5. Al Delano

1661 Words
Dear Diary, Hai! Akhirnya Shanin gak nulis tentang Abby lagi, hari Shanin mau ceritain tentang Arga dan temen-temennya. Menurut kalian, Shanin tuh gila gak sih sampe mau ngasih tubuh Shanin ke Arga? Gila pasti, mungkin otak Shanin udah ilang setengah makanya Shanin gak bisa pikir jernih. Tapi sumpah, di banding tubuh, Shanin rasa kebebasan di sekolah itu lebih penting. Dari pada Shanin stress terus bunuh diri? Mending nurutin apa kata Arga, kan? Tapi nyatanya, mereka tetep gak mau nerima Shanin. Mungkin kalo Shanin diposisi mereka, Shanin bakal lakuin hal yang sama. Ngapain juga nerima cewek ga jelas? Gila kali. Tiba-tiba Shanin keinget satu nama, Richard. Hehe Dia ganteng, baik lagi. Mungkin ya, Shanin juga ga tau. Diakan juga sama biang onarnya kaya yang lain. Tapi dimata Shanin, dia gentle, ramah, lucu, sopan, gemesin, ah banyak lah deskripsi untuk Richard mah. Wajar dia nakal, kalo dia kalem, nanti dia terlalu sempurna. Shanin tau kalo dimata mereka Shanin udah ga punya harga diri, tapi Shanin ga tau lagi harus apa kalo misalnya rencana ini gak berhasil. Shanin bakal terus coba. Doain Shanin! xoxo, Shanindya Violetta Shanin menutup buku Diarynya dengan napas yang ia hembuskan perlahan, memandangi tiap detail sampul Diary miliknya yang nampak sudah lusuh karna Diary tebal itu berisi curhatannya dari masa SMP dulu. Bisa kalian bayangkan seberapa tebalnya? Walau dirinya berada disini, namun otaknya nampak melayang ke tempat lain. Ia terlihat mulai menyusun rencana untuk menarik perhatian Arga dan teman-temannya agar mereka membiarkan Shanin memasuki genknya. Shanin tau ini bukan perkara mudah, namun usaha itu wajib di coba untuk mendapatkan hasil yang ia inginkan. "Shanin udah tidur?" Suara lembut Via terdengar dari balik pintu kamar Shanin, sontak perhatian gadis itu beralih, "Belum, Ma. Masuk aja." Terlihat kenop pintu yang diputar sebelum menampilkan wajah Via dengan rambut panjangnya yang tergerai bebas, wanita itu tersenyum kemudian berjalan ke arah Shanin dan sempat membelai rambutnya sebelum akhirnya duduk di atas ranjang. "Abis nulis Diary?" Shanin mengangguk cepat sambil tersenyum, "Kenapa, Ma? Kok Mama belum tidur?" "Mama mau pamit, besok pagi kan Mama mau ke Singapura. Mau cek jantung Mama, inget kan Mama pernah cerita?" Shanin kembali mengangguk namun kali ini ekspresinya berubah sendu, "Jantung Mama sakit lagi?" Via tersenyum, "Kadang, tapi ya gak sering." lagi-lagi Shanin mengangguk mengerti, "Yaudah kamu tidur, Mama gak bangunin kamu ya. Pesawat mama take off jam 4 pagi." Via bangkit dari posisinya dan sempat merapihkan seprai yang kusut karna ia duduki, lalu berjalan ke arah pintu sesudah mengecup puncak kepala Shanin lembut. "Ma?" "Hm?" Via yang hampir menghilang di balik pintu kembali menoleh. "Hati-hati, Shanin sayang Mama." Lagi-lagi senyuman terindah diberikan oleh Via, "Me too, honey." ***** Beberapa hari melupakan Abby nyatanya tak membuat Abby balas melupakannya. Wanita satu itu masih nampak berniat memangsa Shanin dan sialnya, mereka kembali berpapasan di kantin begitu Shanin baru saja selesai memakan burgernya dan berniat kembali ke kelas. "Kangen gue, ya?" Shanin tak merespon pertanyaan yang ditanyakan oleh wanita yang tengah duduk di hadapannya itu. "Maaf ya, beberapa hari ini kita gak bisa ketemu, gue sakit karna terlalu mikirin lo soalnya." Mati gih, Shanin seneng ko. Abby mengambil sisa saos tomat yang berada di piring kosong dengan telunjuknya, lalu dengan sengaja memeperkannya pada baju seragam Shanin dan otomatis meninggalkan bekasnya disana. Tepat disaat Abby melakukan hal itu, Arga dan kawan-kawannya terlihat lewat di pinggir lapangan dan sempat melihat adegan tak pantas yang terjadi di kantin sekolah mereka. Disana terlihat Shanin tengah dikerubungi oleh ke empat wanita berbadan besar-besar dengan wajah garang, sedangkan Shanin yang memiliki badan mungil hanya bisa tertunduk pasrah. Walau sudah jelas-jelas melihatnya, dengan dingin mereka kembali melanjutkan jalannya untuk menuju lapangan basket dan mulai merusuh disana. Hanya Richard dengan dahi berkerut yang terlihat menatap wajah takut Shanin cukup lama walau akhirnya ia juga kembali melanjutkan langkahnya. "Jadi gini loh, kitakan udah dua tahun nih sama-sama, emang lo gak bosen apa kalo hubungan kita kayak gini terus?" Suara cempreng Abby terdengar masuk ke otak Shanin, gadis itu memproses kata-kata yang Abby lontakan sebelum akhirnya memberanikan diri menatap wajah menyeramkan itu. "Abby ngajak baikan?" Pecah, seluruh tawa di kantin ini pecah mendengar pertanyaan lucu atau mungkin bodohnya Shanin. "Sayang," Abby mengelap air matanya karna tawa kencangnya, "Orang yang udah caper sampe buat baper calon gue gak akan pernah bisa baikan sama gue. Jadi lo cuma punya dua pilihan, pindah sekolah atau jadi babu gue sampe lulus?" Shanin membulatkan matanya begitu mendengar dua pilihan tak menyenangkan yang di tawarkan Abby, keduanya tak ada yang bisa Shanin lakukan. "Tenang aja, kalo lo milih jadi babu gue, gue gak akan bully lo lagi kayak gini kok. Asalkan lo nurutin semua kata gue dan lakuin semua yang gue suruh." Sempat terbesit untuk menerima tawaran kedua, namun ia sangat tidak yakin dengan omongan Abby yang berkata 'tidak akan membullynya lagi'. Tak ada jaminan kalau menjadi babunya akan membuat hidup Shanin tentram tanpa Bullyan, bisa-bisa ia benar-benar bunuh diri. "Lo gak bisa pindah, kan? Gue tau kenapa, nyokap lo, kan? Dia punya penyakit jantung parah, jadi lo gak mau buat dia mati tiba-tiba. Lo sayang nyokap lo, kan?" Abby mengatakannya dengan penuh kemenangan, tak sia-sia ia menyewa mata-mata untuk mencari informasi detail tentang keluarga Shanin. Kelopak mata Shanin menutup, seakan dengan melakukan hal itu dapat membuat pikirannya berjalan lancar dan tak mengangambil keputusan dengan gegabah yang akan membuat hidup di sekolahnya semakin sulit. Shanin harus apa? Arga sama genknya kayaknya bener-bener gak bisa bantu Shanin. Ini sebenernya kesempatan Shanin, tapi kalo sampe Abby bohong gimana? Apa Shanin gak bakal terus ditindas abis-abisan? Tapi kalo sampe Shanin ambil pilihan pertama, itu sama aja bunuh Mama. Shanin gak mau itu kejadian, kan? Otak Shanin berdebat hebat hingga ia merasakan sakit kepala, bukan hanya Abby yang gemas dengan menunggu jawaban Shanin, Shanin sendiri si pemilik otaknya juga gemas dengan pemikirannya yang tak kunjung usai berdebat. Shanin kembali membuka matanya, ditatapnya wajah Abby dengan takut. Ia menggigiti bibir bawahnya dengan perasaan campur aduk, "Jadi babu ajakan? Abby juga janji gak bakal bully Shanin lagikan?" Dengan cepat Abby mengangguk sembari memelintir genit rambutnya, "So, deal?" "Deal." ***** Perkataan Abby mengenai 'tak akan membullynya lagi' nyatanya benar-benar wanita itu buktikan. Abby dan semua teman-temannya memang tak pernah lagi membullynya, tapi menjadikannya banar-benar layaknya seorang 'babu' dengan garis bawah tanpa bayaran a.k.a sukarela. Sudah sekitar tiga hari ini Shanin melayani apapun permintaan bossnya itu, termaksud mengerjakan tugas-tugasnya, membelikannya makanan, membawakan tas, membersihkan sepatu, sampai hal yang tak penting seperti membukakan bungkus permen karet. Apa untuk hal segampang itu ia tak sanggup? Atau memang karna Shanin yang terlalu polos untuk di bodohi? Dua jam lebih. Sudah dua jam lebih Shanin berjalan di aspal tanpa menggunakan sepatu sekolahnya. Kaki cantiknya itu hanya di balut kaos kaki yang sekarang sudah nampak lusuh meminta untuk di buang. Sewaktu Shanin selesai membawakan tas Abby dan ketiga kacungnya, wanita ular itu meminta sepatu Shanin dengan alasan menyukainya. Bahkan ukurannya saja tak sama melihat kaki Abby yang cukup besar dari miliknya, niat awal Abby tidak lain dan tidak bukan pasti untuk mengerjainya. Shanin berjalan menelusuri gelapnya malam, jam sudah menunjukan pukul sebelas tapi gadis itu masih terlihat memakai baju seragam sekolahnya yang sudah kusam dan bau keringat. Ia baru saja dari rumah Abby dan benar-benar menjadi 'babunya' untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang sangat banyak. Belum lagi tadi Shanin di perintahkan untuk mengepel lantai, bayangkan saja tangan kecil Shanin mengepel rumah bertingkat tiga milik Abby. Lengannya tak putus saja masih untung. Shanin memandangi sekeliling jalan yang menurutnya sangat asing, ia baru pertama kali kesini dan Abby dengan teganya menyuruh Shanin agar pulang sendiri dengan alasan mobilnya yang rusak. Rusak darimananya kalau tadi Leah—salah satu sahabat Abby—baru saja memakainya untuk pergi membeli alkohol yang sungguh banyak. Sepertinya mereka akan mengadakan pesta, jadi pulang tanpa harus berdebat dengan Abby agar mengantarnya adalah jalan paling aman sebelum wanita itu menendangnya. "Emang tadi lewat pasar gini?" Shanin memandang sekitarnya dengan bingung, ia ragu untuk melanjutkan langkahnya atau tidak. Belum lagi karna suasana pasar ini yang sudah terlihat gelap dan sepi, jelas saja, siapa ada yang mau berdagang jam segini? "Aduh Shanin, bener gak sih? Jalan rayanya tuh mana?" Shanin menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, rasa panik mulai menghantuinya. Belum lagi karna ponsel miliknya yang mendadak tak ada signal, membuatnya tak bisa memesan taksi atau ojek online. Dengan kaos kaki yang sudah nampak kotor akibat berjalan di aspal, Shanin mencoba untuk menjadi cenayang dengan menerka-nerka asal arah menuju jalan raya. Namun semakin sok tahu, nyatanya membuat Shanin semakin lupa arah dan tersesat hingga membuat dirinya semakin masuk ke tempat yang tak jelas. Keadaan yang remang-remang karna minimnya lampu jalan ditambah waktu yang semakin malam membuat keringat dingin Shanin keluar walau dirinya sudah mencoba untuk tetap tenang dan tetap mengandalkan insting untuk keluar dari tempat terkutuk ini. “AWH!!" Samar-samar Shanin mendengar suara seseorang yang berteriak mengaduh, membuat Shanin dengan refleks membalikan badan dan mempertajam penglihatannya. Ia bahkan sempat menyipitkan matanya untuk mencari darimana sumber suara yang ia yakini benar-benar ada. Namun gadis itu tak menemukan apapun, ia mencoba untuk membalikan badannya dan beranjak pergi dari sana dengan langkah seribu. “AWH! b*****t!" Sebuah teriakan yang di akhiri dengan u*****n penuh amarah kembali terdengar di telinga Shanin, dan kali ini ia benar-benar yakin bahwa suara yang ia dengar bukanlah delusi semata. Perlahan Shanin kembali membalikan badannya dan mencoba mencari kembali suara itu, ia terlihat berjalan memasuki sebuah g**g cukup kecil dengan hanya bermodal satu buah lampu penerangan jalan. Gadis polos itu tak sadar akan bahaya yang bisa saja menimpanya karna terlalu berani bertindak tanpa berfikir dua kali. Semakin dalam ia menelusuri g**g asing itu, semakin jelas pula pendengarannya, namun kali ini Shanin bukan hanya mendengar suara seseorang yang berteriak, namun juga mendengar suara lainnya yang terasa cukup bising. Tiba-tiba gadis itu mematung dengan mempertajam penglihatannya dan begitu cukup jelas untuk melihat, mata Shanin seketika membulat total. Ia dengan cepat bersembunyi di balik tiang listrik yang untung tepat berada di sampingnya. Sebelah matanya terlihat mengintip ke arah sembilan orang yang tengah mengerubungi satu orang yang sudah tergeletak tak berdaya dengan bersimbah darah. Sontak hal itu semakin membuat Shanin panik bukan main, "Itu dia diapain? Ya Tuhan!" Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir mungilnya walau di ending ia terlihat berniat kembali melangkah pergi karna ini bukan urusannya. Namun begitu samar-samar melihat wajah memar seseorang yang tengah terbatuk-batuk sembari memegangi perutnya itu, Shanin kembali mematung di tempatnya dan mengurungkan niatnya untuk pergi. "AL?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD