7. Terimakasih Yang Tak Dapat Diucapkan

1651 Words
SEBUAH tissue yang berada ditangan Shanin sudah terlihat kotor karna gadis itu baru saja membersihkan sisa spaghetti yang ditumpahkan Abby-- dengan sengaja pastinya-- di atas meja kantin, dan tugas Shanin sebagai 'babunya' mau tak mau harus membersihkan hal itu yang membuat lengan bajunya jadi ikut terkena kotoran. Sudah empat hari nyatanya Shanin menjadi 'babu' Abby, namun terasa seperti empat puluh tahun. Lama sekali. Apalagi karna Abby yang terus-terusan menyiksanya, membuatnya tak yakin apakah ia sanggup melewati ini sampai lulus nanti atau menyerah. "Nin, ambilin baju seragam olahraga gue diloker sana!" Abby memerintah dengan nada mengusir, sedangkan yang disuruh hanya mengangguk patuh dan segera beranjak dari tempatnya. Meninggalkan tawa teman-teman Abby yang melihat kepatuhan Shanin terhadap 'majikannya'. Oh iya, kalau kalian mau tahu, saat ini julukan Shanin bukan lagi 'wanita cantik bernasib menyedihkan', namun sudah berganti menjadi 'peliharaan Abby' beberapa hari lalu. Dengan langkah cepat Shanin berjalan menuju lorong dimana terdapat ratusan loker milik semua siswa dan siswi disekolah ini. Kemudian segera mengambil satu pasang baju olahraga milik Abby begitu menemukan loker milik ratu kucing garong itu. Shanin tersentak begitu ia membalikan badan dan mendapati seseorang yang berdiri di belakangnya dengan mata yang membara penuh amarah. Dia Chris. "Mau sampe kapan gue ngeliat lo jadi pembokatnya Abby?" Suara berat itu menyapa Shanin, namun yang diajak bicara nampak tak memperdulikannya dan malah berniat untuk pergi sebelum tangan Chris meraihnya dan mendorongnya ke pintu loker yang berada tepat di belakangnya. "Bisa gak sih Chris gak usah ganggu Shanin lagi? Abby bertingkah kaya gini itu gara-gara Chris, jadi menurut Chris apa yang bakal Abby lakuin sama Shanin kalo misal Abby liat kita gini?" Mata Shanin berkaca-kaca, ia menatap Chris penuh kebencian. Coba saja dahulu Chris berfikir dua kali untuk melakukan hal itu, pasti kehidupannya akan damai. Cowok tinggi berambut gondrong itu menggigit bibir bawahnya emosi, lalu tatapannya beralih pada seragam olahraga yang Shanin pegang. Tak lama cowok itu terlihat merebutnya lalu melemparkannya ke lantai sebelum menginjak-nginjaknya layaknya sampah. Shanin yang melihat hal itu jelas saja panik, ia dengan kesal mendorong tubuh Chris menjauh dan segera memungut seragam olahraga milik Abby, "Chris gila!? Abby bisa ngamuk kalo liat!" Bentaknya sekuat mungkin sembari membersihkan seragam itu dengan cara menepuk-nepuknya. Tanpa menjawab pertanyaan Shanin, cowok itu dengan gemas mencengkram kuat kedua lengan Shanin kemudian mengangkatnya agar berdiri dan kembali ke posisi semula, "Peduli setan sama Abby! Gue bisa lindungin lo dari Abby, lo gak harus ngelakuin ini! Apa lo gak bisa liat sesayang apa gue sama lo!?" Bentakan kencang yang membuat Shanin meneteskan air matanya. "Lindungin Shanin?" Ulang Shanin dengan menatap Chris kesal, "Chris mau tau gimana caranya lindungin Shanin?" Shanin mendekatkan bibirnya ke telinga kiri milik Chris, "Jangan pernah muncul dihadapan Shanin lagi. Karna kalo sampe Abby liat, dia gak cuma akan jadiin Shanin babunya. Tapi jadiin Shanin kesetnya.'' Setelah berkata pedas seperti itu ia memilih meninggalkan Chris yang dengan kesal memukul pintu loker dihadapannya hingga membuatnya rusak. Kemudian tatapannya beralih ke arah punggung Shanin yang menjauh. Sementara Shanin yang kini kembali menuju kantin nampak masih sibuk dengan seragam Abby yang kotor. Ia bisa dikuliti hidup-hidup kalau sampai Abby melihat seragamnya yang kotor. "Seragam gue kenapa? Kok dibersihin gitu?" Mata Shanin membulat begitu pertanyaan Abby menyapa telinganya, ia mematung tanpa tahu harus berkata dan berbuat apa. Dengan kasar Abby merebut seragam yang berada ditangan Shanin lalu dengan cepat melebarkannya dengan mulut yang mendadak terbuka, "s**t! Ini kenapa? Lo abis injek-injek seragam gue!?" Bentak Abby kasar dengan pandangan yang beralih menatap Shanin. Shanin berniat membuka mulutnya untuk menceritakan apa yang tadi terjadi, namun otaknya mendadak memerintahkannya untuk berhenti. Ia akan terkena amukan Abby jika mengatakan yang sebenarnya, namun jika ia berbohong dan bilang kalau itu terjatuh, Abbypun pasti tak akan percaya dan tetap menyangka kalau Shaninlah yang menginjak-nginjaknya karna di kaos putih itu terdapat bercak sepatu. Jadi yang Shanin lakukan hanya diam dengan wajah menduduk, sepertinya percuma jika ia mengeluarkan bantahannya. Sebuah tangan mengangkat wajahnya agar menatap mata hitam pekat miliknya, "Lo segitu keselnya sama gue sampe nginjek-nginjek seragam gue?" Nada yang terdengar penuh kebencian, sedangkan yang diajak bicara masih terlihat bungkam, "Seragam dibales sama seragam, bukan?" Mata Abby beralih ke arah baju milik Shanin, lalu sedetik kemudian ia memberikan isyarat kepada kedua temannya untuk menyeret Shanin dari sana. Dan tanpa diberitahupun Shanin tahu apa yang akan Abby lakukan, ia akan menginjak-nginjaknya agar seragam Shanin sama kotornya dengan miliknya. Gadis itu merontah kecil walau ia tahu kalau tenaganya tak akan kuat melawan kedua orang wanita berbadan besar yang kini tengah menggenggam kedua tangannya erat, hanya setetes air mata saja yang dapat Shanin keluarkan sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan pasrah. Namun mata itu kembali terbuka ketika dirinya merasa kalau seretan dikedua lengannya nampak berhenti. Dan begitu membuka matanya, pupil miliknya tiba-tiba membesar. Tak menyangka atas siapa yang kini berada di hadapannya. Mereka Arga dan teman-temannya, minus Al pastinya. Ke enam orang itu berjejer rapih dengan pandangan yang sama-sama tertuju pada Shanin. Menatapnya penuh rasa kasihan walau ekspresi yang mereka tunjukan masih sama seperti biasa. Seorang cowok dengan kaos polos dan jaket jeans robek-robek andalannya nampak maju selangkah. Itu Arga, iya Arga. Dan Shanin tak berhalusinasi akan hal ini. "Kayaknya kalian udah cukup deh main-main sama cewek lemah ini," Arga bersuara, bau rokok dapat tercium dihidung Shanin karna saat ini cowok itu sedang berada tepat dua langkah di hadapannya. "Apa perduli lo?" Abby yang tadi berada di belakang Shanin kini maju, mendekat ke arah Arga dengan tampang penasarannya. "Sekarang gue yang mau main-main sama dia, jadi gimana kalo kita gantian?" Suara Arga nampak terdengar tenang, setenang laut tanpa ombak. Namun pandangannya tak lepas dari Shanin, padahal ia sedang bicara dengan Abby. Wanita itu nampak berfikir keras, pandangannya bergantian menatap Shanin dan Arga. Hingga akhirnya, ia terlihat beranjak sesudah berkata 'have fun' pada Arga. Helaan napas panjang terdengar, Shanin serasa dapat menghirup oksigen lagi yang sebelumnya direnggut oleh Abby. Dengan kaki yang gemetar, Shanin memilih berjongkok daripada harus pingsan dan jadi bahan ketawaan semua orang. Shanin memeluk lututnya dengan air mata yang tak sengaja kembali mengalir, padahal ia sudah sekuat mungkin menahannya. "Udah makan?" Sebuah suara menyadarkan Shanin, ia dengan bingung mendongak, menatap sang penanyanya yang ternyata masih berada di hadapannya. Shanin menggeleng lemah sebelum kembali menunduk, "Kebab suka?" lagi-lagi Shanin mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Arga. Dan lagi-lagi pula Shanin hanya menjawabnya dengan anggukan kepala bingung, tak lama ia merasakan ada yang memegang kedua lengannya kemudian mengangkatnya untuk berdiri, "Duduk jangan di lantai," Shanin mematung begitu wajah Richard berada lima jengkal dari wajahnya, "Tuh banyak bangku!" Ucapnya lagi sembari merangkul Shanin untuk menuju ke sebuah bangku yang kosong. Shanin yang masih tak mengerti hanya menurut saja, ia lalu duduk dengan Arga yang berada di hadapannya, Richard dan Derren yang berada di samping kanan dan kirinya, Raynzal yang berada di samping Arga sedangkan Arkan yang saat ini tengah duduk di atas meja. Sementara Steve entah pergi kemana, ia tiba-tiba saja menghilang. Semua pandangan orang yang saat ini berada dikantin kini menjadi milik Shanin. Semua orang nampak menatapnya dengan wajah bertanya-tanya, tak dikit dari mereka yang mengabadikan momen bersejarah ini. Banyak dari mereka yang menyangka kalau Shanin akan dibully oleh majikan baru dan diam-diam menertawainya. "Kebab datang!" Steve meletakkan sepiring penuh kebab di hadapan Shanin, membuat Shanin lagi-lagi hanya bisa mematung. Apa ia mimpi? Ia berhalusinasi? Sepertinya sebentar lagi ia akan gila. Shanin menatap kebab dan ke enam orang di sekelilingnya secara bergantian, nampaknya gadis cantik ini masih belum mengerti juga dengan kejadian langka yang tengah berlangsung. "Gak makan? Bukannya tadi lo bilang belom makan?" Richard bertanya dengan kedua alis hitam lebatnya yang menaut heran. "Kalian kenapa di sini?" Akhirnya suara manis dari bibir mungilnya terdengar. "Gak ada bangku kosong." tatapan Shanin beralih kepada Arga, cowok itu kini terlihat bermain dengan ponselnya. Pandangan Shanin sontak beralih, segera mendapati beberapa bangku kosong yang berada di dalam kantin ini. Keadaannya juga tak terlalu ramai seperti biasanya. “Itu ada.” Tunjuk Shanin polos, membuat cengiran geli dari Richard terlihat, “Kita di sini karna mau nemenin lo makan, biar gak ada yang gangguin.” Respon cowok berkumis tipis itu akhirnya, tak tahan melihat kebingungan gadis berambut hitam panjang itu. Alis Shanin terangkat bingung, "Kenapa?" "Al udah cerita semuanya ke kita," Steve menatap Shanin dengan tangan yang dengan iseng melempar-lemparkan buah jeruk ke langit, "Anggep aja ini balesan karna udah bantuin temen kita." Sebuah wink menyapa mata Shanin singkat. Sebuah senyuman mendarat di bibir berlipstick soft pink itu, ia kemudian mengambil kebab yang berada di hadapannya lalu dengan lahap memakannya. Hal itu membuat setetes air mata jatuh di wajah bersih miliknya, mendadak ia merasa seperti terbebas dari penjara. Tidak, mungkin lebih dari itu. "Lo gak pernah makan, ya?" Raynzal yang sedari tadi bermain dengan garpu akhirnya bersuara karna melihat kerakusan Shanin. Gadis itu menghapus air matanya sembari tersenyum, "Gak pernah makan siang lebih tepatnya, kalo gak dibuang, makanan Shanin biasanya sih ditaro binatang." Ia menceritakan hal sedih dengan ekspresi bahagia, bahkan sangking bahagianya sampai tak sadar jika pandangan Arga kini sudah mulai beralih ke arahnya. Perlahan tapi pasti mata itu mengidentifikasi wajah Shanin, tak ada kecacatan sedikitpun. Semuanya terlihat sempurna, bahkan Arga fikir, Shanin lebih pantas jika menjadi seseorang yang mendapat julukan 'princess' disekolahnya mengingat tak ada gadis yang lebih cantik darinya disekolah ini. Lalu mengapa ia dibully? "Lo gak pernah coba lapor ke guru BK?" Arga tanpa sadar mengeluarkan rasa penasarannya, ia bahkan merutuki dirinya sendiri karna sudah kelepasan bertanya seperti itu. Shanin menggeleng, "Ujung-ujungnya pasti mereka ngasih tahu orang tua Shanin, dan Shanin gak mau sampe Mama denger kabar ini." sesudah menjawab, ia kembali menggigit kebabnya dengan gigitan besar. Richard tersenyum melihat kelahapan gadis mungil di hadapannya ini, "Pelan-pelan, kalo lo keselek terus mati, kan gak lucu." Tangan Richard meraih botol berisi teh rasa melati yang berada didekatnya, lalu sempat membukakannya sebelum memberikannya pada Shanin. Melihat hal itu sontak saja Shanin kembali melambungkan senyuman, andai saja setiap hari seperti ini. Pasti kehidupannya akan terasa sangat indah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD