagai alas terdengar nyaring. Dia masih menikmati paginya, ditemani suara kendaraan yang berlalu lalang di jalanan besar di depan kafe tersebut. Tiba-tiba pandangannya mengarah pada tempat gym di seberang sana, para pria masuk ke tempat gym sambil berangkulan.  Nayna menggelengkan kepala. Tapi kemudian dia menunduk dan menikmati roti yang tersisa tinggal satu gigitan lagi. Rasa penasaran kembali membuatnya ingin melihat kembali ke seberang jalan, dengan mulut penuh sambil mengunyah roti, dia menyipitkan mata, menerawang jauh, meyakinkan diri dengan apa yang dilihatnya. “Kak Gibran?” gumamnya.  Terlihat di seberang jalan itu, Gibran sedang tertawa masuk ke tempat Gym bersama beberapa orang pria. Nayna mengucek mata seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.  “Mbak,” panggil Nayna pada seorang wanita pelayan kafe, yang kemudian wanita berseragam coklat itu mendekat padanya. “Iya, mbak.” Dia tersenyum ramah.  “Itu tempat gym bukan, sih?” tanya Nayna sembari menunjuk ke seberang jalan. “Iya, betul.” Wanita itu mengangguk. “Kok saya lihat dari tadi yang masuk laki-laki semua?” “Oh, itu memang khusus tempat gym laki-laki, mbak. Perempuan dilarang masuk.” “Really?” Nayna mengernyitkan dahi.  Wanita itu tampak mengangguk pelan. “Laki-laki di sana spesial loh, mbak.” “Maksudnya?” Nayna semakin mengernyit. “Ya spesial, berbeda dari yang lain.” Nayna mengangguk kaku. “Terima kasih untuk infonya ya, mbak.” “Iya.” Wanita itu berlalu dari pandangan Nayna. Nayna segera membereskan laptopnya, setelah hampir satu jam Nayna berada di kafe, kini dia melanjutkan perjalanannya menuju kampus.  *** Dinda menggelengkan kepalanya. Dia mudah menyimpulkan begitu saja apa yang dikatakan Nayna padanya.  “Nay, kayaknya besok lo harus dateng lagi ke tempat itu, deh,” ucap Dinda dengan mulut penuh, dan sibuk mengunyah siomay yang dia pesan di kantinnya. Nayna mengernyit. “Buat apa? Gue udah nggak peduli,” bohong Nayna. Aktingnya untuk pura-pura tak peduli tetap saja diketahui Dinda.  “Buat mastiin aja, Nay. Yang dimaksud si mbak pelayan kafe itu apa, gue yakin lo juga penasaran, ‘kan?” Nayna menggoyangkan kepalanya, “Kayaknya enggak deh.”  “Masa?” Dinda menahan pedas dari siomay terakhirnya, sementara air sudah habis di tenggaknya, sebelum suapan terakhirnya itu. “Gue takut kejadian itu, terulang lagi,” lirih Nayna.  “Ya, sebisa lo lah, jangan sampai Gibran lihat lo,” ucap Dinda sembari menyeruput strawberry milkshake milik Nayna.  Nayna mengangguk, dia mengerti maksud Dinda. “Ini cuma buat ngebuktiin aja.” “Iya gue ngerti.” Nayna mengambil alih minumannya yang tersisa tinggal setengah. Matanya menatap nyalang sahabatnya itu. “Minta izin dulu kek.”  “Sorry, abis gue udah ngeces duluan.”  “Ish jorok!” Sebelah sudut bibir Nayna terangkat ke atas.   *** Nayna menguap beberapa kali, tubuhnya menggeliat, melepas kekakuan, kali ini dia datang lebih pagi. Untuk membuktikan prasangkanya tentang Gibran adalah salah. Nayna duduk di dalam mobil, dia tak ingin mengintip di dalam kafe, karena berakibat fatal jika Gibran sampai melihatnya, walaupun hingga detik ini Nayna tak pernah tahu kenapa Gibran tidak ingin melihatnya. Info yang didapat dari satpam tempo hari, tak bisa ia percaya begitu saja, memang beberapa kali Gibran selalu menunjukan sikap anehnya pada Nayna, tapi Nayna tak ingin menyimpulkan apapun. Nayna kembali menatap jauh ke tempat gym tersebut, beberapa pria mulai berdatangan, dia menunggu hingga terasa matahari mulai menghangat. Tiba-tiba dia melihat Gibran masuk bersama beberapa orang pria. Pria di sebelah Gibran tak sungkan untuk merangkul Gibran.  Nayna menggelengkan kepala, menyaksikan pemandangan yang menurutnya tak biasa itu. “Tuhan, semoga memang prasangka Nayna tentang kak Gibran adalah salah.”  Mata Nayna membulat saat beberapa detik kemudian. Gibran keluar dari tempat gym tersebut. Dia tampak ramah, bersenda gurau dengan pria lain. “Gym khusus pria, Nayna! Bukan berarti kak Gibran lebih suka pria, ‘kan?” ucapnya pada diri sendiri. Namun, tiba-tiba hatinya berdesir. Canda, riang, tawa dan keceriaan Gibran berbanding terbalik dengan yang ditampilkan Gibran padanya. Dia bergidik ngeri, menolak pikiran negatif yang sedari tadi terus terngiang di telinganya.  *** Dua orang insan berbeda jenis kelamin sedang terlibat obrolan serius di sebuah kafe di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Kafe yang tampak ramai itu terdengar riuh, alunan musik romantis tak berpengaruh bagi sepasang kekasih itu. Dara tetap kukuh pada pendiriannya, sementara Aksa masih belum mempunyai keberanian untuk melangkah.  Aksa menarik napas panjang. Dia mengusap kasar wajahnya. “Aku nggak bisa nungguin kamu terus tanpa kepastian, umur aku udah bukan belia lagi yang terus menerus bisa pacaran, tanpa ada pikiran untuk ke jenjang yang lebih serius,” ucap wanita yang duduk di depan Aksa, terhalang meja bundar yang berisi dua gelas jus dan beberapa dessert. Aksa mengangkat wajahnya menatap mata coklat berbingkai bulu mata lentik yang sedang menatapnya penuh harap itu, “Maaf, aku belum bisa melamar kamu secepatnya, kamu tahu Nayna belum--”  Wanita itu langsung memotong ucapan Aksa, “Nayna … Nayna lagi, Naynaaaa lagi,” Intonasi suaranya terdengar halus. Namun, tak enak di dengar. “Please, Yang.” Aksa memohon, dia menggenggam tangan gadisnya.  “Kamu dengerin baik-baik, perempuan bisa bertahan dalam sebuah hubungan asal dia dicintai, perempuan itu mudah untuk jatuh cinta hanya karena dia terbiasa bersama, karena perlahan cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu,” ucap wanita berambut sebahu itu.  Aksa mengangguk. Namun dia tak dapat mencerna perkataan Dara. “Aku tahu, Nayna lebih penting dari aku, dua tahun aku nemenin kamu, tidak berarti apa-apa bagi kamu. Aku mencoba bertahan dengan kalimat yang tidak logis yang sering kamu jadikan alasan untuk menarik ulur hati aku.” Air mata lolos dari sudut mata indahnya. Dia menyekanya, kasar. “Kamu sama pentingnya, Yang. Kamu dan Nayna dua perempuan yang paling berarti buat aku,” ucap Aksa, kemudian dia memelankan suaranya. “Walaupun untuk saat ini Nayna masih menjadi prioritas utama, selama dia belum mendapatkan laki-laki yang sesuai.” “Ck … sesuai dengan keinginanmu?!” ketus Dara, “Harusnya kamu biarkan dia bebas menentukan hidupnya sendiri, biarkan dia cari bahagianya sendiri, jangan terlalu banyak ikut campur,” lanjut Dara. “Aku hanya takut Nayna tersakiti karena pilihan yang tidak tepat.” lirih Aksa. “Tapi, secara tidak langsung, kamu udah nyakitin aku.” Dara menunjuk dadanya. “Aku sakit, Aksa.”    “Ya, aku tahu, aku hanya memintamu untuk bersabar.” Aksa menarik tangan gadisnya. “Sampai kapan? Aku capek, Aksa. Aku lelah. Aku nggak bisa diginiin terus.” Dara melepaskan genggaman tangan Aksa. Dia menghela napas. Lalu merogoh ponsel dari tasnya, kemudian dia mengetik sebuah pesan untuk seseorang.  Tak lama kemudian dia mengangkat wajah dan menatap Aksa kembali. Dia menggelengkan kepalanya pelan. “Maaf ... aku udah nggak bisa, aku yakin, kalau kamu benar-benar serius sama aku, kamu nggak akan cari alasan dengan dalih Nayna inilah, itulah.”  “Tapi aku--” “Udah cukup!” Dara kembali memotong ucapan Aksa. Tangannya mengambang di udara.  “Besok kamu datang ke rumah aku, aku mengundangmu ke acara penting aku.” “Acara?” Aksa mengernyit. “Besok bukan ulang tahun kamu, ‘kan?” Dia berlagak polos, padahal tahu semua yang diucapkan Dara adalah nyata. Dara menggelengkan kepalanya pelan, “Aku menerima lamaran Indra.” Senyum simpul tergambar di wajah manisnya yang sulit diartikan Aksa.  Lalu dia menunjukan pesan yang diketiknya untuk Indra pada Aksa beberapa saat lalu. Aksa tercengang. Dara benar-benar menerima lamaran Indra lewat pesan singkat itu. Aksa mematung, seketika dunianya hancur dalam sekejap. Dia merasa bumi yang dipijaknya terbelah menjadi dua bagian dan menjauhkannya dari Dara. Dia menatap Dara yang mulai menjauh, pergi meninggalkannya bersama sebagian dunianya, bahkan separuh hati dan jiwanya dibawa lari oleh Dara gadisnya yang selama dua tahun terakhir memberi seri kepadanya, kini dia pergi bersama seri di wajahnya yang mulai menyusut, seiring kepergian Dara dari hadapannya.  Wanita yang selama dua tahun menemaninya, kini pergi dengan pria lain, Aksa memang kalah cepat. Tapi, dia tetap ingin fokus memilihkan calon suami untuk Nayna. Satu kalimat yang bisa membuatnya merasa sedikit lega ‘bahwa jodoh tak akan kemana.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD