2. Tujuh Pangeran Tampan

1813 Words
SHANIN membenci istirahat dan selamanya akan membenci itu. Begitu bel istirahat dibunyikan, dengan jurus super kilat Shanin pergi ke kantin. Padahal tadi ia berniat berada dikelas seharian, namun apadaya, perutnya terasa sangat lapar karna tadi pagi tak sempat sarapan. Shanin membenci kantin. Terlalu ramai. Terlalu bising. Dan terlalu banyak mata yang memandang Shanin, membicarakannya, bahkan akan ada yang tak segan-segan untuk menjahilinya. Terlalu banyak hal yang ia benci di sekolah ini. Kedua mata milik Shanin berhenti di penjual Mie Ayam. Makanan yang menurut Shanin paling cepat di racik, tak seperti ayam bakar atau sebagainya yang terlalu lama untuk di sajikan. Ia tak ingin berada lama-lama di kantin yang menyesakkan ini. Setelah cepat memesan dan mendapatkan makan siangnya, Shanin berjalan cepat menuju bangku yang terletak paling pojok di sudut kantin. Hanya ada satu bangku disana, bangku kesukaan Shanin. Karna dari sini, tak banyak mata yang bisa melihatnya. Mungkin karna hari ini adalah hari s**l Shanin, kedua mata miliknya tak sengaja bertemu dengan manik milik Abby. Cecunguk dan antek-anteknya itu baru saja sampai dan segera menghampiri Shanin. Dalam hati gadis itu mengeluarkan sumpah serapahnya. Ia butuh Diary-nya. Mata Shanin segera menghindari kontak dengan Abby walau nyatanya wanita berambut keriting itu sudah lebih dulu berjalan menghampirinya. Lebih tepatnya menghampiri santapan siangnya. Membuat tubuh Shanin menegang. Bahkan untuk mengangkat sumpitpun ia tak mampu. Membiarkan Mie Ayamnya membengkak karna belum juga disentuh dari tadi. "Hay, Nin. Laper ya?" Sebuah suara terdengar menayapa Shanin 'ramah'. Tak lama Abby dan kelima temannya terlihat berdiri mengitarinya. Membuat Shanin tiba-tiba kehabisan oksigen. "Makan makan makan, kita gak akan ganggu kok," Lanjut Abby dengan menampilkan senyumannya. "Abby nyebelin!" Batin Shanin penuh kekesalan. Shanin benar-benar membutuhkan Diary-nya. Feelingnya sudah tak enak, ia terlihat sudah berkeringat dingin. Dan benar saja, tak lama sesuatu yang panas terasa di paha Shanin. Dengan berteriak gadis itu bangkit dari duduknya, membiarkan setumpuk Mie yang berada di rok pendek abu-abunya terjatuh ke lantai. meninggalkan bekasnya disana. Tak lupa dengan rasa perih dan panas di pahanya karna kuah mie itu baru saja diangkat dari kompor.  Seperti dugaan, habis sepatu, rok Shanin yang kena. Besok paling baju atau rambut. "Ups, maaf. Tangan gue licin tadi, kepeleset deh." Ucapan itu membuat ricuh suasana kantin, apalagi saat ini semua mata nampak tertuju padanya. Menatap dirinya yang sengsara dengan penuh kebahagiaan. Apa mereka bahkan manusia? Pantaskah seorang manusia melakukan hal terlampau jahat seperti ini? Dan yang bisa Shanin lakukan? Mematung dengan napas yang naik turun. Hatinya memaki, berteriak, menangis. Namun bibirnya? Diam. Bernapas pun sulit, bagaimana ingin mengeluarkan suara? "Shanin?"                                                            Sebuah suara malaikat di siang bolong terdengar sangat kencang. Cukup kencang untuk menghentikan tawa semua orang. Kedua mata Shanin beralih kepada Bu Siwi, seorang kepala sekolah yang bisa dibilang cukup dekat dengan Shanin. Wanita hitam manis berumur 30 tahunan itu terlihat berdiri beberapa meter dari hadapan Shanin, di tangannya terdapat sebuah penggaris kayu super panjang yang menjadi ciri khasnya. Shanin menelan ludahnya, membiarkan tenggorokannya lancar, "Ada apa, Bu?" Bu Siwi terlihat memandangi Shanin dari ujung kaki sampai kepala, kemudian beralih ke Abby dan teman-temannya yang saat ini tengah sedikit tertunduk. "Ikut Ibu, sekarang." Setelah berkata seperti ini, Bu Siwi dengan rambut keriting sebahunya berlalu pergi. Meninggalkan Shanin dengan segala pujiannya kepada Tuhan yang mulai beranjak dari sana. Mengekor Bu Siwi dengan rok yang setengah basah. Begitu ia menginjakan kaki keluar kantin, napasnya terlihat sudah mulai normal. Ia tersenyum singkat, berterimakasih kepada Ibu kesayangannya yang sudah membantunya pergi dari neraka j*****m. "Pegang ini," Shanin sempat terkejud begitu lamunannya terganggu dan mendapati sebuah buku hijau bergaris dengan sebuah spidol merah di atasnya yang diletakan Bu Siwi diatas tangannya. Jangan bilang.. "Bantu Ibu mencatat siswa yang berkelahi." Lagi? Shanin mematung, memandangi tubuh Bu Siwi yang menjauh. Ia membenci pekerjaan ini, tapi dari pada harus bertemu Abby? Lebih baik bertemu murid bermasalah lainnya. Lagipula tak akan ada apa-apa. Sebelum memasuki sebuah ruangan 'khusus' tempat dimana anak-anak super nakal di nasehati habis-habisan, Shanin sempat merapihkan rambutnya. Walau sudah lumayan sering dimintai tolong, Shanin selalu gugup begitu berhadapan dengan anak-anak yang bermasalah. Entah mengapa. Pintu bertuliskan 'Spesial Room' itu nampak terbuka, namun Shanin belum berani mengangkat kepalanya dan melihat siapa kali ini yang harus ia tulis ke dalam buku hijau tersebut. "Jadi kalian lagi, emangnya gak bosen apa ketemu saya terus?" Bu Siwi mulai bersuara, namun hal itu tetap tak membuat Shanin bergerak dari tempatnya. Gadis itu masih saja mematung di depan pintu dengan kepala yang tertunduk menatap lantai. "Bosen!" Sebuah jawaban serempak terdengar di telinga Shanin yang membuat Shanin sedikit melengkungkan senyuman dan mulai mengangkat kepalanya. Memandangi wajah asing namun familiar menurutnya. Ke tujuh cowok-cowok tampan dengan wajah babak belur dan pakaian yang kusut. Mereka terlihat duduk secara acak dibangku-bangku yang telah di sediakan. Ada yang duduk paling belakang, paling depan, pojok kiri, pojok kanan, di tengah, disamping kiri dan disamping kanan. Seolah mereka akan kepanasan bila duduk berdampingan, jadi mereka memilih menyisakan jarak. Ke tujuh mata itu terlihat mulai menyadari kehadiran Shanin, ada yang menatapnya intens dari ujung kaki sampai ujung kepala, ada yang menatapnya dengan senyum-senyum tak jelas diikuti seringaian setannya, ada juga yang langsung membuang muka begitu melihat wajah Shanin. Helaan napas pelan Shanin hembuskan, ia harus cepat-cepat menyelesaikannya dan kembali ke kelas. Mari dimulai. Shanin membuka buku hijaunya dan bersiap menulis menggunakan spidol yang berada di tangan kanannya. Tersangka pertama, tepatnya cowok yang duduk paling belakang dengan baju yang terdapat bercak-bercak darah. Matanya menatap tajam Bu Siwi yang kini mulai berceramah, bibirnya ia gigit kesal, memperjelas luka disudutnya. Mata Shanin beralih ke name-tag yang terpasang di d**a cowok itu, Arga Leavit. Dengan cepat ia mencari nama itu di daftar, tadi Bu Siwi bilang 'mereka lagi' kan? Tandanya nama mereka pasti pernah tertulis disini. Dan benar saja, begitu Shanin menemukan nama itu, mata Shanin terbelalak kaget. Pasalnya disini terulis '38' kali memasuki ruangan khusus ini karna kasus yang berbeda-beda. Ada yang merokok, mabuk, berkelahi seperti saat ini, membuat onar, membolos, dan sebagainya yang menurut Shanin cukup panjang untuk dijabarkan. Dan hari ini, cowok itu mendapatkan rekor ke 39. Apa ia akan mendapatkan piala? Begitu menuliskannya, Shanin kembali menatap Arga. Kini cowok itu sedang memejamkan matanya, sepertinya ia menganggap omelan Bu Siwi adalah sebuah lagu yang patut untuk dinikmati. Dan tiba-tiba saja cowok gila itu tersenyum. Membuat Shanin membuka mulutnya, ia merasa pernah melihat Arga, namun dimana? ‘Itu ketua genknya’ Shanin mematung dengan mulut yang masih terbuka. Dia yang tadi pagi buat masalah dijalan? Begitu ingin memastikan, kedua manik indah itu terlihat sudah terbuka dan tak sengaja bertatapan dengan manik milik Shanin. Membuat gadis itu menelan salivanya susah payah. Namun dengan datar cowok itu segera mengalihkan pandangannya, membuat jantung Shanin seakan kembali berdetak. Menakutkan. Fokus Shanin, pelajaran udah dimulai. Lanjut ke orang kedua, cowok itu berada di barisan paling depan, menopang dagunya dengan mata mengantuk, bahkan sesekali menguap, menatap Bu Siwi dengan tatapan kosong. Namanya Richard Clay, tampan. Apalagi cowok itu hanya mengenakan kaos putih polos yang membuat Shanin dapat mengingatnya dengan cepat. Dia yang tadi pagi menyiramkan kopi di hadapan Shanin, tak salah lagi, mereka adalah orang gila itu. Beralih ke cowok tampan selanjutnya yang berada di pojok kanan, cowok berambut cokelat yang saat ini tengah memainkan ponselnya. Tak perduli dengan Bu Siwi yang barusan sudah membentaknya dan memintanya untuk memasukan telfonnya ke dalam saku. Namanya Arkan Roovi, menurut Shanin cowok ini memiliki kulit paling putih dari semua teman-temannya. Berlawanan sudut dengannya, terdapat satu lagi cowok tampan. Rambut hitam berkeringatnya terlihat sangat menggoda dimata Shanin. Kulit cowok itu hitam manis, badannya berotot. Ia mengenakan seragam sekolah yang tak di kancing, Membiarkan kaos putih polosnya bertemu mata Shanin. Dia Raynzal Faroza. Shanin tak begitu mengingat aktivitasnya saat 'bermain' dengan teman-temannya tadi pagi. Namun sepertinya cowok bertato sayap dilehernya itu yang bermain dengan piloks. Entahlah. Pasien selanjutnya yaitu lelaki tampan berkumis tipis, bulu mata yang lebat dengan hidung setajam silet. Tapi tunggu, cowok itu tak menggunakan name-tag. Membuat Shanin mencari-cari di sekitar baju dan celananya namun tetap tak menemukannya. "Cari ini?" Mata Shanin beralih ke arah name-tag bertuliskan Steve Aaron yang sedang di pegang oleh pemiliknya, sosok itu bahkan kini tengah memperhatikan rok basah Shanin, "Lo ngompol ya?" Terdengar tawa ricuh dari dalam ruangan, membuat Bu Siwi harus memukul papan tulis agar mereka berhenti menertawai pertanyaan salah satu rekan mereka. Wajah Shanin memerah, tiba-tiba ia kepanasan. Namun hal itu justru membuat Shanin mempercepat pekerjaannya dan tak menggubris pertanyaan memalukan barusan. Selanjutnya ada Al Delano, Shanin mengenal cowok tinggi bertubuh kurus itu. Bukan karna permainannya tadi pagi, tapi Shanin benar-benar mengenalnya. Dia pemain basket di sekolah Shanin, sangat terkenal, bahkan Shanin sempat mengaguminya. Namun sepertinya cowok berambut gondrong dan bermata sipit itu salah gaul hingga membuatnya seperti ini. Pembuat onar terakhir yang masuk di buku hijau itu adalah Derren Nielsen. Yang ini juga Shanin tahu. Ia adalah murid terpintar di sekolah ini. Bagaimana bisa orang berprestasi sepertinya memiliki sifat minus seperti ini? Seharusnya ia menjadi anak yang baik-baik, bukannya berandalan yang sudah memiliki 23 kasus. "Mengerti tidak? Dari tadi diam saja!" Bentak Bu Siwi yang memperlihatkan urat-urat di lehernya, sepertinya sebentar lagi Bu Siwi akan terkena stroke. "Mengerti, Bu, MasyaAllah. Galak amat." Al membalasnya dengan nada yang ia sabar-sabarkan. Seperti biasa, pencitraan. Sedangkan yang lainnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya malas. "Sudah?" Nada lembut yang Bu Siwi keluarkan untuknya seratus persen berbeda dengan yang ia lontarkan untuk ketujuh murid spesialnya hari ini, "Sudah, Bu." Bu Siwi mengangguk kemudian mengambil buku ditangan Shanin dan segera meletakannya di atas meja, "Baiklah, kalian bisa bubar. Jangan sampai ketemu Ibu lagi, ingat!" Setelah mengatakanya Bu Siwi terlihat melangkah pergi, meninggalkan Shanin yang masih terdiam di tempatnya. Sementara ketujuh orang di hadapannya itu sudah mulai berjalan melewatinya satu persatu untuk meninggalkan kelas favorit ini. "Lo cantik, kok gue gak pernah ngeliat lo sih?" Shanin menatap name-tag bertuliskan 'Steve Aaron' yang berada tepat di depan wajahnya, itu artinya tinggi Shanin hanya sampai ke d**a orang itu saja. Pertanyaan godaan itu membuat kedua temannya yang masih berada di belakang segera merangkul Steve sembari memukulinya, "Gatel lo kambuh deh, panu." Sementara Shanin yang melihat bercandaan mereka tetap tak berani mengangkat kepalanya, mendengar suaranya saja sudah cukup menaikan bulu kuduknya. Begitu semua orang pergi, barulah Shanin berjalan meninggalkan kelas khusus itu, menatap punggung jangkung ke tujuh cowok tampan disekolahnya yang entah mengapa baru Shanin sadari kehadirannya. Sepertinya gadis itu hanya fokus ke satu nama, Abby. Hingga ia tak menyadari kalau mereka selama ini ada. Malaikat-malaikat tampan yang salah gaul, namun tetap menggemaskan. Manik Shanin terus memperhatikan ke-tujuh pangeran tampan yang kini tengah berjalan menjauh, sesekali beberapa diantara mereka ada yang bercanda. Dan satu hal yang baru Shanin sadari, setiap orang yang melewat mereka nampak menunduk. Seakan-akan menatap mereka adalah sebuah mara bahaya yang akan merenggut nyawanya. Tak ada satupun yang berani berbicara dengan mereka, membuat Shanin mempekerjakan otaknya keras. Sebuah ide yang menurutnya sangat gila namun patut untuk dicoba. Jika 'pindah' dan 'melawan' tak bisa Shanin lakukan, maka yang ia dapat lakukan hanya satu: Mencari perlindungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD