8. Besi Untuk Efran

2016 Words
Terlibat dalam kasus bersama pria misterius di kafe telah membuat Paula kini mendekam di dalam suasana indah nan mengerikan. Setelah Ayahnya bebas dari genggaman Narash waktu ini, kini Paula disudutkan pada keadaan temannya. Lula. Entah apa yang akan dilakukan Jarvis, karena setelah pria itu mengusirnya Paula tidak lagi dapat masuk ke sana. Malam itu telah berlalu sekitar 1 Minggu lamanya, Paula juga sempat kedatangan adik laki-laki Lula, sekadar ingin tanya apakah Kakaknya berada di bersamanya. Paula pun bingung, sudah 2 hari ini dia tidak nafsu makan meski Efran rutin datang ke rumah dan membawa makanan untuknya. Hari ini, Paula memutuskan untuk tidur di apartemen Ayahnya. Bermaksud menghilangkan stres atas tekanan pria bernama besar Finn itu. Lelah, sepulang kuliah Paula menunda kelas sore ini, dia hanya akan datang ke rumah Rio malam nanti. "Paula." Terdengar suara Efran sambil mengetuk pintu, Paula pun hanya membuka dengan remot yang berada di sisi tubuhnya. "Masuk, aja Pi!" Efran memasukkan kepalanya di celah pintu, dia melihat anaknya sedang berada di kasur sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. "Hei, tumben udah pulang?" "Iya, cuma ada tes." jawab Paula tetap tidak menunjukkan wajahnya. "Ya udah, Papi mau beli makanan dulu ya?" Efran ingin keluar. Tetapi, dia tidak tega meninggalkan Paula sendiri di rumah. "Iya, Papi pergi aja sana!" Paula hanya melambaikan tangan. Lalu Efran sedikit mendekat ke tempat tidur. "Kamu mau nitip apa?" "Enggak Pi, aku… Cuma mau tidur. Aku enggak laper." Paula masih enggan keluar dari selimut. "Kita makan salad aja ya, kan kamu suka salad yang diberi irisan kalkun mentega." Efran pun meninggalkan putrinya sendiri, walau tidak ingin karena rumah besar itu sudah tidak memiliki seorang pelayan lagi. Mau atau tidak, merasa berat bahkan Efran harus menerima keadaan di mana uang tabungan sudah menipis. Sebuah keputusan singkat, dan itu memang gal gila yang Efran lakukan, dia menolak untuk cek ke dokter sejak seminggu lalu. Dengan satu alasan dia tidak merasakan apa pun lagi, sakit yang sempat menyerang sudah hilang seiring berjalannya waktu. Padahal, hari ini saja Efran sudah mengeluh sakit kepala sebanyak 2×. Namun, dia hanya mengkonsumsi obat sakit kepala biasa. "Aku harus kuat." ucap Erfan pada dirinya sendiri, dia membuka pintu mobil dan berharap seketika penderitaan ini akan lenyap. Pada saat akan pergi, Efran pun tidak sengaja menjatuhkan ponsel. Hal yang mengakibatkan harus mengambil. Efran membungkuk, bermaksud mencari benda pipih di kolong mobil. Namun, konsentrasinya terarah ke kaki seseorang yang berada di sisi kiri badan Efran. "Selamat sore, Tuan Efran." Dengan segenap perasaan takut, Efran berdiri dan merapikan pakaian. "Ya, selamat sore." Polisi di depannya langsung memberikan sebuah kertas, di sana tertera namanya jika hari ini dia ditangkap atas kasus keterlambatan membayar bunga pada seorang konglomerat Lisbon. Efran pun menahan napas, dia kembali mengambil ponsel dan berdiri sambil menyerahkan kedua tangan untuk diborgol. "Anda bisa menggunakan pengacara," polisi itu melakukan tugasnya secara perlahan. "Anda bisa mengambil pembelaan, apa pun." "Ya, terima kasih." Efran masih menyempatkan diri untuk berkata sopan. Mobil van di ujung jalan telah menunggu, Efran pun sekilas menatap balkon apartemennya. Maaf. Dalam hati dia merasa menyesal telah membuat Paula dalam keadaan sulit. Tetapi, ini harus berlangsung tanpa bisa menolak. [...] Kabar telah menusuk pendengaran dan membuat semua kegiatan Paula memburuk, dia membatalkan kelas bersama Rio. Malam ini dengan bantuan seorang teman, Paula menuju kantor polisi. Perasaan cemas menjadi satu, karena keadaan Efran yang tidak kembali ke dokter membuat Paula menangis sepanjang jalan. Berada di dalam terali besi membuat Paula terpukul, dia menggapai tangan Efran sambil menangis pilu. "Papi… Kenapa harus begini?" "Sayang, kamu jangan sedih ya! Papi baik-baik aja di sini," Efran menyembunyikan rasa sakitnya. "Kamu harus tetap kuliah, Papi masih ada tabungan yang cukup buat kamu sampai wisuda nanti." Dalam bahasa tubuh tidak rela, lutut Paula terasa lemas. Perlahan kakinya tidak mampu menopang berat hidup saat ini, dia pun bergulir pada lantai terasa basah. "Papi, pulang sekarang!" Efran menahan air matanya jatuh, dia tahu Paula hanya gadis yang mencoba untuk kuat karena pada kenyataan putrinya itu sangatlah lemah. Tetapi, Efran tetap menunjukkan sisi kuat pada dirinya. "Sayang, udah malem. Besok kamu ke rumah Laurent ya, suruh dia datang ke sini!" "Pengacara Papi itu kan udah enggak kerja sama kita." ujar Paula menahan suaranya yang sesak. "Masih kok, kamu ke rumahnya aja! Dia… Pasti datang kok, sayang." Efran menghapus air mata anaknya. Paula menggenggam lalu melekatkan tangan Efran di pipi. "Kenapa ini harus terjadi sih? Aku kan lagi usaha biar Papi sembuh dulu, baru… Lunasi utang-utang mereka." "Nak, kita ini kan hanya pemeran. Yang sanggup memainkan skenario dari sutradara, kalau kita menolak ya… Kita akan kehilangan peran. Memang mempertahankan peran itu… Sangat sulit sayang." ucap Efran membujuk agar Paula tetap bertahan. "Papi… Aku pasti usaha kok buat kembalikan uang itu," Paula mengecup buku jari Efran. "Papi yang sabar ya, kita pasti bisa sama-sama lagi." Tanpa ingin mendengar sebuah nasihat yang nyatanya sulit diterima dalam keadaan seperti ini, Paula pun enyah dari jeruji besi mengurung Ayahnya. Dia berlari sambil menghapus air mata, ketika berada di halaman dekat kantor polisi Paula kembali duduk, dia membungkam wajahnya dalam pelukan diri sendiri. Tangis Paula tidak dapat ditahan lagi, dia memukuli d**a dan pahanya sebagai pelampiasan rasa sakit. Lama, matanya menatap ke atas berharap seandainya bisa mengadu secara langsung pada Tuhan dia akan meminta sekali saja membuat Ayahnya tidak menderita. "Maafin aku, Pi. Selama ini aku… Udah nyusahin Papi," Paula menghapus air matanya secara kasar. "Aku belum sempat bahagiakan Papi, biaya kuliah aja aku masih minta." Sebuah sesal memang tidak seharusnya ada saat ini. Namun, Paula begitu membenci dirinya yang dulu. Jika teringat kembali, Paula marah karena hanya dengan sehari saja dia bisa menghabiskan uang banyak untuk bersenang-senang bersama teman-temannya, membeli barang mahal dan dari merek terkenal. Rintik hujan menerjang wajah cantik itu, Paula tidak langsung bangun melainkan dia tetap menanti kapan Ayahnya akan keluar. Paula pun mencari tengah duduk, mulanya dia ingin sekadar bersantai. Namun, justru Paula merasa kantuk nya datang dan membuatnya tertidur di bangku taman. [...] Pagi pertama tanpa sebuah kebahagiaan sedang dirasakan oleh Paula. Dia terbangun ketika sinar matahari mengenai wajahnya, Paula pun baru tersadar jika semalam dia tertidur di halaman. Lalu Paula menoleh ke kantor polisi, ingin rasanya dia menghampiri Efran lagi. Tetapi, itu sama saja akan menuang penderitaan baru di antara mereka. "Ok, aku bakal datang ke rumah Laurent. Mudah-mudahan aja bisa bantu." Paula segera mengemas barangnya ke dalam tas, lalu pergi mencari taksi. Sisa uang yang ada di saku depan jaketnya, Paula mulai kurang yakin bisa membayar taksi. Pilihan terakhir Paula menghubungi adik Lula, dia berencana akan pergi ke rumah Jarvis lagi hari ini. Jika tetap saja ditolak, maka Paula harus menggunakan caranya sendiri. Awalnya Paula berjalan kaki, hingga akhirnya adik Lula pun datang dengan mobil van. Pintu pun terbuka, Paula merasa tidak enak saat melihat wajah tampan adik sahabatnya, karena hilangnya Lula masih menjadi pertanyaan beberapa orang. "Hai, Mickey. Apa kabar?" sapa Paula pada adik kandung Lula. "Baik, kau bagaimana Paula?" tanya Mike masih menatap ke arah jalan, dan membukakan pintu untuk Paula. "Terima kasih." ucap Paula merasa kurang nyaman, karena dia sedang menyembunyikan sesuatu dari Mike. Paula membetulkan posisinya, dia menghadap ke arah adik Lula. "Mike, kau mau ikut denganku?" Mike menoleh sekilas saat sedang fokus memutar arah. "Ke mana?" "Um…," Paula mengamati wajah Mike yang sedang fokus, juga dia kurang yakin. "Um… Sarapan, kau pasti langsung ke sini saat bangun tidur 'kan?" "Aku belum tidur sejak semalam." jawab Mike singkat. "Hei, kenapa kau tidak tidur?" tanya Paula menegakkan punggung. "Aku memikirkan Lula," Mike pun menarik napas dalam. "Di mana dia? Apakah memang sedang bekerja ke luar kota dan aku tidak tahu?" Sebenarnya Paula ingin sekali memberitahukan tempat di mana Lula sedang menjadi tawanan Jarvis. "Kau… Sudah menghubunginya?" "Dia… Tidak membawa ponsel," ucap Mike sambil menarik ponsel dari saku celana. "Ini, ponsel Lula. Kau bisa memegangnya sementara waktu, sampai Lula ketemu." "Um… Mike," Paula membuka kunci sandi ponsel Lula. "Terakhir kau lihat Lula di mana? Kapan?" Mike menatap ke sisi kiri kaca spion. "Makan malam dia masih bersamaku, tapi… Saat malam aku… Terbangun dan ke kamar mandi, aku tidak sengaja melihat pintu kamar Lula terbuka. Karena penasaran, aku cek ke sana. Dan dia tidak ada." "Jam berapa itu?" "Sekitar jam 2 pagi." terang Mike singkat. Paula cemas ketika mendengar penjelasan Mike, karena dia sendiri sudah tahu di mana Lula. "Lalu… Kau lapor polisi?" "Aku tidak berani." "Kenapa?" Paula penasaran. "Iya, tentang kasus penipuan Ayahku. Nanti mereka justru akan mengusut lagi karena sampai saat ini dia masih menjadi buronan." ucap Mike melihat Paula sekilas. Sungguh, perjalanan hidup yang teramat pelik jika lebih dicerna lagi. Paula pun mencoba menyemangati Mike, walau dia sendiri benar-benar membutuhkan kekuatan dari sisi mana pun. "Kau yang sabar ya! Aku pasti membantumu." "Terima kasih Paula, tapi… Kalau aku boleh tau kenapa kau berada di pusat kota Lisbon? Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Mike rupanya menyimpan rasa penasaran. Paula menarik napas panjang. "Ayahku di penjara." "Apa?" Mike terkejut. "Iya, karena dia belum bayar hutang. Hampir sama dengan kasus Ayahmu, 'kan?" Paula tidak menyangka. Mike menepuk pundak Paula. "Hei, ayolah! Jangan seperti itu, Paula! Kau wanita kuat, Ayahmu juga orang yang hebat. Kalian pasti sama-sama bisa melalui ini. Ayo, yakinlah!" "Kau tahu, seberapa kuat dan yakin kita jika Tuhan sudah berbicara maka semua akan menjadi sesuatu yang benar-benar menyiksa. Bukan aku… Sedang menolak sebuah takdir, tapi rasanya kenapa ini sangat tidak adil?" "Jangan meminta keadilan, Paula. Kau harus pahami jika kita saja sering berbuat tidak jujur, Tuhan mungkin sedang menguji kita untuk itu! Apakah layak untuk mencapai tahap selanjutnya, menjadi manusia yang paling tangguh." ucap Mike masih fokus ke arah di depannya. "Kau… Juga pasti bisa, Mike!" sekali lagi Paula meyakinkan Mike. Mereka kini hanya sama-sama berusaha mendapatkan apa itu kepercayaan pada dirinya sendiri, yakin jika ini akan berlaku begitu mudah. Tidak ada lagi percakapan, selain keduanya memikirkan sesuatu yang sedang terjadi. Bahkan Paula, dia harus menghadapi beberapa masalah tentang keluarga dan temannya. [...] Tujuan tetap sama seperti beberapa hari lalu, Paula ingin mendapatkan pekerjaan di Prazer agar bisa melunasi hutang juga pengobatan Efran. Kali ini dia tidak dipersulit saat akan masuk, hanya saja Paula harus melalui tahap pengecekan apakah dia membawa senjata atau barang yang dilarang di Prazer. "Silakan, Nona. Tuan sudah menunggu." ucap pelayan yang beberapa kali mengantar Paula. Tunggu, Paula sempat terfokus pada ucapan pria itu. Menunggu? Benarkah Jarvis sedang menunggunya? Atas pertanda itulah Paula seolah mendapat peluang, dia langsung menuju tempat di mana ruangan pertama dia ke Prazer. Tempat tersebut kali ini masih sepi, Paula memandangi sekitar dan bingung harus mencari Jarvis ke mana. Terdapat banyak pintu di area tersebut dan entah mengarah ke mana saja, Paula pun menghubungi Narash. Namun, sudah beberapa kali tidak ada jawaban. "Aku mesti ke mana coba?" Paula hanya berjalan memutar, dia tidak tahu harus berbuat apa di dalam sana. Karena tidak mendapat petunjuk apa pun, Paula kembali keluar. Dia mencari pelayan itu, dan tidak lama datang seorang wanita dengan setelan jas putih. Paula pun menghampiri. "Maaf, Nona. Apakah…," "Anda yang bernama Nona Paula?" tanya seorang wanita berjas tersebut. Paula mengangguk. "Iya, aku Paula." "Baik. Perkenalkan, saya Dee." wanita itu mengulurkan tangan. "Hai, Dee. Aku Paula." dengan ramah Paula menyambut tangan Dee. "Mari, saya antar ke dalam!" Meski terdapat rasa curiga dalam hati Paula, dia tetap mengikuti ke mana Dee melangkah. Bukan ke ruangan semula, melainkan arah yang dituju ke pintu besar berbahan baja. Begitu terbuka Paula diperlihatkan oleh bangunan asing lagi, lain saat dia bertemu dengan Jarvis di meja makan. "Ini… Tempat apa?" tanya Paula bingung. "Di sini akan menjadi ruangan pribadi Anda ketika di Prazer." jawab Dee menjelaskan. "Ruang pribadi? Maksud Anda apa?" Dee tidak memberi jawaban, dia hanya berjalan menuju ke sofa di mana terdapat banyak kotak berserakan. Entah apa, Paula melihat Dee membuka salah satunya dan kemudian memberikannya. Paula semakin bingung saat mendapati isi tersebut adalah alat kecantikan. "Untukku?" tanya Paula. "Iya, Nona. Ini untuk Anda," Dee mengambil satu lagi dan kali ini kotak lebih kecil. "Silakan!" Paula menerima lagi, dia pun membuka kotak tersebut dan betapa ini sulit dipercaya karena isinya berupa kalung dengan batu berlian mengelilingi. "Perhiasan? Ini…," "Gunakan saat tugas!" ucap Dee langsung. "Tugas?" dan Paula tidak memahami apa yang dikatakan Dee mengenai tugas tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD