6. Jarvis Ribeiro Finn

2015 Words
"Silakan masuk, Nona!" Sebuah sambutan datang dari ketika Paula menginjakkan kaki di sebuah klub ternama, Prazer. Bangunan megah terdiri dari 5 lantai itu membuat Paula seolah baru pertama kali berada di klub, dia langsung menuju lantai 2 di mana Narash telah mengundangnya malam ini. Entah dalam rangka apa, Paula sendiri tidak tahu walau dia sangat takut. Karena kurang masuk akal saja jika Narash masih berbuat baik, sedangkan Paula telah mencuri uang yang bernilai sangat tinggi. Berada di lantai 2, Paula langsung menuju bartender demi meminta air mineral. Ya, hanya air karena dia tidak akan mabuk malam ini. Bisa saja Narash memanfaatkan ketidakberdayaan nya saat sedang hangover. Paula tetap akan berhati-hati, Narash bukan orang ramah lagi seperti sebelum dia berbuat salah. "Nona, Anda… Yang bernama Paula?" Suara laki-laki di belakangnya membuat Paula langsung beranjak, dia tidak mengenali pria yang bertanya namanya barusan. "Iya, ada apa ya?" "Mari, saya antar! Karena Ibu Nona Narash telah menunggu Anda di dalam." Paula bingung ketika orang itu memberinya jalan, walau tampak sopan Paula merasa ada sesuatu. Perbedaan dari sikap ramah penuh maksud tentu bisa dipahami. Namun, Paula tidak ingin memikirkan apa-apa terlebih dulu. Dia mengikuti ke mana pria itu berjalan, rupanya Paula dibawa ke lantai akhir gedung Prazer. Lantai akhir bukan merupakan klub lagi, di sana Paula diperlihatkan oleh beberapa mobil mewah yang berjejer di sana. Wow. Dalam hati Paula mengagumi. Namun, tunggu sebentar! Paula merasa aneh, dan entah dia seperti melihat seseorang yang sedang memperhatikannya. Pada sebuah jendela besar lantai 3, Paula sempat menatap ke arah seseorang dengan setelan jas abu-abu. Siapa? Paula pun cepat-cepat mengikuti pria yang kini sedang berdiri di depan pintu besar. Lalu memberi jalan kepada Paula untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. "Nona Narash sudah menunggu Anda di dalam." Paula yang kurang yakin pun berjalan mundur. "Tolong, panggil aja dia agar keluar untuk menemuiku." "Anda dilarang memberi perintah kepada atasan!" ucap pria dengan dasi kupu-kupu tersebut. "Kenapa? Narash bukan lagi Bosku!" Paula tetap pada pendiriannya. Pintu pun terbuka, Paula diperlihatkan oleh ruang tamu yang benar-benar luas. Barang-barang termasuk hiasan harimau yang diawetkan berwarna putih. Benar-benar Paula berhalusinasi jika bisa tinggal di rumah tersebut dalam jangka panjang. Pasti dia sudah merasakan berada di surga. "Nona, ayo silakan masuk!" perintah pria yang kini menerima sebuah bingkisan dari pelayan lain. Kini Paula bertambah bingung saat pria itu memberinya bingkisan besar, bahkan pita sebagai hiasan sebesar telapak tangannya. "Maaf, apa ini?" "Nona, saya sarankan Anda tidak banyak bertanya. Dan… Lakukan apa yang sudah ada di depan Anda!" ucap pria itu semakin membuat Paula ngeri. "Iya, tapi ini apa?" "Hei," Narash menggapai kedua pundak Paula, dan tidak lama pria tersebut pergi begitu saja. "Sudah, kau harus pandai menjaga sikap di sini! Paham!" Sambil mengikuti Narash, pandangan Paula sangat liar ketika mendapati beberapa wanita berpakaian seksi melintas. Mereka terlihat sangat lelah. "Tempat apa ini?" "Surga." jawab Narash singkat. Kaki Paula langsung kaku, dia mematung sambil menggenggam erat kotak yang entah apa isinya. "Maksudmu… Ini… Tempat di mana aku akan mati? Kau… Akan menghukumku, Narash?" Tiba saja Narash tertawa. "Paula, kau itu terlalu banyak membaca buku sehingga imajinasi menjadikan hidupmu seolah sedang berada di dalam cerita. Siapa yang akan membunuhmu? Tidak ada." Tidak ada yang lucu bagi Paula, dia pun kembali mengikuti langkah Narash yang berakhir di depan pintu ruangan lain. Paula pun menatap wajah Narash, mata itu memberinya kode agar membuka segera pintunya. "Ini… Ruangan apa, Narash?" "Buka saja, kau dengar suara dari dalam 'kan?" Narash mencoba memberitahu. Lalu Paula menempelkan daun telinga pada pintu besar tersebut, memang ada suara berisik seperti musik. Namun, Paula tidak dapat mengenali jenis apa yang sedang didengar oleh orang-orang di dalam sana. Paula pun menjauh, dia enggan menuruti perkataan Narash kali ini. "Jujur, tempat ini keren dan… Benar-benar berkelas," Paula mengamati wajah Narash. "Tapi… Maaf, aku… Tidak ingin masuk!" Langkah Paula pun dengan cepat dicegah oleh Narash. "Hei, ini bukan tempat menjagal orang, kenapa kau takut sekali?" "Tidak Narash, aku… Tahu kau baik, dan…," "Kau lupa ya," Narash mencoba bersabar. "Kau pernah berkata ingin mendapatkan pekerjaan, selain menjadi pelayan di kafe." Ya, Paula memang teringat akan ucapannya berapa minggu lalu saat berada di kafe. Karena pekerjaan itu telah di depan mata, akhirnya Paula menuruti perkataan Narash. Dia membuka pintu besar tersebut, sedikit menilik bagian yang membuatnya penasaran. Tampak orang-orang di sana sedang asyik berbincang, Paula pun sedikit lega karena tidak harus melihat kejadian aneh yang ditakuti. Kemudian Paula menoleh lagi ke arah Narash. "Aku… Harus masuk?" "Ya, kau masuk saja!" "Hei," Paula urung saat Narash menjauh. "Kenapa… Kau… Tidak ikut masuk?" Tentu Narash menolak, karena tugasnya hanya mengantar dan itu berakhir pada batas yang sudah ditentukan. "Kau masuk sendiri, Paula!" Paula menggelengkan kepala. "Tidak, kau harus ikut serta. Cepat!" Tenaga Paula terbilang kuat saat memaksa Narash ikut ke dalam. Hal tersebut pun tidak dapat ditolak oleh Narash sendiri, dia pun melakukan itu agar Paula berada di dalam. "Paula, kau bisa membuatku dipecat!" "Apa? Dipecat? Memangnya kau…," Telunjuk Narash menghalangi bibir Paula agar tidak terus berkata. "Diam! Kau… Harus menjaga sopan santun di sini. Paham!" Meski diberi perintah demikian, Paula tetap berbisik ke telinga Narash, "Lalu… Untuk apa kotak ini?" "Kita cari kamar mandi." gumam Narash, dia pun segera membawa Paula ke ruang ganti yang berada paling ujung area pertemuan. Paula masih saja melihat orang-orang di sana, baginya tidak ada yang aneh. Hanya saja, Paula merasa ingin muntah saat mendapati wanita muda berada di pangkuan seorang pria tua. Kiranya itu seumuran dengan Efran, tentu saja Paula memahami 'Surga' yang dimaksud Narash. "Ayo, ganti pakaianmu!" pinta Narash mendorong Paula untuk masuk ke kamar ganti. "Tunggu!" karena Paula bukan gadis bodoh, dia segera membuka isi kotak tersebut. Betapa Paula terkejut, kedua bola matanya hampir mencuat. "Kau… Ingin aku mengenakan gaun tidur seperti ini? Di acara ini, huh?" "Iya, kenapa?" Narash balik bertanya. "Kau…," Paula mendengus. "Jangan seenaknya memintaku agar memakai pakaian seperti ini, aku tidak mau!" Usaha Narash selama bisa menemukan Paula kembali tidaklah mudah, termasuk dia sedang menahan amarah saat ini. "Hei, Paula sayang. Um… Kira-kira bagaimana jika Ayahmu besok tidak dapat cek up?" "Jangan!" suara Paula melemah. "Bagus!" Narash pun memaksa Paula masuk, dia menunggu di depan pintu ruang ganti. Bermaksud mencari celah pada jendela, Paula tahu tidak dapat lari ke mana pun setelah hanya melihat ada lubang angin kecil di atas sana. Melihat lingerie di tangan Paula tiba-tiba ingat akan gadis yang sedang dimanjakan di luar sana. "Apa… Aku bakal jadi… Wanita penghibur?" tanya Paula pada dirinya sendiri. Kemudian Paula tetap tidak mengenakan gaun tidur tersebut, dia keluar dari kamar mandi dan langsung membuat Narash marah. Semua itu tampak dari cara Narash melihat, bahkan menahan sesuatu di dadanya. "Aku… Tidak ingin mengenakan pakaian itu." Paula berusaha agar Narash tidak memaksa lagi. "Kau ini," jika saja Narash tidak menerima jumlah uang lebih besar dari biasanya maka tidak segan untuk menampar wajah Paula. "Benar-benar keterlaluan!" Tidak banyak bicara lagi, Narash menarik lengan Paula masuk ke ruang ganti. Tangannya dengan lincah melepas pakaian dan hanya menyisakan celana dalam Paula. Kemudian Narash memakaikan lingerie tersebut ke tubuh indah Paula. Depan cermin, Paula merasa jijik melihat warna yang sejujurnya sangat indah. "Kenapa… Harus mengenakan ini?" "Karena tubuhmu akan dinilai." bisik Narash dengan intonasi nya. "Dinilai?" Narash tidak peduli, dia kembali menarik lengan Paula keluar dari ruang ganti. "Paula, Bos akan melihatmu sendiri nanti. Apakah kau layak bekerja bersamanya, atau… Tidak!" "Jika tidak?" tanya Paula ragu. "Kau harus mengembalikan uang 2 juta itu, ditambah dengan bunganya." ucap Narash seolah bukan masalah. Betapa rasanya sangat berat dan sakit ketika Paula menelan ludah, langkahnya bergerak terpaksa mengikuti Narash berjalan. Saat berada di antara orang-orang yang sedang asyik mengobrol, Paula menjadi pusat perhatian. Dia pun gemetar akan hal ini, dia terus berusaha menutupi bagian dadanya yang sedikit terlihat dengan telapak tangan. Pada saat tengah menahan tatapan orang-orang, Paula mendadak mati rasa, kakinya kaku untuk berjalan, tangan terasa dingin, juga matanya tidak dapat melepas peran melihat pria dari yang dikenal saat di kafe Narash. Pria itu, yang memberinya ampl amplop. "Kenapa kau berhenti?" tanya Narash melihat ada sesuatu yang aneh pada diri Paula. "I… Itu… Itu…," bahkan lidah Paula seperti diserang stroke. "Itu… Laki-laki yang…," "Itu, Bosmu!" jelas Narash singkat. Namun, bisa membuat Paula ingin pingsan. "Apa? Aku… Aku akan bekerja de...ngannya? Be...narkah?" Paula terbata. Dari sikap Paula, kini Narash bisa merasa puas. Selain dia tahu betapa sesungguhnya Paula sangat lugu, Narash bisa memberi balasan setimpal atas pencurian uangnya. "Iya, dia… Jarvis Ribeiro Finn, panggil saja, Tuan Finn!" "Tidak mungkin, Narash. Aku…," Paula prihatin saat pria itu kini menghadapnya. "Aku tidak mau bekerja padanya." Sudah berulang kali sebuah penolakan datang, Narash pun meyakinkan Paula jika bekerja di Prazer dapat membiayai hidup juga menyembuhkan Efran. Paula sedikit tenang, bahkan tampak siap saat Narash meminta agar berjalan ke arah Jarvis. Sebuah iming-iming bukan semata Paula dapatkan, dia telah mengambil satu keputusan pasti saat menuju ke tempat Jarvis. "Aku harus terlihat menarik." Menurut penjelasan Narash, seorang Jarvis enggan disentuh secara brutal oleh wanita, pria itu hanya akan menatap kemudian mengambil satu keputusan pasti. Kini Paula telah berada di depan mata Jarvis, dia pun gugup dan seolah tidak dapat berjalan. Satu permasalahan karena Paula sudah melakukan kesalahan. "Selamat Siang, Tuan Finn." sapa Paula pada Jarvis. Paula tidak salah menduga saat dia melihat Jarvis mengenakan setelan jas abu-abu tua. Yang Paula khawatirkan adalah ketika dia tahu jika pria itu merupakan Bos Narash. "Perkenalkan, namaku Paula Devina. Teman Narash." Sejenak Jarvis menatap 2 orang di sebelahnya, dia memberi kode agar mereka menyingkir dari sana. Kemudian Jarvis memandang Paula penuh ketelitian. "Berapa usiamu?" "25 Tahun." jawab Paula berusaha agar terlihat santai. Jarvis melangkah sedikit, kemudian menarik lengan Paula kasar hingga tubuh itu sangat dekat. Jarak 1 sentimeter saja Jarvis memperhatikan Paula, lebih teliti hingga dia melihat garis halus kornea gadis itu. "Bisa apa kau?" Menatap mata itu saja Paula masih butuh banyak kekuatan, kini dia dihadapkan oleh pertanyaan yang teramat membingungkan. "Aku… Seorang guru les Bahasa Indonesia, selain itu… Aku… Hanya seorang mahasiswa." Jarvis mendekatkan bibirnya ke telinga Paula. "Bukan itu, Nona!" Lalu apa? Paula mulai berkeringat dingin, dia takut jika Jarvis akan bertindak sesuatu padanya. "Jadi… Kau, maaf maksudnya Anda… Bertanya mengenai pekerjaan ini?" "Ya." Jarvis memperhatikan bulu mata Paula berkedip. "Aku… Tidak ada pengalaman apa pun," Paula merasakan tangan hangat itu merayap ke pinggang. "Anda bisa menunjukkannya padaku!" Jarvis melerai tangannya dari Paula, dia tidak banyak berkata dan hanya memberi isyarat agar Paula mengikuti. Di sebuah ruangan, Jarvis membuka pintu dengan satu kibasan telapak tangan. Dan ruangan dipenuhi gemerlap lampu dan orang-orang yang sedang menikmati pesta terpampang jelas. Paula kembali diberi pemandangan yang sebenarnya ini tidaklah asing, di mana dia harus berhadapan dengan orang tanpa busana. Lalu Paula melihat lagi dari jarak 15 meter, dia mendapati seorang wanita sedang dimanja oleh 2 pria. Sosok seksi itu menari, membiarkan segala sentuhan mendarat di tubuh. Kemudian Paula terkejut saat Jarvis sudah berada di tempat duduk, pandangan mereka menyatu saat dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian Paula melihat Jarvis menggerakkan satu tangan, tidak lama datang seorang laki-laki berpakaian rapi mendekati Paula. "Nona, apakah kau… Bisa menari?" bisik pria di belakang Paula. "Apa?" Paula terkejut. "Manari? Ya… Aku bisa menari, sedikit." Pria di sebelah Paula memberi isyarat agar Paula menari. Dengan pakaian demikian, Paula merasa kurang nyaman. Namun, dia mulai mendekati tiang yang berada di tengah. Segenap keyakinan bahwa ini hanya pekerjaan, Paula pun mulai menemukan satu gerakan yang sesungguhnya dia tidak terlalu menguasai. Hanya berdasarkan apa yang pernah dilihat sedang penari erotis. Pelan, tangannya mencapai bagian paling atas tiang kemudian Paula menggerakkan pinggul dan punggung melekat pada besi. Paula bergerak sesuai nada yang berlangsung, dia juga memberikan tatapan nakal kepada setiap pria yang melihatnya. Tarian yang baru beberapa menit, membuat hampir semua orang melihat ke arah Paula. Mereka mulai menikmati gerakan lemah Paula dalam melampiaskan emosi, tarian itu menjadi ketertarikan tersendiri bagi yang melihat. Namun, Paula yang tidak biasa melakukan itu pun tidak sengaja terjatuh karena tergelincir. Perasaan Paula hanya pada rasa takut jika Javis akan marah, dia pun berusaha tersenyum manis pada setiap pengunjung. "Maaf, saya… Akhiri dulu." Kemudian Paula mendapati tatapan kurang suka dari Jarvis. Sialan. Paula pun menahan napas saat jari telunjuk Jarvis memberi tanda agar mendekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD