1. Shanindya Violetta

1582 Words
SEORANG gadis berseragam putih abu-abu itu nampak memandangi sepatu putihnya dengan perasaan pasrah, kesal, sedih dan berbagai perasaan menyakitkan lainnya. Dapat terbaca dengan jelas, name-tag di d**a kanannya yang bertuliskan 'Shanindya Violetta'. Si gadis cantik dengan takdir menyedihkan, begitulah pendapat semua 'teman-temannya' di sekolah. Bau air terasi yang menyengat sudah menusuk hidungnya, lagi-lagi ia harus pulang dengan kaki t*******g. Bukan lagi sebuah kejutan bagi Shanin begitu menemukan sepatunya terendam di dalam ember yang terisi penuh dengan air terasi juga beberapa puntung rokok. Mungkin pulang dengan kaki t*******g sudah menjadi kebiasaannya setiap hari, dan nampaknya ia sudah mulai jengah dengan itu semua. Shanin meletakan sepatunya asal di depan rumah bergaya eropa itu, ia lalu seenaknya saja masuk ke dalamnya tanpa memperdulikan kakinya yang kotor dan juga bau karna tadi sempat mengenai tetesan air terasi yang berada di dalam sepatunya. Matanya sempat memandang ke arah sekitar, kalau-kalau ada yang melihatnya seperti itu, Shanin pasti tak akan bisa menjelaskan dengan berbohong mengenai sepatunya yang kuyup. Begitu dirasa aman, barulah Shanin mulai berlari kecil menuju lantai dua, dimana kamarnya berada dan segera memasukinya. Tak lupa dengan menutup pintu bertuliskan 'Shanin, Knock!' kemudian menguncinya rapat-rapat. Air mata yang sedari tadi ia tahan  nyatanya tumpah juga, ia lelah terus-terusan menjadi korban pembullyan di sekolahnya. Namun ia tak dapat melakukan apapun, berbicara saja tidak, bagaimana membalas. Dengan kasar Shanin membuka buku Diary-nya, menyoretkan sumpah serapah yang tak bisa ia ucapkan secara langsung dengan sebuah spidol berwarna merah menyala. Dear Diary, Lagi. Lagi. Shanin di bully lagi sama temen-temennya Abby. Sepatu Shanin dimasukin ke dalem ember yang bau. Mungkin kalian juga bosen ya, soalnya tiap hari Shanin nulisnya ini-ini aja. Tapi sumpah, Shanin capek. Ini udah tahun kedua dimana Shanin di bully abis-abisan sama Abby dan genknya, bahkan sekarang temen-temen Shanin yang lain mulai ikutan bully Shanin. Eh tunggu, Shanin kan ga punya temen. Kalo di pikir-pikir, salah Shanin tuh apasih? Abby masih inget kejadian dua tahun dulu? Pas Chris gebetannya itu nembak Shanin? Emang itu salah Shanin? Shanin ga pernah respon Chris, bahkan Shanin kaget kenapa cowok sok ganteng itu bisa bilang suka ke Shanin waktu abis upacara yang di tontonin sama semua anak satu sekolah. Abby juga pastinya. Terus sekarang Shanin harus apa? Bertahan? Dua tahun bertahan emang kurang? Ngelawan? Shanin kecil gini lawan Abby yang badannya gede gitu? Apalagi Trista, tangan kanannya Abby, badannya ngalahin Papa Shanin. Ngebayanginnya aja udah buat Shanin gila. Jadi, Shanin harus apa? Kalo pasrah mulu, makan ati. Tiap hari dikerjain, Shanin yakin mereka mulai sekarang bakal lebih gila lagi ngerjain Shaninnya. Kemaren-kemaren sepatu Shanin, besok bisa jadi rambut atau seragam Shanin yang disiram air terasi. Kalo pindah sekolah, Shanin akan senang hati ngelakuinnya. Apa Shanin harus bilang ke Papa sama Mama kalo Shanin mau pindah sekolah?   Shanin menutup buku Diary berwarna pink itu, bahkan ia lupa mengakhiri curhatan hatinya dengan xoxo atau salam cinta Shanin. Akibat ide cemerlang yang muncul, ia mengabaikannya, memilih mengusap mata berairnya dan berjalan ke arah luar kamarnya. Tarikan nafas gadis berkulit putih itu nampak dinikmatinya dalam-dalam, tatapannya kini sudah beralih ke arah Via dan Pandu, kedua orang tua Shanin yang jarang gadis itu temui karna tuntutan pekerjaan, sedangkan Mamanya sibuk menjalani pengobatan. Dengan baju seragam lusuhnya yang belum sempat gadis itu ganti, Shanin berjalan ragu ke arah ruang tamu, saat ini Via tengan sibuk membaca majalah sembari menyeruput teh hangat di hadapannya, sedangkan Pandu tengah sibuk memainkan gadget miliknya. Bahkan kedua orang tua Shanin tak ada yang menyadari kehadiran putri tunggalnya itu. "Ehem," Deheman Shanin berhasil membuat perhatian Via dan Pandu beralih kepadanya, hanya memberikan sekilas senyuman lalu mereka kembali pada aktivitasnya lagi. Shanin membuang nafasnya kesal, lalu memilih duduk disamping Via dan merangkul lengan dari Mamanya itu, "Ada apa ini anak Mama kok manja gini?" Ingin rasanya Shanin menangis sejadi-jadinya dan mengatakannya tentang pembullyannya di sekolah, namun hal itu ia urungkan dalam-dalam, mengingat Via yang memiliki penyakit jantung kronis dan darah tinggi, sekarang saja wanita cantik itu tengah fokus pada pengobatannya dan sudah keluar dari pekerjaan dikarnakan tak boleh memiliki pikiran berat. Bagaimana kalau Shanin tiba-tiba bercerita? Akan jadi apa Mamanya nanti? Ia tak bisa mengatakannya, tak akan pernah bisa. "Ma, Shanin boleh pindah sekolah?" Pertanyaan itu sontak saja mengalihkan pandangan Via, kini wanita berumur 50 tahunan itu nampak menatapnya penuh tanya, bahkan dahinya berkerut, "Kenapa? Kamu ada masalah? Ada yang ganggu kamu?" Shanin menggelengkan kepala super cepat, dalam hati ia bersyukur karna tak jadi mengucapkan tentang masalahnya. Baru berkata seperti itu saja, Via sudah menaikan nadanya khawatir, bahkan Via sempat memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. "Gak apa-apa kok, Shanin cuma bosen aja disana. Gimana kalo sekolah di luar negeri? Bukannya Mama sama Papa waktu itu, mau Shanin sekolah di Jerman?" Pandu mengangguk walau pandangannya tak beralih, "Papa setuju." Secercah harapan muncul di hati Shanin, gadis itu menegakan badannya bersemangat. Sekarang tinggal menunggu satu suara lagi yang akan merubah masa depan hidupnya. "Mama gak mau kamu sendirian disana. Waktu itu Mama juga setuju karna ada Paman Joe, sekarang kan dia udah balik ke sini. Jadi kamu mau tinggal sama siapa?" Shanin mengerutkan keningnya, "Shanin bisa tinggal sendiri kok, buktinya sekarang aja bisa, Mama sama Papakan jarang dirumah. Shanin bisa kan urus diri sendiri?" Via tersenyum, membuat Shanin ikut tersenyum. Ia merasakan akan ada jawaban menyenangkan di balik bibir berlipstick pink muda itu, "Justru karna kamu disini udah sering sendiri, makanya Mama gak mau biarin kamu sendirian lagi disana. Lagian disini kan ada Bibi, ada Paman kamu juga yang sering nengokin kamu. Tetangga kiri kanan kita juga semuanya saudara, kalo disana? Mau minta tolong sama siapa semisal ada kejadian kurang menyenangkan?" Pupus sudah harapan Shanin, Via adalah tipikal orang yang tak akan merubah keputusannya. Jika tidak, maka jawabannya adalah tidak. Lain dengan Pandu yang sekarang iya, besok tidak. Jawaban panjang itu membuat bibir Shanin manyun, ia memilih bangkit sebelum setan nakal di otaknya menyuruhnya untuk mengatakan semuanya dan membuat jantung Via berhenti berdetak tiba-tiba. Oh Tuhan, jangan biarkan itu terjadi. Dengan langkah gontai, gadis bertubuh mungil itu menaiki anak tangga dirumahnya, sekarang apa yang harus ia lakukan? "Ya Tuhan, Shanin mau pindah." *** Shanin terlihat duduk di bangku penumpang, sedangkan matanya nampak memperhatikan keindahan alam dari kaca jendela taksi yang tengah ia naiki. Padahal ia lebih suka berangkat ke sekolah menggunakan kedua kakinya, namun karna tadi pagi Shanin sempat berpapasan dengan Via, mau tak mau Shanin pergi ke sekolah menggunakan taksi, wanita cantik itu tak ingin bila anak gadisnya berjalan kaki sendirian. Berbahaya, katanya. "Mereka lagi," Suara pelan sang supir taksi di tengah keheningan nampak menyapa telinga Shanin, gadis itu sontak saja mengalihkan pandangannya, "Kenapa, Pak?" "Itu, anak sekolah berandalan yang hobi nutup jalan," Shanin mengernyitkan dahinya mendengar penjelesan Pak Supir yang sulit untuk dicerna diotaknya. "Anak sekolah berandalan yang hobi nutup jalan?" beo Shanin. Bapak berkumis tebal itu mengangguk kesal, "Mereka tiap pagi sering berulah di daerah sini, saya heran sama orang tuanya, ko bisa anak-anak nakal gitu di diemin." Shanin terlihat mengikuti arah pandang Sang supir, pencariannya berakhir pada seorang anak cowok bercelana abu-abu namun pasangannya adalah kaos putih polos yang tengah melemparkan telur mentah pada kaca depan sebuah mobil. Sontak saja mata Shanin membulat, bukan hanya itu, seseorang lainnya yang sepertinya temannya juga nampak menyembur-nyemburkan minuman dari dalam mulutnya pada mobil-mobil lain yang kini sibuk membunyikan klaksonnya. Keterkejutan Shanin bertambah ketika ia mendengar seseorang mengetuk jendela kaca di samping kanannya, kedua mata sipit yang tadi sudah mulai membulat kini semakin terbuka begitu maniknya menatap manik seorang cowok berambut abu-abu itu. "Boo!" Shanin memundurkan badannya begitu cowok tampan berambut acak-acakan itu terlihat mengagetkannya dengan pelan. Sebuah kerutan muncul di dahi Shanin, ia bukan sibuk memikirkan 'mau apa dia?', namun berfikir 'kayanya Shanin pernah liat ini orang, tapi dimana?'. Otak Shanin behenti bekerja begitu cowok itu tiba-tiba saja melemparkan gelas plastik berisi kopi di hadapan wajah Shanin. Sontak gadis itu memejamkan matanya takut walau ia tahu kalau dirinya tak akan terkena dikarnakan kaca mobil yang tertutup rapat, dan ketakutan Shanin malah membuat cowok itu tertawa geli kemudian pergi dan melakukan hal yang sama dengan mobil yang berbeda. "Cuci mobil lagi deh," Ucap Sang supir pasrah yang ikut menyaksikan adegan tadi. "Mereka ngapain?" tanya Shanin yang kini sudah membuka matanya, menenangkan jantungnya atas perlakuan cowok yang sepertinya berumur sama dengannya itu. "Iseng, itu ketua genknya." Tunjuk Si Bapak ke salah satu cowok lainnya yang tengah duduk di atas mobil Jeep berwarna hitam yang terparkir tepat di barisan paling awal biang kemacetan ini. Jadi ini yang dimaksud dengan menutup jalan, fikir Shanin. "Gak ada yang berani ngelawan? Bukannya ini sama aja udah masuk kriminalitas? Bahkan ada yang coret-coret kaca mobil pake piloks," Kata Shanin yang saat ini tengah menatap ke salah satu rombongan anak iseng itu yang tengah sibuk menggambar tengkorak pada kaca mobil seseorang menggunakan piloks berwarna merah. "Kalo ngelawan mah pasti gak berani, neng. Mereka jago berantem semua. Lagian kejadian ini udah sering. Nanti juga orang tua mereka ganti rugi ke semua mobil yang mereka rusak." Shanin terlihat mengangguk-anggukan kepala mengerti, namun tatapannya tak luput dari ketua genk yang tadi Pak supir ini bilang. Cowok itu tampan walau penampilannya yang terkesan urakan. Rambutnya berwarna biru muda yang dibiarkan berantakan, dua tindikan di telinga kanannya terpampang jelas. Baju berwarna putih polos yang dibalut jaket kulit hitam juga terlihat serasi di badannya. Ia terlihat memejamkan matanya sembari mengunyah permen karet, bibirnya nampak menampilkan senyuman seolah menikmati acara live yang saat ini sedang berlangsung di depan matanya. Shanin menghela nafasnya, sepertinya hari ini ia akan terlambat ke sekolah karna sekumpulan anak gila ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD