1. Keseruan Dalam Pesta

2090 Words
Dentuman itu berbaur pada rona mewah cahaya bak pijar mengenai setiap senyuman, kesenangan juga rasa bangga itu bergelut pada gerakan kaki dan tangan, ke kanan kemudian menyusul gerakan lain pada setiap nada bergerak ke kiri. Cairan fermentasi setia di genggaman tanpa melupakan segala keraguan pada teriakan menyertai alunan di dalam rongga klub malam di Ibukota. Pasang mata mengintai di setiap lalu lalang anak manusia mencecar rasa nikmat di dalam pesta kecil sebuah perayaan Halloween. Berbeda pada tahun sebelumnya, mereka selalu mengunggah acara resmi dengan kostum namun kali ini memilih cara lain karena terbentuknya organisasi baru mahasiswa Bahasa. Terutama menyanjung wakil baru dengan wajah cantik bermata coklat selalu lebih unggul dalam setiap nama juga sensasinya. Paula Devina Lesson, sang wakil ketua dari geng Gold di sebuah kampus ternama di Portugal. “Yeah, kalian masih kuat berapa botol untuk malam ini hah?” Paula berteriak, ia mengangkat botol vodka di tangan. “Berapa pun,” sahut pria berambut keriting dengan dasi melingkar di pinggang. “Ayo berpesta hingga kita menjadi cairan merah.” Paula tertawa, lalu ia turun dari panggung berniat untuk lebih memeriahkan lagi acara tahunan kali ini, ia melonjak-lonjak menuang cairan bening itu ke leher namun tak lama seorang wanita menyerbu rasa madu dicampur lada dari Rusia itu, tawa mereka saling beriringan karena selalu saja Paula berhasil menarik perhatian banyak pasang mata bukan karena kecantikan saja namun rambut hitamnya tak jarang memikat para pria. “Ayo berdansa denganku!” Paula menarik tangan wanita tak dikenal yang bersedia menggabungkan kemeriahan ini. “Hai, sepertinya aku belum pernah melihatmu. Kau mahasiswa Bahasa juga? Kau bisa berbicara Bahasa Indonesia?” tanya Paula berteriak, berusaha menyaingi musik yang melambung kencang. “Bukan, aku… Pendatang. Dan aku tidak bisa berbahasa Indonesia.” jawab wanita tinggi semampai dengan gaun ketat merahnya. “Oh, maaf. Aku pikir kau mahasiswa baru di sini,” Wanita itu merebut botol dari Paula lalu menenggak hingga cairan itu membasahi d**a. “Perkenalkan! Namaku Narash Alexandra, kau Paula ‘kan?” “Iya, aku Paula. Kau tahu dari mana? Jangan bilang aku memang terkenal.” Paula mengikuti irama disko yang menenangkan pikirannya. “Aku rasa memang kau sangat terkenal,” Narash memberikan botol itu ke tangan Paula. “Bahkan sangat cantik dari yang aku dengar.” “Ah, ayolah! Berhenti memuji! Aku akan lemah jika banyak mendengar pujian.” Sambar Paula memberikan alasan. “Ini bukan pujian Paula, kau… Memang sangat cantik, wajahmu memukau.” Tawa Narash ketika melihat wajah Paula membuat jelek, dengan bibir maju beserta mata membulat hampir keluar. Narash kembali meneruskan tarian di samping Paula, kedua tangan menyambut air yang diberikan ke area hingga mereka semua berteriak merasa bangga akan keadaan malam. Tak kalah dengan mereka, Paula pun menyertai Narash menari tak jarang ia selalu tertawa karena teman barunya itu berhasil menggenggam kedua buah dadanya, bahkan berulang kali namun itu bukan suatu masalah selagi Paula tidak mendapat perlakuan dari laki-laki. Usia 25 Tahun tidak menghalangi jiwanya ingin terus menikmati kesenangan tanpa memikirkan sebuah hubungan, baginya menjalin asmara hanya akan menambah masalah dari satu sama lain. Bukan tidak ingin, namun Paula sudah sering mengalami kegagalan dalam percintaan bersama pria yang tak lain hanya ingin memanfaatkan kecantikannya, sebagai pemuas hasrat. “Kau ingin lagi?” Paula memberikan tawaran, Narash pun mengangguk pelan menenggak sisa air yang menetes dari ujung botol. “Sebentar,” Paula berjalan pelan sambil menyerobot beberapa orang, ia juga menahan rasa pening di kepala. Jarak bartender cukup jauh, ia pun harus berjuang demi mencapai tempat memesan minuman. Saat sampai, Paula langsung membanting kepalanya di atas meja bertumpu pada kedua tangan lalu menunjukkan satu jari telunjuk. “Seperti biasa! Untuk temanku!” Pria berkulit hitam itu mengangguk. “Baiklah sayang.” Wanita berdarah Indonesia kembali memiringkan wajah, ia pun hanya melambaikan tangan ke arah pasangan yang tengah dimabuk cinta dalam penetrasinya. Hal itu memang sangat lumrah ditemui namun tidak jarang Paula menggeleng heran dan selalu bertanya dalam diri mengapa harus sebuah perasaan dibayar dengan tubuh, ia pun akan tertawa kecil menghina karena di usianya yang tidak lagi remaja Paula hanya pernah menikmati hangatnya bibir saling menuang kehangatan. “Ini milikmu, manis. Kau butuh sesuatu lagi?” tanya pelayan dengan sapaan ramah seperti biasa. Paula menyeret botol itu dengan tangan kiri. “Tidak! Terima kasih Luke.” “Sama-sama Devina,” Kaki Paula terasa berat ketika melangkah, tapi ia bukan seseorang yang akan menanggapi apa itu dampak dari gaya hidupnya justru ini akan membuatnya semakin b*******h menuntaskan pesta. Paula kembali ke tempat Narash, ia memberikan sebotol minuman keras kepada temannya. “Terima kasih.” Narash seketika menerima, ia pun menuangkan cairan itu ke leher Paula untuk sekadar ia nikmati di sana. “Ah kau ini!” Paula pun sedikit membuka kain menutupi sebagian d**a sambil tertawa lantang. “Hei, rasanya akan lebih nikmat. Kau tahu?” Narash beralasan. “Oh ya?” Narash pun seketika menutup mulut dan menenggak lagi minuman hingga separuh. “Tidak Paula, aku ini normal. Aku masih bernafsu dengan para pria, tenang saja!” Senyum Paula memudar, lagi-lagi ia harus menemui seorang wanita yang tidak menjaga apa itu sebuah kehormatan. Tapi kembali lagi ia berpikir setiap orang berhak menentukan kemauan termasuk ia yang tidak akan pernah melakukan hubungan suami istri sebelum ada cincin pernikahan di jarinya. Malam semakin larut, Paula pun menemani kemauannya itu untuk menuntaskan pesta hingga dini hari. Entah sudah berapa botol minuman keras yang telah ia nikmati sambil meresapi musik indah ini, Paula terus bergerak lincah sambil berteriak demi memberi bukti jika ini benar-benar surga baginya. Sambil sesekali ia menolak panggilan dari sang ayah yang setia menanti kepulangan nya setiap malam. “Ayo kita tuntaskan hingga pagi!” Narash pun berteriak, ia menari sambil terus memeluk dan sesekali meremas bongkahan b****g seksi Paula. Tenaga juga perasaan telah terkuras, Paula pun memilih berhenti dan mencari tempat duduk. Di sofa paling dekat dengan anak tangga ia mulai mengeluarkan pemantik untuk membakar ujung rokok, sedalam-dalamnya ia menghisap benda panjang itu dan menumpahkan asapnya keluar dari mulut. Ponsel kembali bergetar namun Paula mengabaikan panggilan dari ayahnya. Karena tidak tega jika ayahnya menunggu terlalu lama, ia pun melakukan foto selfie lalu mengirimkan ke nomor Efran Lesson. Tak jarang Paula selalu memberikan sebuah kecupan hangat melalui pesan suara, lalu kata-kata cinta untuk pria hebat miliknya, kemudian ia akan membisukan nada di ponselnya. “Papi nggak perlu khawatir, aku bisa jaga diri dan masih sangat ingat pesan Mami harus jaga diri sebagai seorang wanita.” Pelan Paula mengakhiri, ia kembali pada sebatang rokok terselip di tangan. Jam berlalu begitu cepat meski Paula masih ingin menikmati pesta ini sampai pagi, tapi mengingat ayahnya akan berkata sesuatu yang tidak jarang membuat batinnya merintih pilu maka ia memutuskan untuk pulang, sebelumnya Paula memberi ucapan perpisahan kepada teman-temannya terutama Narash. “Hei, mau aku antar?” Narash mencekal lengan Paula. Paula melambaikan tangan. “Tidak perlu, aku malas jika kau nanti berhasrat padaku di mobil.” “Sialan.” ucap Narash singkat disertai tawa. Kemampuan berjalan Paula sendiri memang kesulitan karena ia terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, tapi itu bukan suatu masalah karena stok minuman jahe bahkan fruktosa di dalam mobil masih banyak. Setelah bersusah payah menuju tempat parkir, barulah Paula merasakan pening yang sangat hebat bahkan ia hampir jatuh pingsan. Meski mulai lemas ia berhasil membuka pintu mobil dan mengambil minuman jahe juga makanan yang mengandung banyak fruktosa untuk melancarkan metabolisme dalam tubuhnya, napasnya terengah-engah sampai Paula menghabiskan satu kaleng minuman dan makanan dari buah-buahan. Setelah merasa lebih baik dan mampu menyetir barulah Paula pergi meninggalkan klub, ia tidak sabar menemui ayahnya yang menunggu di rumah. [...] Apartemen mewah di pusat kota adalah tempat di mana Paula dan ayahnya melanjutkan hidup yang sempat tertimpa prahara, rumah menjadi saksi keharmonisan dalam keluarga pun kini menyimpan kisah pilu setelah kepergian ibunya 10 tahun lalu karena suatu penyakit. Hidup serba mewah sudah Paula rasakan sejak kecil bahkan saat ini pun ia terus menghamburkan kekayaan ayahnya, bahkan pernah Paula menghabiskan uang 1,5 milyar dalam semalam. “Papi, aku pulang.” Paula memijat tengkuk terasa berat, ia melihat ruang utama kosong bahkan hingga dapur. “Pi? Paula pulang nih, Papi nggak kangen sama anaknya?” Sepi. Tak ada siapapun, jawaban yang biasanya ditemukan pun kini terasa hilang ditelan waktu. Kemudian Paula mencari lagi ke ruang santai juga teras namun ayahnya tidak ada di sana. “Papi ke mana sih? Tadi aja nyuruh aku pulang, sekarang giliran aku udah di rumah eh malah nggak ada.” Berlanjut lagi Pulau mencari ke kamar tapi ruangan itu kosong, kemudian ia memutuskan untuk melakukan panggilan tapi rupanya ponsel Efran tertinggal di kursi dekat ranjang. Ia pun mengambil benda itu dan merasa tidak enak hati, tidak biasanya Efran meninggalkan barang di mana pun. Terutama ponsel. “Papi…,” Paula terus memanggil. Sedikit mencari hingga Paula melihat layar di depan kamar ayahnya, di mana itu berfungsi sebagai monitor dari kamera pengawas seluruh apartemen, Paula melihat Efran tengah bersantai di dekat jendela bahkan sangat dekat dengan pembatas kaca rumahnya. Tanpa pikir panjang ia segera ke tempat Efran, pria berusia 60 Tahun itu menikmati segelas wine sambil merokok. Demi apapun ini hal yang sulit dipercaya karena Paula tahu itu bukan kegiatan ayahnya. “Papi nggak denger aku pulang ya?” Paula menegur, ia mengamati wajah menatap ke arah bangunan kuno di malam hari. Tidak ada jawaban dari mulut yang sibuk mengepulkan asap ke sembarang arah, bahkan mata itu sayu menekan pandangan ke seluruh sudut rumah. Paula pun merasa ada yang aneh dari tingkah ayahnya, ini merupakan pertama kali ia melihat Efran merokok. “Papi udah makan?” Paula sibuk mengarang pertanyaan agar ia bisa berbincang, tapi nampaknya Efran tidak tertarik. “Oh iya, tadi siang aku kan beli jamur kesukaan Papi. Kareem udah masak belum?” Paula menengok ke arah meja makan, di mana masakan sudah siap di atasnya. Paula kembali melihat ayahnya yang kali ini tertunduk. Ini bukan hal baik, Paula pun tidak bisa membiarkan ini terlihat dan ia memeluk Efran sangat erat sambil mengusap peluh menetes ke leher, tapi untuk bertanya lagi Paula ragu dan memilih diam sampai akhirnya ia menemukan dua amplop terbengkalai di dekat kaki kiri Efran. Tanpa suara Paula pun menjumput kertas itu lalu membuka lembaran yang tertata rapi di sana, bagian pertama merupakan tagihan dari semua hutang-hutang Efran yang terbilang sangat banyak dan Paula tidak pernah mempercayai hal itu kemudian ia membuka amplop satunya tertera nama rumah sakit besar di Portugal. Tangis itu melanda seketika pada wajah cantik bermata coklat, Paula membungkam mulut sambil merasakan dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. “Tidak mungkin.” Tangan Paula kembali menjerat tubuh ayahnya dengan tangis yang mulai merebak hingga ia tidak mampu berbicara, berharap malam ini merupakan mimpi buruk sehingga esok akan terbangun dengan segenap rasa bahagia seperti biasa, tapi sekali lagi ini nyata karena perasaan sakit melihat hasil pemeriksaan jika Efran menderita penyakit kanker otak stadium 2. “Pi, ini cuma prank buat Paula ‘kan?” tanya Paula melihat Efran mulai meneteskan air mata. Tetap tak ada jawaban, yang ada hanya suara angin malam mulai bersemangat meniupkan rasa duka setiap napas saling mengadu, Paula tidak bisa menerima ini hanya dengan sikap biasa bahkan tagihan hutang yang sedang dipegang membuat Paula perih. Pelan Paula beringsut di sambil menyentuh paha ayahnya. "Papi… Apa semua ini karena aku?" Paula merebahkan wajahnya di sana, terasa hangat ketika menyentuh tangan menua itu. Efran hanya menggapai tiap helai menimpa tangannya, lalu ia membelai dampak dari kesedihan itu tanpa berniat memberi jawaban meski tangis itu tertanam hingga relung hati. Teruntuk malam yang telah mengungkap segalanya memang tidak mudah, bagi Efran kebahagiaan anaknya paling utama namun ia melupakan apa itu kemampuan. Paula masih saja melihat nominal yang tertera di sana, bahkan ia tidak pernah membayangkan uang sebanyak itu. "Maafin Paula Pi! Ini… Salah Paula." "Tidak, ini sudah ketentuan waktu." jawab Efran menghapus air mata Paula. Paula mendongak, ia melihat wajah dengan penuaan itu memaksakan senyuman. Jujur saja, banyak pertanyaan yang ingin diajukan namun Paula ragu mengenai hutang-hutang ayahnya ini. "Pi, aku janji bakal bantu Papi apapun itu!" Efran menggelengkan kepala. "Kamu, cukup lulus dengan nilai terbaik itu sebuah bantuan agar Papi bahagia." "Kalau itu pasti! Paula janji bisa membawa nilai terbaik di kampus, Papi yakin kan aku bisa?" Paula membentuk rasa semangat dalam dirinya, meski sulit. "Yakin, Papi sangat yakin kalau putri cantik ini pasti juara." balas Efran sambil memainkan pipi cubby Paula. Perlahan membuat semua seakan baik-baik saja, Paula membantu Efran membereskan lantai yang penuh sampah rokok juga botol wine, mereka pun masuk ke dalam lalu menikmati hidangan malam yang hampir dingin, mereka tetap mengubah rasa sakit ini dengan senyuman, berharap akan berlalu ketika esok membuka mata menyambut pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD